Jilid 18/50

1.6K 17 0
                                    

Di dalam batin tiba-tiba Bun Beng mengutuk diri sendiri. Mengapa ia membayangkan wajah wanita-wanita cantik? Celaka, inikah yang membuat ayahnya dulu memperkosa ibunya? Ia bergidik ketika merasa betapa ada hasrat di hatinya untuk memeluk tubuh wanita yang berbaring di depannya itu, ingin mencium pipi itu, bibir itu! Keparat! Ingin ia menghantam kepalanya sendiri, menghancurkan kepala yang berisi pikiran busuk itu.

Apakah ia mewarisi watak ayahnya? Tidak! Ayahnya telah disebut datuk kaum sesat, tentu merupakan seorang yang sesat kelakuannya. Buktinya sampai memperkosa ibunya! Dia tidak akan melakukan hal seperti itu! Biar pun dia tertarik akan wanita-wanita cantik, dia akan memerangi perasaannya sendiri dan mencegah agar jangan sampai ia melakukan perbuatan terkutuk! Ia harus memilih seorang di antara mereka, bukan untuk diperkosa, bukan untuk dipermainkan, melainkan untuk dijadikan isteri! Kwi Hong ini! Ah, betapa akan bahagia hatinya kalau ia dapat memperisteri Kwi Hong.

Kwi Hong mengeluh perlahan dan menghela napas panjang, agaknya mimpi. Keluhan lirih dan helaan napas itu membuat dara itu tampak makin menarik sehingga Bun Beng terpaksa membuang muka, tidak kuat memandang lebih jauh karena jantungnya sudah berdenyut keras.

Memang tidak dapat terlalu disalahkan kalau Bun Beng diamuk nafsu birahi dan cinta. Usianya sudah cukup dewasa, sudah dua puluh dua tahun lebih. Dalam usia sebanyak itu tentu saja timbul perasaan ini dan masih mengagumkan bahwa dia dapat menahan diri kalau diingat bahwa sejak kecil dia tak pernah menerima pendidikan tentang susila, tidak pernah menerima pendidikan ayah bunda sendiri.

Untung bahwa ia digembleng oleh hwesio-hwesio Siauw-lim-pai sehingga batinnya cukup kuat, biar pun darahnya, darah ayahnya yang panas membuat ia condong untuk melakukan perbuatan menyeleweng. Namun, justeru nama buruk ayahnya membuat ia berkeras hati untuk menebus semua kesalahan ayahnya dengan perbuatan baik, bukan justru menambah kotor nama ayahnya dengan perbuatan seperti yang pernah dilakukan ayahnya.

Betapa bahagianya kalau ia dapat menjadi suami Kwi Hong, pikirnya lagi setelah hatinya tenang dan dia berani lagi memandang wajah Kwi Hong. Gadis itu kini telah rebah terlentang sehingga nampak tonjolan dadanya yang turun naik kalau bernapas lembut. Bibir itu setengah terbuka, seperti tersenyum menantang!

Betapa cantik jelitanya, betapa gagah perkasanya. Tadi pun sudah dia saksikan sendiri betapa lihai gadis ini. Dia sendiri meragukan apakah dia akan mampu melawan Kwi Hong. Betapa tidak gagah perkasa dan lihai kalau diingat bahwa dara ini adalah keponakan dan murid Pendekar Super Sakti!

Tiba-tiba Bun Beng tertegun dan mengerutkan alisnya. Keponakan Pendekar Siluman! Aihhh, dia telah melamun terlalu jauh. Bagaimana mungkin dia dapat menjadi suami keponakan Majikan Pulau Es? Mentertawakan! Dia, seorang anak yatim-piatu, bahkan disebut anak haram, putera mendiang datuk kaum sesat yang disebut Setan Botak, mana mungkin berjodoh dengan keponakan Majikan Pulau Es yang berkedudukan tinggi?

"Aihhhh, pikiran yang bukan-bukan," dia menarik napas panjang, berusaha mengusir keinginan hati yang tak mungkin terpenuhi itu.

Ia memaksa diri untuk mengalihkan keinginan hatinya. Bagaimana kalau Milana? Lebih tidak masuk di akal! Tanpa disengaja, ia telah menyaksikan peristiwa hebat yang mungkin menjadi rahasia Pendekar Siluman, Milana adalah puteri Pendekar Siluman itu! Puterinya dari seorang ibu yang amat cantik dan amat sakti! Lebih tidak mungkin lagi. Baik Kwi Hong, apa lagi Milana, tidak mungkin menjadi jodohnya. Kedudukan mereka terlalu tinggi baginya, seperti merindukan bintang-bintang di langit saja! Tinggal seorang lagi, Ang Siok Bi! Dia itulah yang tidak begitu tinggi kedudukannya, akan tetapi hal ini kalau dibandingkan dengan Kwi Hong atau Milana, kalau dibandingkan dengan dia, bahkan Siok Bi masih terlalu tinggi untuknya. Puteri Ketua Bu-tong-pai! Aihh, dia mimpi di siang hari! Tidak ada harapan seujung rambut pun!

"Dasar engkau manusia tak tahu diri!" Bun Beng berbisik dan menjambak kuncirnya, merasa terpukul dan rendah. Lama dia merenung memandang api unggun, diam-diam mengeluh dan menyalahkan ayah bundanya yang telah tiada.

"Sudahlah, aku manusia yang tiada harganya. Akan tetapi akan kubuktikan kepada mereka semua, kepada dunia kang-ouw, bahwa walau pun ayahku seorang manusia yang sejahat-jahatnya dan serendah-rendahnya, aku tidaklah serendah itu. Aku akan membuktikan bahwa aku mampu melakukan hal-hal yang layak dilakukan seorang pendekar besar!"

Pikiran ini sedikitnya menghibur hatinya yang perih. Terhiburlah dia bahwa kini dia akan menyerahkan sebuah di antara Siang-mo-kiam kepada murid dan keponakan Majikan Pulau Es. Sepasang pedang itu diperebutkan oleh orang sedunia kang-ouw, bahkan Pendekar Siluman sendiri mencari-cari tanpa hasil. Sekarang justru dia yang berhasil menemukannya dan menyerahkan sebuah di antaranya kepada murid dan keponakan Majikan Pulau Es, bukankah hal ini sudah merupakan jasa yang besar? Dan dia akan melangkah lebih jauh lagi. Dia akan melakukan hal-hal yang besar, biar pun saat itu dia belum tahu apa gerangan hal-hal yang besar itu.

Bun Beng menambahkan kayu kering sehingga api unggun membesar. Pakaiannya sudah kering dan ia merasa tubuhnya hangat. Malam telah amat larut, akan tetapi dia tidak mau membangunkan Kwi Hong. Biarlah dia yang berjaga sampai pagi. Tidak tega dia mengganggu gadis itu yang tidur dengan nyenyaknya. Ia bersandar pada batang pohon, kadang-kadang menambah kayu pada api unggun, menjaga agar api itu tidak padam.

Pada keesokan harinya ketika terdengar kokok ayam hutan dan kegelapan malam mulai terusir oleh sinar matahari pagi yang kemerahan, Kwi Hong bangun dari tidurnya. Ia mengusap kedua matanya dan begitu membuka mata, melihat bahwa malam telah berganti pagi, melihat pula Bun Beng masih duduk bersandar pohon dekat api unggun, ia meloncat bangun dan membentak.

"Bun Beng, kau terlalu sekali!"

Bun Beng tersenyum, dia tidak merasa aneh lagi menyaksikan sikap gadis yang begitu mudah berubah seperti angin ini, tiba-tiba saja marah, kemudian marahnya berganti sikap ramah. Benar-benar seorang gadis yang penuh semangat berapi-api, "Maaf, Kwi Hong, apakah salahku?"

"Masih bertanya apa salahnya lagi! Enak-enak duduk semalam suntuk, membiarkan orang tertidur sampai pagi. Mengapa tidak kau bangunkan aku agar aku berganti melakukan penjagaan?"

"Aah, tidak mengapa, Kwi Hong. Aku tidak mengantuk dan kau... tidurmu enak benar, tidak tega aku membangunkanmu."

Gadis itu memandang aneh. "Mengapa kau menyiksa diri untukku? Kau tidak tidur sama sekali?"

Ucapan 'karena aku cinta padamu' sudah berada di ujung lidah Bun Beng, namun cepat ditelannya kembali. "Aku duduk beristirahat sama dengan tidur. Urusan kecil ini masa mesti dibesar-besarkan?"

"Biar pun urusan kecil, akan tetapi aku tidak mau dikatakan tidak adil. Lain kali aku tidak mau begini, engkau harus tidur lebih dulu. Kau membikin aku merasa tidak enak saja!" Dengan uring-uringan Kwi Hong lalu pergi mencari sumber air untuk mencuci muka. Setelah ia kembali, ia melihat Bun Beng sudah mencuci muka di air Sungai Huang-ho.

"Mari kita melanjutkan perjalanan," kata Kwi Hong dan berangkatlah mereka menuju ke jurusan timur, ke arah muara Sungai Huang-ho. Tak lama kemudian Bun Beng mengenal daerah di mana dahulu dia dan suhu-nya, mendiang Siauw Lam Hwesio, berperahu menuju ke muara sungai. Peristiwa beberapa tahun yang lalu seperti terjadi kemarin saja dan teringat akan nasib gurunya, mukanya menjadi berduka dan ia menarik napas panjang.

"Mengapa kau berduka?" Tiba-tiba Kwi Hong bertanya, tidak galak lagi seperti tadi melainkan halus dan menaruh khawatir.

"Tiba-tiba aku teringat pada mendiang Guruku, Siauw Lam Hwesio. Dia tewas secara menyedihkan sekali." Dia lalu menceritakan tentang kematian gurunya di tangan koksu negara dan kaki tangannya, lalu menutup ceritanya, "Aku harus membalas kematian Suhu. Kelak aku harus mencari Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun beserta tiga orang pembantunya yang ikut membunuh Suhu, Thian Tok Lama, Thai Li Lama dan Bhe Ti Kong!"

Kwi Hong mendengarkan penuh perhatian, kemudian menghela napas panjang. "Wah, musuh-musuhmu bukanlah orang sembarangan. Menurut Paman, dua orang pendeta Lama itu memiliki ilmu kepandaian tinggi, apa lagi Im-kan Seng-jin! Lawan-lawan yang amat berat dan sakti."

"Aku tidak takut dan aku harus mencari mereka."

"Aku pun tidak takut, hanya bilang bahwa mereka lihai. Kelak aku akan membantumu, Bun Beng."

Bun Beng menoleh dan mereka berpandangan. Melihat sinar mata penuh rasa syukur dan berterima kasih dari pemuda itu, Si Dara membuang muka dengan perasaan jengah. "Biar pun mereka bukan musuhmu, aku pun akan menentang mereka dan Thian-liong-pang, juga Pulau Neraka!" katanya menambahkan, seolah-olah hendak mengalihkan perhatian Bun Beng bahwa dia menentang mereka bukan semata-mata untuk membantu Si Pemuda.

Mereka berjalan terus, berjalan cepat karena mereka kini mempergunakan ilmu lari cepat setelah Bun Beng mengatakan bahwa pulau di muara sungai itu tidak jauh lagi.

"Nah, itu dia pulaunya, dan di sanalah pusaran maut itu!" Bun Beng berteriak menuding dan mereka berlari cepat menghampiri pantai dari mana tampak pulau kecil di tengah muara yang dahulu menjadi medan pertempuran. Dari pantai itu tampak pula pusaran air dan Bun Beng masih bergidik ngeri melihat air berputar-putar itu, teringat akan pengalamannya beberapa tahun yang lalu.

"Lihat, Kwi Hong. Ketika terjadi pertandingan di pulau itu, aku terlempar dari atas tebing itu, tepat jatuh di pusaran maut."

Kwi Hong mengerutkan alisnya. "Hemmm..., dan setelah kau keluar dari lorong air kau mendarat di lambung gunung katamu dahulu? Gunung yang dekat dengan muara ini hanya sebelah sana itu. Kita harus menyeberang!"

Tempat itu sunyi sekali, akan tetapi dari jauh tampak layar-layar perahu nelayan pencari ikan. Bun Beng yang lebih senang kalau mencari pedang-pedang itu tidak melalui pusaran air, cepat berlari ke bawah dan akhirnya dapat memanggil seorang tukang perahu. Dengan biaya ringan mereka dapat diseberangkan oleh nelayan itu dan melanjutkan perjalanan mendaki gunung karang yang sukar dilalui. Namun berkat kepandaian mereka, mereka dapat juga mendaki dan setelah tiba di sebuah puncak batu karang yang tinggi, Bun Beng meloncat naik dan memandang ke sekeliling, mencari-cari.

Akhirnya ia berseru girang. "Nah, di sana itu agaknya, di seberang jurang lebar itu. Benar, tidak salah lagi, itu yang tampak seperti gerombolan tentulah hutan-hutan di mana mereka mencari akar dan daun obat! Dari sanalah aku diterbangkan rajawali. Nah, sungai berada di sana dan gunung yang puncaknya tinggi itulah tempat aku melayang... ahhh, tidak salah lagi. Mari kita ke sana!"

Akan tetapi, kegirangan Bun Beng yang mengenal tempat itu harus ditebus mahal sekali untuk menjadi kenyataan. Perjalanan amat sukar. Kadang-kadang mereka harus menuruni jurang yang amat dalam, melalui perjalanan yang curam dan kadang-kadang mereka harus mendaki batu karang yang runcing tajam mengakibatkan luka-luka pada telapak tangan. Sepatu mereka juga pecah-pecah.

Malam itu terpaksa mereka harus bermalam di antara batu-batu karang gundul dan terpaksa melalui malam dingin sekali tanpa api unggun karena di daerah di mana mereka bermalam itu tidak terdapat sepotong pun kayu. Juga perut mereka lapar bukan main, namun semangat mereka tetap tinggi. Kini Kwi Hong memaksa Bun Beng supaya tidur lebih dulu, akan tetapi betapa mendongkol dan menyesal hati Bun Beng ketika dia terbangun, ternyata hari telah menjadi pagi dan dara itu 'membalas dendam' tidak mau membangunkannya dan berjaga semalam suntuk. Ia mendongkol dan juga terharu sekali. Mereka baru saja melakukan perjalanan yang melelahkan namun gadis itu bersikeras berjaga semalam suntuk.

"Aihh, Kwi Hong. Mengapa kau begini sungkan, sedangkan kita telah menjadi sahabat dan mengalami kesukaran bersama?"

"Tidak akan puas hatiku kalau belum membalas. Aku paling tidak suka kalau merasa diri tidak adil. Setelah membalas, tentu saja hatiku lega dan lain kali kau harus tidak bersikap mengalah dan sungkan pula seperti yang kau lakukan malam kemarin."

Mereka melanjutkan perjalanan. Makin dekat tempat itu, makin yakinlah hati Bun Beng bahwa dia tidak keliru. Lewat tengah hari, kedua orang muda ini mendaki tebing tinggi menuju ke daratan di atas di mana dahulu para pemuja Sun-go-kong menyerahkan keranjang-keranjang obat kepada burung-burung rajawali dari Pulau Neraka! Baru saja mereka meloncat ke puncak yang datar itu, tiba-tiba menyambar banyak senjata rahasia yang ternyata adalah batu-batu karang kecil dari depan. Dengan mudah keduanya mengelak dan Bun Beng berteriak.

"Harap Cu-wi tidak menyerang! Aku Gak Bun Beng!"

Dari balik semak-semak bermunculan delapan belas orang. Ketika mereka melihat Bun Beng, orang-orang itu berteriak sambil lari menghampiri dan semua menjatuhkan diri berlutut di depan kaki pemuda itu. "Ah, kiranya Gak-inkong yang datang! Kami bersyukur sekali, In-kong. Kami melihat betapa In-kong diterbangkan burung rajawali dan mengira Gak-inkong sudah tewas...!"

Bun Beng tersenyum lebar. "Memang nyaris aku tewas, tetapi syukurlah Tuhan belum menghendaki demikian. Apakah Cu-wi baik-baik saja?"

"Terima kasih, In-kong. Semenjak peristiwa dahulu itu, kami tidak lagi mengalami gangguan, agaknya Dewa Sun-go-kong melindungi kami."

Mendengar ini, Bun Beng melirik kepada Kwi Hong dan gadis ini yang sudah mendengar tentang para pemuja Siluman Kera itu tersenyum. Gadis ini sebagai murid Pendekar Super Sakti, berhati polos dan jujur, maka tanpa ragu-ragu lagi ia berkata,

"Sun-go-kong hanyalah tokoh dalam dongeng See-yu, mengapa kalian menyembah dan memujanya? Betapa bodohnya kalian ini orang-orang tua memuja tokoh dongeng kanak-kanak!"

Delapan belas orang yang kini sudah bangkit berdiri memandang kepada Kwi Hong dengan alis berkerut tanda tidak senang hati. "Hemm, Nona yang masih muda..., kalau saja engkau tidak datang bersama Gak-inkong dan menjadi sahabatnya, tentu kami tidak membiarkan engkau berkata selancang itu. Semua dewa yang dipuja memang hanyalah tokoh dongeng. Yang penting bukanlah tokoh dongengnya, melainkan hati si pemujanya! Gak-inkong, apakah Nona ini sahabatmu? Kalau bukan, dia tidak kami perkenankan berada di sini!"

Bun Beng diam-diam merasa menyesal mengapa Kwi Hong berlancang mulut, namun dia pun tidak dapat menyalahkan dara itu yang memang suka bicara terang-terangan menurutkan kata hatinya. "Dia sahabat baikku, harap Cu-wi suka memaafkannya."

Wajah delapan belas orang itu menjadi cerah kembali dan mereka sudah memaafkan Kwi Hong. Bahkan seorang di antara mereka, yang termuda, maju dan berkata sambil tertawa, "Sahabat baik Gak-inkong? Ha-ha cocok sekali. Cantik jelita dan patut menjadi sisihan In-kong yang tampan..."

"Plak! Aduh!" Orang itu terguling dan meraba pipinya yang sudah menjadi bengkak oleh tamparan Kwi Hong. Gerakan tangan dara itu cepat bukan main sehingga orang yang ditamparnya hampir tidak tahu bahwa dia ditampar, disangkanya ada halilintar menyambar pipinya!

Teman-temannya menjadi marah dan mereka sudah mengepal tinju, siap mengeroyok Kwi Hong sungguh pun diam-diam mereka terheran-heran. Mereka telah mempelajari Ilmu Sin-kauw-kun-hoat yang diberikan oleh Dewa Sun-go-kong kepada mereka, dan ilmu silat ini mengutamakan kegesitan sehingga mereka semua adalah ahli-ahli mengelak pukulan. Mengapa teman mereka tadi begitu mudah kena ditampar oleh dara ini?

"Tahan, Cu-wi sekalian! Nona ini adalah murid Pendekar Super Sakti, To-cu Pulau Es, harap Cu-wi tidak menimbulkan pertentangan!"

"Murid Pendekar Siluman...?" Terdengar seruan-seruan mereka dan semua orang memandang dengan mata terbelalak. Sebagai pejuang, tentu saja mereka sudah mendengar nama Pendekar Siluman yang dulu pernah menggegerkan musuh di Se-cuan.

Orang tertua dari mereka segera mengangkat tangan memberi hormat kepada Kwi Hong sambil berkata, "Mohon maaf, karena tidak mengenal kami bersikap kurang hormat kepada Lihiap."

Kemudian ia menghadapi Bun Beng dan bertanya, "Setelah bertahun-tahun In-kong meninggalkan kami, sekarang In-kong datang dengan tiba-tiba, apakah yang dapat kami lakukan untuk membantu In-kong dan Lihiap ini?"

Bun Beng tersenyum. "Terima kasih atas kebaikan Cu-wi sekalian. Aku datang hanya untuk menengok dan terutama sekali untuk mengambil sesuatu yang dahulu kusimpan di tempat ini. Harap Cu-wi tidak repot dan aku bersama Nona ini akan mencari dan mengambil sendiri benda yang kusimpan itu."

Orang-orang itu saling pandang. Mereka tidak tahu benda apakah yang disimpan oleh Bun Beng di situ, akan tetapi orang tertua dari mereka menjawab, "Silakan In-kong."

"Mari, Kwi Hong!" kata Bun Beng dengan sikap gembira.

Nona itu pun merasa gembira dan hatinya tegang, melompat dan mengikuti Bun Beng meninggalkan tebing itu, berlari-lari ke arah gunung di mana terdapat goa-goa batu yang sebagian besar tertutup alang-alang tinggi dan lebat.

Dengan hati berdebar Bun Beng mengajak gadis itu pergi ke daerah goa ini yang jauh juga dari tebing sehingga sekumpulan orang pemuja Sun-go-kong itu tidak tampak lagi, kemudian dengan mudah ia mencari goa kecil yang ia tutup dengan tumpukan batu sehingga sama sekali tidak kelihatan dari luar. Tanpa berkata sesuatu ia membongkar batu-batu itu, dibantu oleh Kwi Hong yang juga menjadi tegang hatinya. Siapa yang tidak berdebar hatinya kalau mengingat bahwa Sepasang Pedang Iblis itu berada di belakang tumpukan batu? Sepasang Pedang Iblis yang diperebutkan orang sedunia kang-ouw, bahkan yang dicari-cari tanpa hasil oleh pamannya!

Setelah tumpukan batu yang menutupi goa itu terbongkar semua, Bun Beng berseru girang melihat bungkusan kain yang kuning dan kotor. Ia mengenal itu, sehelai baju yang dipakai membungkus sepasang pedang. Baju itu sudah rusak dan kotor sekali, akan tetapi dengan penuh gairah Bun Beng menariknya dan dengan kedua tangan gemetar ia membuka bungkusan kain butut. Ternyata sepasang pedang itu masih utuh, sebatang agak pendek, sebatang lagi lebih panjang, akan tetapi bentuk gagang dan sarung pedangnya serupa. Ia menyerahkan yang pendek kepada Kwi Hong tanpa bicara. Bersama-sama mereka meneliti pedang itu dan membaca huruf-huruf kecil yang terukir di dekat gagang.

"Yang pendek ini adalah Li-mo-kiam (Pedang Iblis Betina)...," kata Kwi Hong setelah membaca huruf-huruf di pedangnya.

"Dan ini adalah Lam-mo-kiam (Pedang Iblis Jantan)...," kata Bun Beng.

"Tepat seperti yang diceritakan Paman, ini adalah sepasang..."

"Sepasang Pedang Iblis! Ha-ha-ha, harus diberikan kepadaku!"

Bun Beng dan Kwi Hong terkejut bukan main mendengar suara di belakang mereka itu. Mereka cepat membalikkan tubuh dan ternyata yang tertawa dan bicara tadi adalah kakek India bersorban bersama muridnya Si Siucai Sinting! Bun Beng maklum bahwa mereka menghadapi bahaya besar dan dalam beberapa detik saja otaknya bekerja cepat, lalu ia berbisik kepada Kwi Hong. "Kau bawa semua pedang ini, serahkan Pamanmu, biar aku menahan..."

"Tidak..." Kwi Hong berbisik pula dan menolak pedang panjang yang diangsurkan kepadanya, "kita pergunakan pedang ini untuk melawan bersama. Pula, kalau kita masing-masing memegang satu, pedang itu berpencar dan kalau terampas orang tidak keduanya."

"Ha-ha-ha-ha! Orang-orang muda, sudah lama aku mencari Sepasang Pedang Iblis, dan melihat gerak-gerikmu kemarin, aku sudah sangat curiga, maka diam-diam kami membayangi kalian. Siapa kira, benar saja kalian telah menemukan Sepasang Pedang Iblis, ha-ha-ha-ha!"

"Maharya!" Tiba-tiba Kwi Hong membentak marah. "Seorang tua bangka macam engkau ini apakah tidak tahu peraturan dunia kang-ouw? Dalam berlomba mencari pusaka, siapa yang mendapatkannya berarti sudah berjodoh! Kami sudah mendapatkannya dan pusaka ini adalah milik kami!"

"Ha-ha-ha! Bocah perempuan, sungguh tajam matamu dapat mengenal aku! Akan tetapi engkau tidak tahu riwayat Sepasang Pedang Iblis. Sepasang pedang itu adalah hak milikku. Karena itu, sudah semestinya kalian berikan kepada Maharya!" kakek India yang kini sudah pandai bicara bahasa daerah itu berkata dengan lidah kaku.

"Sombong dan pembohong besar engkau! Sepasang Pedang Iblis ini adalah milik pribadi Pendekar Wanita Sakti Mutiara Hitam yang menjadi pujaan Pamanku, To-cu dari Pulau Es. Kemudian pusaka-pusaka ini diwariskan kepada kedua muridnya, kemudian ditemukan oleh Paman dan dikubur bersama jenazah kedua murid Mutiara Hitam. Setelah itu lenyap dan akhirnya kami yang menemukannya kembali. Bagaimana kau berani bilang menjadi milikmu? Tak tahu malu!"

Sastrawan sinting itu meloncat ke depan. "Ah, dia ini keponakan Suma Han si jahanam keparat? Guru, kita tangkap dia dan siksa sampai mati, biar terasa oleh Suma Han siluman keparat itu!"

Kwi Hong mendelik saking marahnya dan telunjuk kirinya menuding ke arah sastrawan itu. "Engkau Tan Ki orang gila! Paman sudah menceritakan kepadaku tentang engkau! Tunanganmu, Lu Soan Li tewas dalam perjuangan sebagai seorang wanita pendekar yang gagah perkasa, akan tetapi engkau ini manusia gila telah menyalahkan Paman, bahkan menjadi murid kakek iblis ini membunuh Kakek Nayakavhira dan mencuri pedang Hok-mo-kiam. Sekarang harus kau kembalikan pedang pusaka itu atau kau akan mampus di tanganku!"

"Ha-ha-ha! Bocah ini sombong sekali! Eh, bocah yang manis dan galak, engkau tidak tahu. Biar pun Sepasang Pedang Iblis itu dibuat atas perintah Mutiara Hitam, akan tetapi pembuatnya adalah Kakekku Mahendra, maka akulah yang berhak memilikinya. Lebih baik kalian berikan sepasang pedang itu dan aku akan dapat membujuk muridku untuk membebaskan kalian berdua."

"Singggg!"

"Sratttt!"

Tampak dua sinar berkilat ketika Bun Beng dan Kwi Hong mencabut pedang masing-masing. Sinar ini amat terang sehingga mengejutkan Bun Beng dan Kwi Hong sendiri. Maharya terbelalak kagum dan tertawa lebar saking girangnya. "Sadhu! Sepasang Pedang Iblis yang mulia!" Ia berkata, kemudian menoleh kepada muridnya, "Pergunakan Hok-mo-kiam, mari kita rampas sepasang pedang ini!" Ia sendiri sudah memakai sarung tangan emas dan mengeluarkan senjata hidupnya, yaitu ular putih yang berbahaya.

"Kwi Hong, kau hadapi Siucai gila itu dan coba rampas pedangnya, biar aku menghalau kakek iblis ini!" kata Bun Beng dan tanpa menanti jawaban ia sudah menerjang maju, menyerang Maharya dengan Lam-mo-kiam yang mengeluarkan sinar seperti kilat menyambar.

Maharya terkejut dan cepat meloncat ke belakang. Dia tidak berani sembarangan menangkis sebab maklum bahwa pedang buatan kakeknya itu benar-benar merupakan sebatang pedang yang amat ampuh. Bun Beng tidak memberi hati, meloncat ke depan dan melakukan serangan bertubi-tubi. Dia harus dapat menahan kakek ini untuk memberi kesempatan kepada Kwi Hong menghadapi Tan-siucai yang lebih lemah dibandingkan dengan gurunya yang sakti ini.

Sementara itu, Tan-siucai sudah mencabut Hok-mo-kiam dan tampak sinar kilat yang lebih terang dari pada sinar Sepasang Pedang Iblis, akan tetapi tidak mendatangkan wibawa yang mendirikan bulu roma seperti sepasang pedang itu yang telah menghisap darah entah berapa ribu manusia. Kwi Hong cepat menerjang maju dengan Li-mo-kiam di tangan, melakukan tusukan dan girang sekali ketika merasa betapa pedang itu seolah-olah menambah tenaga pada tangannya, begitu ringan dan seperti telah mendahului jurus yang ia mainkan untuk menyerang, seperti mempunyai nyawa dan terbang sendiri menuju ke arah lawan! Benar-benar sebatang pedang yang amat luar biasa!

"Cringggg...!"

Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika Li-mo-kiam bertemu dengan Hok-mo-kiam dan Kwi Hong terkejut karena merasa betapa pedangnya tergetar, seolah-olah menggigil dan takut setelah bertemu dengan pedang lawan. Padahal dia merasa bahwa dia masih menang tenaga menghadapi Tan-siu-cai. Maka ia menjadi waspada dan teringat bahwa pamannya dan mendiang Kakek Nayakavhira memang sengaja menciptakan Hok-mo-kiam untuk menghadapi dan melawan Sepasang Pedang Iblis!

Di lain pihak, Tan-siucai terkejut sekali. Pedangnya hampir terlepas dari tangannya ketika beradu dengan pedang lawan, lengannya tergetar dan ia maklum bahwa ia harus berhati-hati sekali menghadapi keponakan Pendekar Siluman yang memiliki sinkang yang amat kuat itu.

Setelah kini bertanding satu lawan satu dengan Kakek Maharya, Bun Beng harus mengaku dalam hati bahwa tingkat kepandaiannya masih belum cukup untuk menandingi lawan yang sakti ini. Pantas saja kakek ini dahulu berani menghadapi Pendekar Siluman, kiranya memang memiliki gerakan aneh dan setiap gerakan tangannya mengandung hawa yang panas dan di balik hawa panas ini masih ada pengaruh mukjizat yang membuat bulu tengkuk meremang, seperti bukan manusia yang ia lawan, melainkan iblis sendiri.

Bau harum aneh memuakkan yang keluar dari tubuh kakek tinggi kurus itu benar-benar membuat pikiran menjadi kacau. Untung bahwa sekali ini Bun Beng bersenjatakan Lam-mo-kiam yang juga memiliki wibawa amat mukjizat seolah-olah dalam pedang itu ada penghuninya sehingga pengaruh pedang iblis ini sedikit banyak dapat mengimbangi pengaruh kakek India. Kalau dia tidak memegang senjata ampuh ini, agaknya dia tidak akan mampu melawan sampai lama menghadapi kakek yang selain mahir ilmu silat aneh juga mahir ilmu sihir itu.

Bun Beng mainkan jurus-jurus ilmu pedang Siauw-lim-pai, mengerahkan seluruh tenaga dan mainkan jurus-jurus pilihan yang jarang tandingnya, namun kakek itu selalu dapat mengelak dan menangkis dari samping dengan tangan kiri yang bersarung emas, sedangkan ular putih yang berbahaya itu terus menyambar-nyambar hendak menggigit, bahkan menyemburkan uap putih dengan suara mendesis-desis. Karena maklum bahwa semburan uap putih itu berbisa, Bun Beng kadang-kadang menahan napas dan mendorong dengan tangan kiri menggunakan hawa sinkang untuk mengusir uap putih.

Pertandingan berlangsung makin seru dan mati-matian. Bun Beng melihat mulut kakek itu berkemak-kemik, kemudian terdengar suara kakek itu tertawa bergelak. Ia terkejut bukan main, merasa betapa suara ketawa itu seolah-olah terdengar dari belakang punggungnya dan mendatangkan rasa dingin seperti es memasuki tulang punggung. Ia mengerahkan sinkang untuk menahan perasaan itu, dan saat ia memecah tenaganya, kakek itu mendesak dengan serangan kedua tangannya. Ia menjadi sibuk dan tiba-tiba ketika kakek itu kembali tertawa, ia terdorong oleh rasa yang amat kuat untuk ikut tertawa! Bun Beng yang cerdik masih ingat bahwa kakek ini mempergunakan sihir, maka ia melawan sekuat tenaga namun tetap saja mulutnya tersenyum!

Mendadak sekali, suara ketawa kakek itu berubah menjadi tangis dan Bun Beng merasa jantungnya seperti disayat-sayat, perasaan terharu meliputi seluruh hatinya dan betapa pun ia bertahan kuat-kuat, dua titik air mata jatuh ke atas pipinya. Ia makin kaget dan diam-diam berseru, "Celaka!"

Maklum dia bahwa dia tidak akan menang menghadapi kakek ini dan biar pun dengan pedang Lam-mo-kiam ia akan dapat mempertahankan diri sampai lama, tetapi akhirnya ia akan kalah juga. Ia amat khawatir, bukan mengkhawatirkan dirinya melainkan mengkhawatirkan diri Kwi Hong.

"Kwi Hong...!" Ia berteriak, terengah-engah dan cepat membabat ke arah ular yang sudah mengancam leher. Ular itu ditarik kembali dan kini tangan yang bersarung emas itu mencengkeram ke arah pusarnya.

"Cringg!" Pedangnya menangkis dan kakek Maharya berteriak kaget karena tangannya yang terlindung sarung tangan itu terasa panas.

"Kwi Hong, larilah cepat! Beri tahu Pamanmu...!" Bun Beng berteriak sambil memutar pedangnya melindungi tubuh secepatnya.

Ia mengerahkan kekuatan batinnya untuk menulikan telinga terhadap suara yang keluar dari mulut Maharya, akan tetapi tidak mungkin ia menutup matanya sehingga kadang-kadang sinar matanya bersilang dengan sinar mata Maharya yang seolah-olah mengeluarkan api bernyala-nyala!

Kwi Hong mendengar teriakan Bun Beng, akan tetapi dia sama sekali tidak mau peduli. Mana mungkin dia melarikan diri? Dia sedang mendesak Tan-siucai yang biar pun memegang Hok-mo-kiam, namun tingkat ilmu silatnya masih kalah jauh olehnya. Kalau Sastrawan sinting itu tidak memegang Hok-mo-kiam, tentu sudah sejak tadi mampus di ujung Li-mo-kiam.

Apa lagi ketika gadis ini mengerling dengan sudut matanya dan melihat betapa Bun Beng terdesak hebat oleh Maharya, dia makin tidak mau melarikan diri. Dia harus merobohkan Tan-siucai agar dapat membantu Bun Beng mengeroyok kakek yang sakti itu. Dia harus merampas Hok-mo-kiam dan hal ini amat penting, tidak kalah pentingnya dengan mempertahankan Sepasang Pedang Iblis, bahkan lebih penting dari pada keselamatan Bun Beng yang terancam oleh kakek iblis yang sakti. Maka ia terus mendesak Tan-siucai yang kini memutar pedang Hok-mo-kiam sehingga berubah menjadi gulungan sinar kilat yang menyelimuti tubuhnya, membuat Kwi Hong agak sukar untuk menembusnya.

Tiba-tiba Tan-siucai tertawa aneh dan terdengar suaranya, "Ha-ha-hi-hi, Nona manis, engkau melawan siapa? Aku sudah lenyap, bayanganku tidak tampak olehmu, siapa yang kau lawan? Apakah kau gila?"

Kwi Hong terkejut bukan main karena benar-benar bayangan lawannya itu lenyap dan tidak tampak olehnya. Yang tampak hanya gulungan sinar pedang Hok-mo-kiam yang terang seperti cahaya sinar matahari. Hampir saja sinar pedang mengenai lehernya kalau ia tidak cepat-cepat menjatuhkan diri karena dalam keadaan kaget dan bingung mencari musuhnya tadi ia bersikap lengah. Terdengar suara tertawa Tan-siucai dan sukar bagi Kwi Hong untuk menentukan dari mana datangnya suara tertawa ini karena bayangan orangnya tidak kelihatan.

Ia teringat bahwa sebagai murid kakek sakti ahli sihir itu Tan-siucai pandai pula main sihir, maka ia mengerahkan sinkang sekuatnya, sinkang yang dilatihnya di Pulau Es sehingga ia dapat menggabungkan hawa Im dan Yang di tubuh, menguatkan hatinya dan kini tampaklah olehnya bahwa Tan-siucai masih berada di tempatnya yang tadi, memutar pedang dan mendesaknya.

"Cring-trang-trang... aihhh...!" Tan-siucai terkejut dan untung ia masih dapat menangkis sambil terhuyung ke belakang. Ia maklum bahwa gadis itu dapat melihatnya, maka ia mengerahkan seluruh ilmu sihirnya sehingga kini bayangannya kadang-kadang lenyap, kadang-kadang tampak oleh Kwi Hong.

Hal ini membuat Kwi Hong terdesak hebat dan timbul rasa gentar di hatinya. Yang dilawannya memiliki ilmu setan, bagaimana ia dapat melawan orang yang pandai menghilang? Sedikit saja ia mengurangi pengerahan sinkang-nya, bayangan lawan lenyap. Terpaksa ia membagi tenaganya, sebagian untuk melawan pengaruh sihir sehingga kadang-kadang ia dapat melihat bayangan lawan, kadang-kadang tidak.

"Kwi Hong, larilah cepat... laporkan Pamanmu...!" Kembali ia mendengar teriakan Bun Beng.

"Ha-ha-ha, heh-heh, benar sekali. Kalau kau sudah mati nanti, terbangkan rohmu kepada Si Keparat Suma Han, suruh dia ke sini menerima kematian, ha-ha!"

"Iblis busuk!" Kwi Hong menyerang cepat sekali ketika ia dapat melihat bayangan Tan Ki yang tertawa-tawa. Siucai itu cepat menangkis, akan tetapi Kwi Hong hanya melakukan serangan tusukan sebagai pancingan saja, karena cepat sekali kakinya menendang.

"Desss! Aduhhh... keparat!" Tan-siucai terkena tendangan di samping pinggulnya dan terlempar ke belakang. Kwi Hong cepat mengejar, akan tetapi karena tendangan itu tidak tepat kenanya dan hanya melemparkan tubuh Tan-siucai dan mengagetkan saja, maka Tan-siucai sudah dapat memutar pedang melindungi tubuhnya sambil meloncat bangun.

"Siapa yang kau serang? Aku lenyap sama sekali dari penglihatanmu!" Ucapan ini berulang kali diucapkan Tan-siucai dengan suara menggetar dan kembali Kwi Hong kadang-kadang kehilangan bayangan lawan, membuat ia terdesak lagi.

"Kwi Hong... kau larilah... lekas...!" Bun Beng yang sudah pening oleh pengaruh sihir Maharya, berteriak sekuat tenaga.

Ia mengandalkan ilmu pedang Siauw-lim-pai, mainkan bagian yang bertahan sehingga tubuhnya terlindung gulungan sinar pedang kilat. Dia dapat menahan serangan ular dan tangan bersarung emas, akan tetapi tekanan kekuatan mukjizat dari sihir Maharya benar-benar membuat dia pening dan hanya dengan kebulatan tekadnya dan kemauannya saja untuk mempertahankan diri, pedang Lam-mo-kiam dan terutama melindungi Kwi Hong maka ia masih dapat bertahan.

Tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk dan delapan belas orang pemuja Sun-go-kong yang mendengar pertempuran dan teriakan-teriakan Bun Beng kini telah berada di situ. Tanpa diminta dan tanpa komando, delapan belas orang ini sudah menerjang maju membantu Bun Beng dan Kwi Hong!

Namun, begitu sebagian besar mereka mengeroyok Maharya, kakek itu mengeluarkan gerengan keras yang menggetarkan seluruh urat syaraf, dan terdengarlah teriakan-teriakan mengerikan dan lima orang sudah roboh susul-menyusul terkena hantaman tangan kiri bersarung emas sehingga pecah kepalanya dan sebagian terkena gigitan ular putih di tangan kanan kakek itu! Mereka yang mengeroyok Tan-siucai juga mengalami hal yang menyedihkan. Mereka menyerbu, tidak tahu akan keampuhan sinar pedang Hok-mo-kiam sehingga begitu kena disambar sinar ini, tiga orang roboh dan tewas seketika!

Delapan belas orang maju dan dalam sekejap mata saja delapan orang dari mereka tewas! Sisanya, yang sepuluh orang, menjadi kaget, berduka dan marah bukan main menyaksikan teman-teman mereka tewas sedemikian mudahnya, maka dengan nekat mereka maju untuk membalas dendam atau untuk tewas sekalian.

"Cu-wi, mundur...!" Bun Beng mencegah, akan tetapi sia-sia, mereka malah makin nekat.

"Ha-ha-ha, kalian yang sudah kehabisan tenaga dan setengah lumpuh masih mau melawanku?" Maharya berteriak.

"Jangan dengarkan!"

Bun Beng yang melihat kakek itu membuka mulut lebar memperingatkan, namun terlambat. Sepuluh orang itu tiba-tiba merasa kedua kaki mereka lemas tak bertenaga dan pada saat itu, menyambarlah sinar-sinar hitam dari tangan Tan-siucai dan Maharya. Itulah jarum-jarum hitam beracun dan tentu saja sepuluh orang yang sudah terpengaruh sihir itu tidak mampu mengelak lagi. Mereka mengeluh dan roboh dengan muka berubah menghitam dan nyawa melayang menyusul delapan orang teman mereka. Dalam sekejap mata saja, seluruh pemuja Sun-go-kong, bekas pejuang yang gigih tewas di tangan Maharya dan Tan-siucai dengan amat mudah dan secara sia-sia!

"Kakek iblis yang kejam!" Bun Beng berteriak marah, dan tiba-tiba permainan pedangnya berubah, ia telah mainkan ilmu rahasia yang dipelajarinya dari Kitab Sam-po-cin-keng, dan ternyata akibatnya hebat sekali. Maharya berteriak kaget, berusaha menangkis dengan tangan kirinya karena lingkaran-lingkaran aneh yang dibuat oleh sinar pedang Bun Beng membuat dia menjadi bingung.

"Brettt...! Ihhh!" Kakek Maharya mencelat mundur, wajahnya sebentar pucat sebentar merah, kemarahannya memuncak ketika ia melihat betapa sarung tangannya terobek sedikit dan telapak tangannya berdarah!

"Lihat api...!" Kakek itu membentak.

Karena girang melihat hasil serangannya, Bun Beng menjadi lengah sehingga ia mendengar suara ini, melihat pula betapa kakek itu menggerakkan tangan kiri sambil mendorong ke arahnya dan... ia melihat pula api berkobar meluncur ke arah tubuhnya. Bun Beng terkejut dan cepat mengelak, akan tetapi bola api itu terus mengejarnya dari atas. Bun Beng cepat memutar pedangnya dan pada saat ia sibuk melawan bola api yang seperti hidup itu, tiba-tiba tangan bersarung emas telah menghantam bagian punggungnya dengan sebuah tamparan keras.

"Plakkk!" Bun Beng berseru kaget dan tubuhnya terguling-guling, napasnya seperti tersumbat. Sadarlah dia bahwa kembali dia menjadi korban sihir, dan bola api itu sebetulnya tidak ada maka dia sampai kena dipukul. Dengan marah ia melompat bangun dan jurus pertahanan dari Sam-po-cin-keng telah menutup tubuhnya sehingga Maharya tidak dapat menyusulkan serangan maut kepada lawan yang telah terluka itu.

"Kwi Hong... lari...!" teriakan Bun Beng sekali ini terdengar lirih karena dadanya sesak dan napasnya terengah. Kwi Hong terkejut sekali, menoleh dan melihat betapa pemuda itu makin terdesak hebat. Ia marah bukan main karena belum juga mampu mengalahkan Tan-siucai.

Tiba-tiba terdengar suara ketawa nyaring dari atas disusul menyambarnya bayangan hitam yang besar. Bunyi kelepak sayap bercampur dengan pekik melengking dan tertawa nyaring memenuhi udara ketika bayangan hitam itu menyambar ke arah Bun Beng dan Maharya yang sedang bertempur. Sinar putih panjang dua buah, seperti dua ekor ular putih yang amat panjang, menyambar ke arah tangan Bun Beng sedangkan paruh besar burung rajawali menyambar ke arah tangan Maharya yang memegang ular putih.

Bun Beng berteriak kaget ketika tiba-tiba tangan kanannya menjadi lemas terkena totokan sinar putih dan selagi dia belum sempat mengembalikan tenaga untuk memegang gagang pedang erat-erat, Pedang Lam-mo-kiam telah terlibat tali putih dan terlepas dari tangannya. Juga Maharya berseru keras ketika tiba-tiba ia diserang oleh pukulan sayap dan selagi ia mengelak, ular putih telah terlempar dari tangannya. Dua orang yang sedang bertanding ini melompat mundur, memandang ke atas dan tampaklah oleh mereka seorang pemuda tampan menunggang seekor rajawali raksasa sedang tertawa-tawa memegangi pedang Lam-mo-kiam di tangan kanan dan ular putih yang dirampas rajawali di tangan kiri!

"Iblis cilik dari Pulau Neraka!" Bun Beng memaki. "Kembalikan pedangku!"

Pemuda di atas punggung rajawali itu hanya tertawa mengejek dan pada saat itu, segumpal asap hitam yang dilepas oleh Maharya secara diam-diam menyerang muka Bun Beng. Pemuda ini gelagapan, menyedot asap hitam dan seketika kepalanya pening, pandang matanya gelap dan ia terhuyung-huyung.

"Desss!" Kembali punggungnya dihantam tangan kiri Maharya dan ia roboh terguling. Namun ia masih sempat berteriak, "Kwi Hong, lari...!"

Kemudian ia merangkak bangun duduk bersila memejamkan mata dan berusaha mengusir pengaruh asap beracun yang membuatnya pening dan lemas, apa lagi punggungnya yang telah dua kali dihantam oleh tangan kiri Maharya yang lihai membuat napasnya sesak.

Maharya yang tadinya menyangka bahwa pemuda di punggung rajawali yang datang itu mungkin akan mengeroyoknya, telah merobohkan Bun Beng lebih dulu, kemudian kini ia mengacungkan tangannya ke atas. "Bocah setan, tak peduli engkau dari Pulau Neraka, turunlah sebelum engkau dan rajawalimu mampus di tangan Pendeta Sakti Maharya!"

Pemuda itu bukan lain adalah Wan Keng In, putera To-cu Pulau Neraka. Ia tertawa dan memainkan ular putih di tangan kirinya. "Heh-heh, setan tua. Ular putihmu ini baik sekali, tentu kau dapatkan di Himalaya, bukan?"

Diam-diam Maharya terkejut juga. Ular putihnya itu adalah seekor binatang yang racunnya ampuh sekali. Jarang ada orang sakti yang akan mampu menahan racun binatang itu dan sudah bertahun-tahun ia memelihara dan melatihnya sehingga ular itu akan menjadi ganas kalau dipegang orang lain. Mengapa kini di tangan pemuda itu, ularnya menjadi jinak sekali? Namun tidak peduli anak setan dari mana pemuda itu, dia harus merampas kembali Pedang Lam-mo-kiam dan ular putih. Ia menggerakkan tangannya dan sinar hitam menyambar ke arah burung rajawali yang terbang rendah.

Pemuda itu memutar pedang Lam-mo-kiam dan burung rajawali mengibaskan sayapnya, namun tetap saja ada sebatang jarum mengenai kaki burung itu sehingga burung itu memekik keras dan terhuyung.

"Crakk!" Pedang Lam-mo-kiam bergerak dan kaki burung yang terkena jarum hitam itu telah dibuntungi penunggangnya!

"Setan tua itu membikin kakimu putus, hek-tiauw (rajawali hitam), hayo kita bunuh dia!" Pemuda itu berseru dan rajawali itu telah menyambar turun dengan penuh kemarahan.

Disambar oleh cakar dan paruh, dihantam oleh sayap yang besar, serta ditambah lagi serangan pedang Lam-mo-kiam dan ular putihnya sendiri benar-benar membuat Maharya menjadi kaget bukan main. Ia menggulingkan tubuhnya ke atas tanah dan hanya dengan jalan bergulingan ini ia terbebas dari bahaya maut.

Sementara itu, saat Kwi Hong melihat penunggang burung rajawali, mukanya berubah dan ia merasa gelisah sekali. Tentu saja dia mengenal Wan Keng In dan maklum bahwa pemuda Pulau Neraka itu merupakan musuh besar, sehingga tentu akan menambah lawannya.

Saat itu ia melihat Bun Beng terguling dan mendengar pesan terakhir pemuda itu. Tidak baik melawan terus, pikirnya. Melawan berarti akan kalah dan pedang Li-mo-kiam akan terampas pula. Apa artinya melawan kalau tidak akan dapat menolong Bun Beng dan merampas kembali Pedang Lam-mo-kiam dan Pedang Hok-mo-kiam? Lebih baik seperti yang diminta Bun Beng, melarikan diri selagi ada kesempatan, kemudian melapor kepada pamannya karena kalau bukan pamannya sendiri yang turun tangan, bagaimana mungkin pedang-pedang itu dapat dirampas kembali?

Alisnya berkerut dan hatinya terasa sakit sekali ketika mengerling ke arah Bun Beng yang terpaksa harus ia tinggalkan. Ia berseru keras, pedangnya menyerang ganas sehingga Tan-siucai kaget dan meloncat mundur. Ketika ia memandang ke depan, gadis lawannya itu telah meloncat-loncat jauh dan melarikan diri, akan tetapi tiba-tiba ia mendengar gurunya berteriak,

"Tan Ki... bantu aku...!"

Ia menengok dan terkejut sekali melihat pemuda yang menunggang burung rajawali itu sambil terkekeh-kekeh menyerang gurunya dari atas, menyambari gurunya seperti seekor burung mempermainkan tikus! Ia menjadi marah dan maju menyerang dengan pedangnya ketika pemuda di atas punggung rajawali itu kembali turun menyambar.

"Trangggg...! Bukkk!" Pemuda di atas punggung rajawali itu berseru kaget, sementara rajawalinya memekik kesakitan dan terbang tinggi. Pemuda itu kaget karena pedang laki-laki yang menangkisnya itu ternyata dapat membuat Lam-mo-kiam terpental dan tangannya tergetar, sedangkan pukulan tangan kiri bersarung emas Maharya telah mengenai paha rajawali itu.

Wan Keng In yang sudah memeriksa pedangnya dan maklum bahwa secara tidak terduga-duga dia telah mendapatkan sebatang di antara Sepasang Pedang Iblis yang dicari-cari ibunya, tidak mau menempuh bahaya menghadapi dua orang di bawah yang ternyata lihai itu, apa lagi kini rajawalinya terluka berat, sebelah kakinya buntung dan bercucuran darah, sedangkan pahanya juga terluka oleh hantaman kakek sakti itu. Belum tentu rajawalinya akan kuat membawanya terbang ke Pulau Neraka, maka ia lalu menyuruh rajawalinya terbang tinggi dan kembali ke Pulau Neraka.

Maharya menyumpah-nyumpah. "Anak Iblis! Keparat jahanam! Dia sudah membawa lari ularku!"

"Dan Lam-mo-kiam juga dirampasnya. Semua ini kesalahan pemuda sialan itu! Kita bunuh saja dia!" Ia melangkah lebar dan mengayun Hok-mo-kiam ke arah leher Bun Beng yang masih duduk bersila mengatur pernapasan. Karena tidak sanggup membela diri lagi, Bun Beng tetap tidak bergerak, menyerahkan nasibnya kepada Tuhan.

"Jangan!" Tiba-tiba Maharya berteriak dan Tan Ki menahan pedangnya, menoleh dan memandang gurunya dengan heran.

"Mengapa? Apakah Guru menaruh kasihan kepada bedebah ini?"

"Ha-ha-ha, hatiku sakit sekali karena gara-gara dia sarung tanganku robek, ularku lenyap dan Lam-mo-kiam juga hilang. Aku senang bukan main melihat dia mampus, akan tetapi amat enaklah kalau kau membunuhnya begitu saja. Kita harus membuat dia mati perlahan-lahan, biar dia menderita sampai empat puluh hari, mati tidak hidup pun bukan, baru benar-benar mampus, ha-ha-ha!"

Tan-siucai tertawa geli. "Maksudmu bagaimana, Guru?"

"Begini!" Maharya menghampiri Bun Beng dari belakang dan tangan kirinya yang memakai sarung tangan bergerak, jari-jarinya menusuk. Bun Beng maklum bahwa dirinya diserang, akan tetapi tubuhnya lemas, tenaganya habis sehingga melawan pun hanya akan menyiksa diri, maka dia diam saja menerima hantaman maut.

"Cusss! Cusss!"

Dua kali Maharya menggerakkan jari-jarinya yang menotok di belakang pinggang, kanan kiri tulang punggung. Bun Beng tidak merasakan sesuatu, hanya rasa pegal di tempat yang ditotok.

"Ha-ha-ha, aku mengacaukan jalan darahnya, menindas hawa pusar dan membalikkan hawa kundalini. Dia akan keracunan, kedua kakinya akan lumpuh, darahnya perlahan-lahan akan kotor dan menghitam dan dia setiap hari akan menderita hebat, sedikit demi sedikit nyawanya terancam, sampai empat puluh hari. Dia mati sekerat demi sekerat, ha-ha-ha!"

Tan-siucai juga tertawa-tawa, akan tetapi hatinya tidak puas ketika melihat betapa dua kali totokan gurunya itu tidak membuat Bun Beng kesakitan. "Terlalu enak kalau dia tidak diberi rasa, dan hatiku tidak puas kalau tidak menyiksanya tanpa membunuhnya."

Gurunya mengangguk. "Asal jangan kau gunakan sinkang agar tidak membunuhnya, sesukamulah."

"Kalau tidak gara-gara dia, kita tidak kehilangan dan tentu keponakan Pendekar Siluman sudah dapat kubekuk. Biar dia tahu rasa!" Tan-siucai mengayun kakinya, tanpa menggunakan tenaga sinkang menendang ke arah ulu hati Bun Beng.

"Ngekkk!" Walau pun tidak menggunakan sinkang, namun tendangan yang keras itu membuat Bun Beng terjungkal dan ia muntahkan darah segar.

"Desss!" Kini pipi kanan Bun Beng yang mukanya rebah miring itu diinjak sepatu. Ketika injakan yang keras ini membuat Bun Beng menggerakkan kepala sehingga bangkit duduk lagi, Tan-siucai menendang yang kiri.

"Desss!" Tendangan keras sekali ini membuat tubuh Bun Beng terjengkang, kepalanya pening, bibirnya berlepotan darah segar, mukanya bengkak-bengkak dan membiru.

Tan-siucai tertawa-tawa girang akan tetapi ia masih belum puas. Dengan langkah lebar ia menghampiri Bun Beng, dua kali kakinya bergerak ke arah kedua lutut Bun Beng, menendang keras sekali.

"Krak! Krak!"

Tanpa mengeluh Bun Beng terguling pingsan, sambungan kedua lututnya terlepas!

"Cukup, kalau terlalu berat dia tidak akan menderita sampai empat puluh hari. Mari kita pergi. Sayang sekali Sepasang Pedang Iblis terlepas dari tangan kita. Kita kejar bocah perempuan itu!" Guru dan murid itu sambil tertawa-tawa puas lalu berlari, bayangan mereka berkelebat dan tempat itu menjadi sunyi sekali.

Tubuh Bun Beng menggeletak menelungkup dalam keadaan pingsan, sedangkan tak jauh dari situ delapan belas buah mayat para pemuja Sun-go-kong malang-melintang! Menyeramkan sekali keadaan di situ, apa lagi ketika tampak beberapa ekor burung gagak hitam beterbangan dan berputaran di atas tempat itu, agaknya mereka sudah mencium bau mayat dan darah.

Bun Beng sadar dan membuka matanya ketika ia merasa pipinya sakit seperti ditusuk-tusuk pedang. Betapa mendongkol dan marah hatinya ketika ia melihat dua ekor burung gagak mematuki darah dari pipinya. Sekali mengibas dengan tangan, dua ekor burung itu terpental dan mati seketika. Gerakan ini membuat burung-burung gagak yang lain terbang ke atas dan Bun Beng bergidik. Burung-burung keparat itu pesta mematuki mayat-mayat, makan daging dan darah dari luka-luka di tubuh mayat-mayat itu.

Dengan hati terharu ia memandang ke sekeliling. Hatinya merasa sengsara sekali menyaksikan delapan belas orang itu telah menjadi mayat, dan lebih sakit lagi hatinya karena dia tidak dapat mengubur jenazah mereka. Kedua kakinya tak dapat ia gerakkan, sambungan lutut kedua kakinya terlepas dan rasa nyeri yang amat hebat menusuk tulang-tulangnya. Ia mengeluh dan bangkit duduk. Dengan jari tangannya ia menotok jalan darah di paha untuk melenyapkan rasa nyeri di lututnya, kemudian sedapat mungkin ia mengurut lutut-lututnya. Kemudian ia menggerakkan kedua tangannya, mengesot dan setengah merangkak meninggalkan tempat itu.

Dia harus pergi dari situ, tidak tega ia menyaksikan mayat-mayat itu dimakan burung. Mereka telah mati dalam membelanya. Ia menoleh sebentar dengan air mata membasahi bulu matanya, dia berbisik, "Sahabat-sahabatku sekalian, aku bersumpah kalau masih dapat sembuh dan hidup, aku akan membalas kematian kalian kepada Maharya dan Tan Ki." Kemudian ia merangkak terus meninggalkan tempat itu. Akan tetapi seluruh tubuhnya terasa sakit, terutama sekali dada dan perutnya. Ia maklum bahwa ia telah terluka hebat dan jalan darahnya menjadi kacau-balau, membuat setiap buku tulang terasa seperti ditusuki jarum.

Susah payah Bun Beng merangkak. Bagaimana ia dapat menuruni bukit yang terjal itu? Ah, bagaimana pula nasib Kwi Hong? Mudah-mudahan dia dapat melarikan diri, pikirnya dan ia menjadi agak lega. Biar pun dia mati, tentu Pendekar Super Sakti akan membalaskan sakit hatinya. Bertambah pula musuh-musuhnya, musuh yang amat sakti.

Musuh-musuh pertamanya, Koksu Negara Im-kan Seng-jin dan para pembantunya sudah merupakan lawan yang berat dan belum dapat ia jumpai, kini muncul pula musuh-musuh yang tidak kalah saktinya, yaitu Tan Ki dan gurunya yang pandai ilmu sihir! Dan dia maklum bahwa guru dan murid itu telah membuat dia menjadi seorang cacad dan tinggal menunggu maut. Pukulan beracun itu takkan dapat ia obati, apa lagi dengan kedua kaki tak dapat dipakai berjalan, apa dayanya? Namun dia tidak putus asa, tidak mau putus asa. Selagi ia masih hidup, dia akan berusaha menyembuhkan luka-lukanya, berusaha pergi dari tempat berbahaya ini!

Malam itu Bun Beng mengalami malam yang paling sengsara. Ia berusaha duduk bersila bersiulian, namun tetap saja ia tidak dapat mengerahkan tenaganya. Begitu ia mengerahkan sinkang, perutnya terasa panas seperti dibakar dan seluruh tubuh terasa gatal-gatal. Ia hanya dapat melatih pernapasan, menghirup udara segar, itu pun tidak dapat ia tarik ke pusar seperti biasa karena hal ini juga menimbulkan rasa nyeri yang sama.

Semalaman ia tidak tidur dan kalau ia teringat akan malam penuh bahagia bersama Kwi Hong, ia tersenyum pahit. Baru kemarin ia mengalami malam yang paling bahagia selama hidupnya, duduk menghadapi api unggun, menatap wajah gadis itu yang tidur nyenyak dan merasa betapa dunia menjadi amat indah. Kini perubahan itu seperti sorga dan neraka. Ia teringat akan wejangan Siauw Lam Hwesio bahwa memang demikianlah hidup. Sorga dan neraka penghidupan muncul dan lenyap saling berganti!

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali setelah terang tanah, Bun Beng melanjutkan usahanya menuruni bukit dengan merangkak perlahan-lahan. Betapa ia dapat melakukan perjalanan cepat kalau ia hanya mengandalkan kedua tangannya untuk menarik tubuhnya secara mengesot?

Tubuhnya terasa makin panas. Darah yang mengalir ke kepalanya seolah-olah membakar kepala dan menjelang tengah hari ia tidak kuat lagi. Ia rebah di bawah sebatang pohon dalam keadaan setengah pingsan. Ketika ia meletakkan pipinya yang masih membengkak dan nyeri berdenyut-denyut itu ke atas tanah berumput yang dingin basah, ia merasa betapa nikmatnya tidur seperti itu. Ingin ia tidak dapat bangun kembali, rebah seperti itu untuk selamanya!

Sebuah kaki bersepatu membalikkan tubuhnya yang menelungkup. Ia terlentang dan pandang matanya berkunang. Dalam keadaan setengah pingsan ia melihat beberapa orang berdiri mengelilinginya dan jantungnya berdebar penuh kemarahan ketika ia mengenal seorang di antara mereka adalah pemuda Pulau Neraka, si penunggang rajawali! Bagaimana pemuda ini bisa muncul kembali?

Pemuda yang datang bersama dua orang anggota Pulau Neraka bermuka merah tua itu adalah Wan Keng In. Pemuda ini tadinya hendak kembali ke Pulau Neraka menunggang rajawali yang terluka parah. Hatinya girang mendapatkan Lam-mo-kiam, akan tetapi juga kecewa karena dia tidak dapat mengalahkan kakek India dan sastrawan yang menjadi murid kakek itu. Kecewa karena dia tidak bisa mendapatkan pedang Li-mo-kiam karena ibunya tentu akan girang sekali kalau dia bisa mendapatkan Sepasang Pedang Iblis itu, bukan hanya yang jantan, pula, dia pun ingin sekali mendapatkan pedang Si Sastrawan yang mampu menandingi Lam-mo-kiam.

Dengan hati girang Wan Keng In melihat seekor burung rajawalinya terbang di udara. Ia bersuit nyaring dan ketika rajawali itu terbang dekat, ia lalu pindah ke atas punggung rajawali yang sehat. Ketika ia terbang rendah di pantai, ia melihat sebuah perahu hitam, perahu Pulau Neraka. Cepat ia turun dan ternyata perahu itu adalah perahu yang ditumpangi dua orang anggota Pulau Neraka bermuka merah. Biar pun ia agak kecewa mendapat kenyataan bahwa yang berada di perahu hanyalah dua orang anggota rendahan yang tidak dapat banyak diandalkan, namun ia girang juga dan cepat mengajak mereka untuk pergi ke bukit itu. Dia harus menyelidiki bukit itu. Siapa tahu pusaka-pusaka yang yang lain berada di situ.

Demikianlah, ketika di tengah jalan ia melihat Bun Beng yang menggeletak setengah pingsan, alisnya berkerut. "Inilah orangnya yang memegang pedang yang kurampas. Kepandaiannya lumayan juga. Eh, orang yang terluka parah, aku akan mengobatimu sampai sembuh, akan tetapi katakanlah, dari mana engkau mendapatkan Siang-mo-kiam? Dan mana yang sebatang lagi?"

Mendengar pertanyaan ini, Bun Beng menggeleng kepala tanpa menjawab. Biar pun benar-benar pemuda Pulau Neraka ini akan dapat menyembuhkannya, dia tetap tidak sudi memberi tahu kepada pemuda yang dibencinya itu tentang sepasang pedang iblis yang kini telah dirampasnya sebatang. Lebih baik dia mati dari pada memberi tahu bahwa pedang yang sebuah lagi dipegang Kwi Hong. Kalau pemuda ini naik burung rajawali mengejar dan mencari Kwi Hong dari atas, gadis itu bisa terancam bahaya.....

SEPASANG PEDANG IBLIS (seri ke 7 Bu Kek Siansu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang