Jilid 27/50

1.7K 14 0
                                    

Melihat betapa pelimpahan cintanya membuat pendekar itu makin merasa berdosa dan berduka, dia cepat mengalihkan percakapan dengan pertanyaan yang serius. "Taihiap, kalau engkau pergi mencari Hok-mo-kiam dan memberi hajaran kepada orang-orang jahat yang telah menghancurkan Pulau Es dan Pulau Neraka, habis bagaimanakah dengan anak buah kita? Agaknya pada waktu sekarang tidak mungkin lagi bagi kita untuk kembali ke Pulau Es, sedangkan untuk membiarkan mereka tinggal di tempat ini sebagai buronan yang bersembunyi, sangat menyengsarakan mereka pula. Apakah yang harus saya lakukan, Taihiap?"

"Engkau benar, Ciok Lin. Memang telah lama aku memikirkan hal ini, jauh sebelum pulau kita diserbu pasukan pemerintah. Engkau pun tahu bahwa dahulu aku tidak bermaksud mendirikan sebuah perkumpulan atau kerajaan kecil di Pulau Es, hanya karena kasihan melihat anak murid In-kok-san dan para bekas pejuang yang tertawan oleh tokoh-tokoh Pulau Neraka, maka pulau kita menjadi sebuah pulau yang banyak penghuninya dan aku dianggap sebagai Majikan atau Ketua Pulau Es. Karena pulau kita terkenal, maka timbullah penentang-penentangnya dan hal itu sungguh tidak kuinginkan. Oleh karena itu, setelah kini pulau kita dihancurkan pasukan pemerintah dan kalian tidak mempunyai tempat tinggal lagi, aku membubarkan anak buahku yang pernah tinggal di Pulau Es. Kau keluarkan semua pusaka dan harta yang dapat kau larikan dari pulau, bagi-bagilah harta itu kepada mereka agar dapat digunakan sebagai modal dan hidup di dunia ramai, membentuk keluarga yang bahagia. Semua itu kuserahkan kepadamu untuk mengatur seadil-adilnya sampai lancar dan beres, Ciok Lin."

"Ohhh, saya girang sekali mendengar keputusan ini, Taihiap, karena memang itulah jalan terbaik. Akan tetapi, mengerjakan perintah Taihiap itu dapat saya selesaikan sebentar saja, saya harap Taihiap suka menyaksikannya dan meninggalkan kata-kata perpisahan untuk mereka. Kemudian, harap Taihiap suka memperkenankan saya untuk... pergi bersama Taihiap, membantu Taihiap menghadapi para musuh dan menemukan kembali kedua orang yang Taihiap rindukan. Saya bersumpah tidak akan mengganggu, saya... saya rela untuk menjadi pelayan Taihiap dan mereka yang Taihiap cinta, selama-lamanya..."

"Ciok Lin, harap jangan bicara seperti itu! Urusan yang kuhadapi tidaklah ringan. Bhong-koksu dan teman-temannya bukanlah orang-orang yang mudah dilawan, apa lagi kini muncul orang-orang sakti seperti tokoh-tokoh Pulau Neraka yang selama ini menyembunyikan diri. Selain itu, aku tidak berhak merusak hidupmu, Ciok Lin. Engkau belumlah sangat tua, engkau pandai, mulia hatimu dan cantik wajahmu. Engkau masih belum terlambat untuk membangun sebuah rumah tangga, membentuk sebuah keluargamu sendiri untuk menjamin masa hidupmu kelak. Aku tidak akan tega hati kalau menyaksikan bekas anak buah yang terpaksa harus kububarkan, biarlah aku pergi lebih dulu sekarang juga. Maafkan aku, Ciok Lin, bahwa aku tidak dapat memenuhi permintaanmu yang penghabisan ini. Mudah-mudahan kelak kita dapat saling bertemu kembali dalam keadaan yang lebih menyenangkan."

Tanpa membuang waktu lagi dan tidak memberi kesempatan kepada wanita itu untuk membantah, Suma Han lalu menekankan tongkatnya di atas tanah dan di lain saat tubuhnya sudah berkelebat lenyap dan tak lama kemudian tampak seekor burung rajawali terbang tinggi di angkasa, membawa tubuh bekas Majikan Pulau Es yang duduk anteng di atas punggung rajawali itu.

Phoa Ciok Lin kini tidak dapat menahan lagi air matanya yang turun bercucuran ketika ia menjatuhkan dirinya berlutut di atas tanah, menutupi muka dengan kedua tangan sedangkan mulutnya mengeluarkan rintihan yang langsung keluar dari lubuk hatinya. "Duhai, Suma Han... betapa aku dapat menikah dengan orang lain? Apa artinya hidup bagiku kalau harus berpisah dari sampingmu?"

Beberapa hari kemudian, pantai laut yang tadinya menjadi tempat persembunyian para penghuni Pulau Es itu menjadi sunyi. Bekas anak buah Pulau Es telah pergi mencari jalan hidup masing-masing dan orang terakhir yang meninggalkan tempat itu adalah Phoa Ciok Lin, seorang wanita yang usianya sudah empat puluh tahun, akan tetapi masih cantik, berpakaian sederhana, bersikap pendiam namun sinar matanya mengandung kedukaan di samping sinar mata tajam berwibawa. Seorang wanita berilmu tinggi, bekas wakil Pulau Es yang ditakuti orang-orang kang-ouw!

Kemana perginya Kwi Hong? Dara itu pergi tanpa pamit. Memang telah lama sekali dia terdorong oleh hasrat untuk pergi meninggalkan pantai laut, pergi merantau. Jauh bersembunyi di sudut lubuk hatinya, dia menyimpan rahasia yang mendorongnya ingin sekali pergi merantau itu, yaitu keinginan untuk mencari Bun Beng! Semenjak dia ditolong oleh pemuda itu dari ancaman bahaya mengerikan ketika dia ditawan di kapal Koksu, melihat betapa pemuda itu membela Pulau Es secara mati-matian, hatinya makin tertarik kepada pemuda itu.

Setelah pamannya kembali, hilanglah rintangan yang menghalanginya pergi meninggalkan tempat itu. Tadinya dia menekan-nekan hasratnya, mengingat bahwa ia harus mambantu Ciok Lin menjaga para anak buah Pulau Es yang mengungsi di situ, menanti sampai pamannya datang. Kini pamannya telah muncul, dan biar pun pamannya kelihatan lelah dan terluka sehabis bertanding melawan kakek yang seperti mayat hidup itu, namun dia percaya bahwa pamannya yang sakit akan dapat sembuh kembali dan dengan adanya pamannya di situ, tanaga bantuannya tidak dibutuhkan lagi.

Dengan sebuntal pakaian dan pedang Li-mo-kiam di punggung, Kwi Hong kemudian meninggalkan pantai, melakukan perjalanan cepat berlari-larian menuju ke selatan, melalui sepanjang pantai laut. Dia merasa gembira, merasa bebas seperti seekor burung di angkasa. Dia akan memperlihatkan kepada dunia kang-ouw bahwa dia, murid dan keponakan Pendekar Super Sakti, penghuni Pulau Es, adalah seorang dara perkasa yang akan membalas terhadap mereka yang telah berani menghancurkan Pulau Es! Dia akan memperlihatkan kepada Gak Bun Beng bahwa tidak percuma pemuda itu memberi pedang Pusaka Li-mo-kiam kepadanya karena dengan pedang itu, dia akan menggerakkan dunia kang-ouw, akan membasmi penjahat-penjahat, akan melakukan hal-hal yang lebih hebat dari pada yang telah dilakukan oleh guru dan pamannya, Pendekar Siluman!

Langkahnya cepat sesuai dengan hatinya yang ringan. Seorang dara cantik jelita, yang usianya sudah cukup dewasa, sudah dua puluh tahun lebih, namun senyum dan sinar matanya masih kekanak-kanakan seperti seorang dara remaja belasan tahun! Wajahnya bulat dikelilingi rambutnya yang hitam subur dan gemuk, rambut yang dibagi dua di belakang kepala, dijadikan dua buah kuncir yang besar dan dibiarkan bermain-main di punggung dan pundaknya kalau dia berjalan.

Anak rambut halus berjuntai di atas dahi dan di depan kedua telinganya, melingkar indah seperti dilukis. Sepasang matanya yang agak lebar bersinar-sinar penuh gairah hidup, agak panas sesuai dengan wataknya, penuh keberanian bahkan ada sinar memandang rendah kepada segala apa yang dihadapinya. Hidungnya mancung dan mulutnya dijaga sepasang bibir yang merah segar, bibir yang mudah sekali berubah-ubah, kalau tersenyum amat cerah seperti sinar matahari, kalau cemberut amat menyeramkan seperti awan gelap mengandung kilat.

Pakaiannya terbuat dari pada sutera berwarna yang halus mahal, akan tetapi bentuknya sederhana. Betapa pun juga, segala macam pakaian yang menempel di tubuh itu takkan mungkin mampu menyembunyikan bentuk tubuh dara yang sudah padat dan masak, dengan lekuk lengkung tubuh yang ketat, seolah-olah hendak memberontak dari kungkungan pakaian yang mengurungnya.

Ketika dia berjalan mengayun langkah menggerakkan kedua lengan, jalan seenaknya tanpa dibuat-buat, seolah-olah seluruh lengkung tubuhnya menari-nari dengan penuh keserasian, mengandung daya tarik luar biasa terutama terhadap pandangan mata kaum pria!

Setelah melakukan perjalanan belasan hari lamanya dan mulai memasuki Propinsi Liau-neng, mulailah Kwi Hong melewati dusun-dusun besar bahkan kota-kota yang ramai. Tujuannya pertama-tama hanya satu, yaitu ke kota raja. Di sanalah tempat yang harus dia selidiki, yang menjadi pusat dari pada musuh-musuh yang harus dicarinya. Bukankah penyerbuan oleh pasukan pemerintah yang menghancurkan Pulau Es itu datang dari kota raja dan dipimpin oleh Koksu negara yang tentu berdiam di kota raja?

Sebelum Bun Beng meninggalkan pantai di mana anak buah Pulau Es mengungsi, pemuda itu sudah menceritakan dengan jelas siapa-siapa orangnya yang membantu Koksu menghancurkan Pulau Es. Mereka adalah kedua orang Lama yang menurut pamannya amat lihai dan adalah musuh-musuh lama pamannya, yaitu Thian Tok Lama dan Thai Li Lama dan ditambah lagi dua orang guru murid yang menjadi musuh lama mereka pula, yaitu Tan Ki atau Tan-siucai yang berotak miring dan gurunya, Maharya!

Dia harus mencari mereka itu semua, bukan hanya untuk membalas kehancuran Pulau Es, akan tetapi juga untuk berusaha merampas kembali Hok-mo-kiam dari tangan Si Sastrawan Gila, Tan-siucai. Dia maklum bahwa semua lawannya itu adalah orang-orang yang amat lihai, akan tetapi dia tidak takut! Dengan Li-mo-kiam di tangannya, dia tidak takut melawan siapa pun juga. Bahkan kakek Si Mayat Hidup yang demikian sakti pun, iblis Pulau Neraka itu, dia mampu melawan dan mendesaknya! Apa lagi yang lain-lain itu!

Siapa lagi musuh-musuhnya? Demikian Kwi Hong mengingat-ingat sambil melanjutkan perjalanannya. O, ya! Thian-liong-pang yang dikabarkan memusuhi Pulau Es! Akan dia kacau Thian-liong-pang yang menurut kabar adalah perkumpulan yang jahat itu! Dan Pulau Neraka yang pernah menculiknya adalah adik angkat pamannya sendiri, dan dia sudah dilarang pamannya untuk memusuhi... ehhh, siapa namanya? Oh, dia ingat sekarang. Bibi Lulu! Hemmm, dia tidak akan memusuhi Bibi Lulu, akan tetapi bocah kurang ajar itu!

Kwi Hong menggigit bibirnya dengan gemas jika teringat kepada Wan Keng In! Bocah itu tentu putera Bibi Lulu, pikirnya. Kurang ajar dan jahat sekali! Dahulu ketika masih kecil saja sudah nakal luar biasa. Apa lagi sekarang! Dan ketika menolong Kakek Mayat Hidup, pedang Lam-mo-kiam berada di tangannya! Dia harus mengalahkan bocah itu dan merampas Lam-mo-kiam karena sebetulnya Bun Beng yang berhak atas pedang itu!

Hari telah senja ketika Kwi Hong yang berjalan sambil melamun itu memasuki dusun Kang-san yang cukup besar. Perutnya terasa lapar maka dia lalu masuk ke sebuah restoran di pinggir jalan. Ketika para tamu melihat dia masuk ke restoran itu, banyak mata memandangnya dengan terbelalak. Kwi Hong tidak merasa aneh lagi melihat mata laki-laki memandangnya terbelalak penuh kagum. Hal ini sudah terlalu sering dia alami semenjak dia berusia lima belas tahun dan melakukan perantauannya keluar Pulau Es.

Mula-mula memang dia marah-marah dan sering kali dia menghajar pemilik mata yang memandangya secara kurang ajar, seperti mata kucing melihat daging itu, akan tetapi lama-lama dia terbiasa dan kini dia tidak mengacuhkan lagi ketika semua laki-laki yang sedang makan di restoran itu menyambut kehadirannya dengan mata terbelalak. Bahkan hal ini seperti biasa, mempertebal keyakinan di hati Kwi Hong bahwa dia adalah seorang dara yang cantik menarik. Teringat akan ini, makin girang hatinya karena terbayang olehnya betapa di antara sekian banyaknya mata laki-laki yang bengong mengaguminya terdapat sepasang mata Bun Beng! Sayang hanya bayangan, pikirnya, namun dia penuh harapan sekali waktu akan melihat mata Bun Beng melotot seperti mata mereka ini ketika memandangnya.

"He, Bung Pelayan! Ke sinilah!" Dia menggerakkan jari memanggil pelayan yang juga berdiri di sudut melongo memandangnya.

Ketika ia mengangkat muka, Kwi Hong mengerutkan alisnya. Aihhh, pandang mata mereka itu tidak hanya kagum seperti biasa, akan tetapi mengandung sinar ketakutan! Hemmm, apakah dia menakutkan? Kurang ajar! Dia disangka apa sih? Tak puas hati Kwi Hong dan setelah pelayan datang dekat, dia membentak,

"Heii, mengapa semua orang memandangku seperti anjing-anjing takut digebuk?"

Seketika mereka yang memandang itu membuang muka dan melempar pandang mata ke bawah, bahkan ada yang bergegas meninggalkan warung.

"Maaf... maaf... Lihiap. Kami... ehh, kami tidak apa-apa, hanya... hanya kagum melihat kegagahan Lihiap..."

"Hushhh! Bohong kamu!" Kwi Hong menggunakan jari tangannya yang halus dan kecil memucuk rebung (meruncing) itu mencengkeram ujung meja.

"Kressss!" Ujung meja kayu itu patah dan sekali diremas, kayu di dalam genggaman itu hancur menjadi tepung! "Hayo terus terang bicara kalau hidungmu tidak lebih keras dari pada kayu ini!" Kwi Hong mendesis lirih, akan tetapi penuh ancaman.

Otomatis tangan kiri Si Pelayan meraba hidungnya, matanya melotot memandang tangan dara itu, bergidik ngeri membayangkan betapa hidungnya akan remuk kalau kena dicengkeram seperti itu, lalu menelan ludah, demikian sukar menelan ludah sampai kepala dan lehernya bergerak. Beberapa kali bibirnya bergerak tanpa dapat mengeluarkan suara, akhirnya dapat juga dia bicara.

"Maafkan saya, Lihiap. Sebetulnya kalau saya katakan tadi bahwa kami semua kagum melihat Lihlap, karena selama ini, beberapa hari yang lalu sering kali muncul gadis-gadis cantik yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa. Entah betapa banyak orang yang tewas di tangan gadis cantik itu, dan di dusun ini selama beberapa hari terjadi pertandingan-pertandingan yang menggegerkan penduduk, terjadi di waktu malam. Oleh karena itu, begitu melihat Lihlap, kami menyangka bahwa Lihiap tentulah seorang di antara mereka dan kami kagum sekali."

Kwi Hong sudah menjadi sabar kembali. "Hemmm, buka mata lebar-lebar sebelum menyamakan aku dengan orang-orang lain tukang bunuh! Hayo cepat sediakan bakmi godok istimewa!"

"Istimewa? Maksud Lihiap...?"

"Bodoh! Bakmi istimewa berarti pakai telur. Hayo cepat! Dan arak manis yang istimewa!"

"Eh, araknya pakai telur?" Pelayan itu melongo.

"Tolol kamu! Yang istimewa rasanya, bukan pakai telur. Cepat! Bodoh benar pelayan di sini." Kwi Hong menurunkan buntalan dan pedangnya di atas meja, hatinya tidak marah lagi akan tetapi masih mendongkol melihat sikap pelayan yang dianggapnya bodoh itu, apa lagi ada beberapa orang tamu yang ia tahu tertawa-tawa geli biar pun mereka menyembunyikan tawa mereka dengan menutupi muka atau memutar tubuh membelakanginya.

Tak lama kemudian, pelayan itu datang membawa bakmi dan arak yang dipesan Kwi Hong dan pada saat itu terdengar derap kaki kuda lewat di depan restoran. Suara derap kaki kuda itu berhenti tidak jauh dari restoran. Melihat cara para penunggang kuda yang duduk tegak di atas punggung kuda, rata-rata memiliki sikap gagah dan pimpinan mereka adalah seorang wanita muda yang cantik dan gagah, Kwi Hong tertarik sekali.

"Siapakah mereka itu?" tanyanya kepada pelayan yang sedang menaruh pesanannya ke atas meja dengan sikap hormat.

"Ah, sekarang saya yakin bahwa Nona bukanlah seorang di antara mereka. Mereka itulah rombongan yang saya ceritakan tadi. Semenjak mereka datang ke dusun ini, setiap malam terjadi pertandingan dan pada keesokan harinya tampak macam-macam orang bergelimpangan."

"Mayat-mayat siapa?"

"Orang-orang yang terkenal memiliki kepandaian tinggi di sekitar dusun ini."

"Apakah rombongan itu orang jahat?"

"Sukar dikatakan, Nona. Mereka, kecuali dara cantik yang kadang-kadang memimpin mereka selalu membayar makanan yang mereka beli di sini atau di lain tempat. Akan tetapi, kalau ada yang berani menantang, tentu dia akan celaka karena mereka itu memiliki kepandaian seperti iblis!"

"Hemmm..." Kwi Hong mulai menyumpit bakminya, tetapi sebelum memasukkannya ke mulutnya yang kecil dia lalu bertanya lagi, "Rombongan orang apakah itu? Dan apa namanya?"

"Saya tidak tahu jelas, Nona, hanya mendengar kabar angin bahwa mereka adalah orang-orang Thian-liong-pang yang..."

"Hemmm, Thian-liong-pang?" Sesumpit bakmi yang sudah menyentuh bibir itu terhenti dan Kwi Hong menoleh kepada Si Pelayan. "Kudengar tadi kuda mereka berhenti tak jauh dari sini, mereka ke mana?"

"Mereka bermalam di dalam rumah penginapan satu-satunya yang berada dekat dari sini, hanya terpisah tujuh rumah. Semua tamu, beberapa hari yang lalu terpaksa harus meninggalkan penginapan karena semua kamar dibutuhkan mereka yang jumlahnya ada belasan orang. Hemm, hati para penduduk menjadi gelisah terus selama mereka berada di sini, Nona. Sungguh pun kami tidak pernah diganggunya, tetapi semenjak mereka datang, suasana menjadi penuh ketegangan dan hati siapa tidak akan menjadi ngeri kalau melihat hampir setiap malam terjadi pembunuhan? Sudahlah, harap maafkan, Nona, saya tidak berani bicara lagi tentang mereka." Pelayan itu pergi dan hati Kwi Hong menjadi panas. Hemm, orang-orang Thian-liong-pang yang mengacau dusun ini? Harus dia selidiki!

Malam hari itu Kwi Hong menyembunyikan pedang pusakanya di bawah punggung bajunya dan setelah keadaan menjadi sunyi, dia menggunakan kepandaiannya meloncat ke atas genteng rumah-rumah orang. Dari atas itu dia terus berloncatan, mengerahkan ginkang-nya sehingga kedua kakinya tidak menimbulkan suara gaduh, terus berlompatan menuju ke rumah penginapan di mana bermalam orang-orang Thian-liong-pang yang akan dia selidiki. Dia mendapat kenyataan betapa dusun itu, tepat seperti yang diceritakan Si Pelayan restoran, diliputi suasana gelisah sehingga sore-sore penduduk sudah menutup pintu, hanya mereka yang terpaksa keluar rumah. Jalan-jalan raya yang diterangi nyala lampu-lampu depan rumah, kelihatan sunyi sekali.

Tiba-tiba Kwi Hong menyelinap di belakang sebuah wuwungan, bersembunyi dalam bagian gelap ketika pandang matanya yang tajam melihat berkelebatnya bayangan tiga orang dari sebelah kanan. Ketiga orang itu juga berlari di atas genteng menggunakan ginkang yang cukup lumayan. Ketika mereka lewat dekat, Kwi Hong dapat memandang wajah mereka di bawah sinar bintang-bintang ditambah sinar api lampu penerangan yang menyorot keluar dari celah-celah genteng dan rumah orang.

Mereka adalah tiga orang laki-laki setengah tua. Yang dua orang berpakaian seperti peranakan Mongol dan seorang suku bangsa Han yang berpakaian seorang pelajar. Melihat dua orang berpakaian Mongol itu tidaklah mengherankan karena di dusun itu yang termasuk Propinsi Liau-neng, daerah utara, banyak terdapat orang-orang bersuku bangsa Mancu, Mongol dan lain suku bangsa utara lagi. Akan tetapi yang membuat Kwi Hong curiga adalah sikap mereka.

Mereka tentu bukan orang biasa, karena mereka menggunakan jalan di atas genteng seperti dia. Tentunya mempunyai maksud tertentu. Maka diam-diam dia membayangi mereka dari jauh. Tidaklah sukar bagi Kwi Hong untuk melakukan hal ini karena tingkat ginkang mereka itu masih jauh di bawahnya sehingga dia dapat membayangi mereka tanpa mereka ketahui.

Jantungnya berdebar tegang saat ia mendapat kenyataan bahwa tiga orang itu menuju ke rumah penginapan di mana orang-orang Thian-liong-pang berada dan menjadi tempat yang akan diselidikinya. Apakah tiga orang itu anggota rombongan mereka?

Pertanyaan ini terjawab ketika mereka tiba di atas rumah penginapan, seorang di antara mereka, yang berpakaian sastrawan atau pelajar, berseru nyaring,

"Manusia-manusia penjilat rendah! Orang-orang Thian-liong-pang pengkhianat bangsa! Keluarlah kalian! Kami bertiga, Sepasang Beruang Utara dan aku Tiat-siang-pit Bhe Lok, datang untuk membalas kematian kawan-kawan seperjuangan kami!"

Kwi Hong cepat bersembunyi, mendekam di balik sebuah wuwungan tak jauh dari situ, memandang ke depan penuh perhatian. Kiranya tiga orang itu datang untuk memusuhi Thian-liong-pang dan diam-diam dia heran mendengarkan mereka menyebut Thian-liong-pang sebagai pengkhianat bangsa dan penjilat! Siapakah tiga orang ini dan mengapa pula Thian-liong-pang mereka sebut pengkhianat bangsa?

Sepanjang pendengarannya Thian-liong-pang adalah sebuah perkumpulan yang besar dan amat kuat, bahkan di dunia kang-ouw hanya ada tiga buah perkumpulan atau nama yang terkenal, yaitu Pulau Es, Pulau Neraka dan Thian-liong-pang. Belum pernah dia mendengar bahwa Thian-liong-pang adalah pengkhianat bangsa. Karena dia tidak tahu duduknya perkara, maka dia mengambil keputusan untuk mendengarkan dan menonton saja tanpa mencampuri urusan mereka. Kalau terbukti bahwa Thian-liong-pang melakukan perbuatan jahat dan mengacau penduduk, barulah dia akan turun tangan membasmi mereka!

Tiba-tiba suara yang halus nyaring memecah kesunyian menyambut ucapan orang berpakaian sastrawan yang bernama Bhe Lok, berjuluk Tiat-siang-pit (Sepasang Pensil Besi) itu, "Heeiii, kalian orang-orang tak tahu malu! Kalian adalah pemberontak hina yang menggunakan sebutan perjuangan dan pahlawan untuk mengelabui mata rakyat, siapa tidak tahu bahwa kalian hanyalah orang-orang yang mencari kedudukan dan kesempatan untuk merampok? Kalau sudah bosan hidup, turunlah!"

"Ha-ha! Orang lain boleh jadi takut berhadapan dengan Thian-liong-pang perkumpulan hina tukang culik dan tukang curi ilmu orang! Akan tetapi kami Sepasang Beruang dari Utara tidak takut kepada siapa pun juga!" Seorang di antara kedua orang peranakan Mongol tadi tertawa bergelak, perutnya yang gendut berguncang.

"Kalian hanyalah dua orang pelarian dari pasukan Mongol yang sudah kalah, sekarang masih berani banyak lagak? Turunlah kalau memang berani!" kembali suara halus tadi menantang.

Ketiga orang itu mencabut senjata masing-masing. Tiat-siang-pit Bhe Lok mencabut sepasang senjata yang berbentuk pensil bulu yang seluruhnya terbuat dari pada besi, sedangkan kedua orang Mongol itu mencabut sepasang tombak pendek masing-masing, kemudian ketiganya melayang turun ke pekarangan belakang rumah penginapan yang diterangi oleh lampu-lampu gantung di tiga sudut. Gerakan mereka ringan dan cepat, seperti tiga ekor burung yang terbang melayang turun dan begitu tiba di atas tanah, ketiganya sudah menggerakkan senjata masing-masing, diputar melindungi tubuh kalau-kalau ada serangan senjata lawan.

Akan tetapi ternyata tidak ada senjata rahasia yang menyambar ke arah mereka, bahkan dengan sikap tenang sekali muncullah tiga orang kakek yang rambutnya panjang riap-riapan dan bertangan kosong, keluar dari balik pintu dan menyambut mereka dengan senyum mengejek.

Kwi Hong cepat menyelinap mendekat dan mendekam di atas wuwungan, sambil bersembunyi mengintip ke bawah. Dia masih tetap tidak mengerti mengapa Thian-liong-pang bermusuhan dengan orang-orang itu. Dari percakapan mereka agaknya mereka itu tidaklah bermusuhan pribadi, melainkan karena urusan pemerintah dan agaknya jelas bahwa Thian-liong-pang berada di pihak yang membantu pemerintah sedangkan dua orang Mongol dan sastrawan itu adalah penentang-penentang pemerintah. Akan tetapi Kwi Hong tidak tahu persoalannya dan memang sejak kecil pamannya selalu berpesan agar dia tidak mencampuri urusan pemerintah.

"Urusan yang menyangkut pemerintah adalah urusan yang ruwet," demikian antara lain pamannya berpesan, "karena itu jangan sekali-kali engkau melibatkan diri dengan urusan pemerintah. Banyak terjadi pertentangan dan permusuhan karena pro atau anti suatu pemerintahan yang hanya terseret oleh rasa pertentangan golongan atau pun terdorong oleh ambisi pribadi untuk mencari kedudukan saja. Di dalam perebutan kedudukan itu terdapat lika-liku yang amat ruwet."

Tidaklah mengherankan kalau Pendekar Super Sakti memesan muridnya atau keponakannya ini agar jangan melibatkan diri dengan urusan negara karena pertama-tama, Kwi Hong sendiri adalah puteri seorang pembesar Mancu. Apa lagi kalau diingat isterinya sendiri, Nirahai, adalah puteri Kaisar! Bahkan adik angkatnya, wanita yang dicintanya sampai saat itu, Lulu juga seorang wanita Mancu. Bagaimana dia dapat menentang pemerintah Mancu?

Kwi Hong mengintai dengan hati tegang ketika melihat betapa tiga orang pendatang itu kini telah menyerang tiga orang kakek Thian-liong-pang yang bertangan kosong. Gerakan Sepasang Beruang dari Utara itu amat ganas dan kuat. Sepasang tombak pendek di tangan mereka mengeluarkan angin mendesing dan setiap serangan mereka dahsyat sekali. Ada pun permainan sepasang pit di tangan sastrawan itu halus gerakannya namun juga amat cepat dan berbahaya, jelas dapat dikenal dasar ilmu silat Hoa-san-pai yang dimainkan oleh sastrawan setengah tua itu.

Namun diam-diam Kwi Hong terkejut juga melihat gerakan tiga orang kakek rambut panjang dari Thian-liong-pang. Mereka itu hebat sekali! Biar pun mereka bertangan kosong, namun gerakan mereka demikian cepat dan ringan sehingga semua gerakan lawan dapat mereka elakkan dengan mudah, bahkan mereka membalas serangan lawan dengan totokan Coat-meh-hoat dari Partai Bu-tong-pai yang amat lihai dan berbahaya! Baru berlangsung tiga puluh jurus saja Kwi Hong sudah dapat melihat jelas bahwa tiga orang penyerbu itu sama sekali bukanlah tandingan tiga orang kekek Thian-liong-pang yang lihai itu. Baru tiga orang saja sudah sedemikian hebat, apa lagi kalau belasan orang Thian-liong-pang keluar semua! Dan pemimpin mereka tentu lihai bukan main!

Kwi Hong tidak tahu siapa yang benar dan siapa salah dalam pertentangan di bawah itu dan tadinya dia pun tidak mau peduli, tidak tahu harus membantu yang mana. Akan tetapi ketika melihat kenyataan bahwa tiga orang penyerbu itu sama saja dengan mengantar nyawa secara sia-sia, dia menjadi penasaran juga, apa lagi mengingat akan penuturan pelayan restoran bahwa pihak Thian-liong-pang telah membunuh banyak orang. Tangan kanannya meraba genteng, memecah tiga potong yang digenggamnya dan dia berseru ke bawah,

"Sia-sia membuang nyawa dengan nekat bukanlah perbuatan gagah, tetapi perbuatan goblok! Selagi masih ada kesempatan, menyelamatkan diri, tidak mau pergi, lebih tolol lagi!"

Tiba-tiba tiga sinar hitam kecil menyambar ke arah tiga orang kakek Thian-liong-pang yang sudah mendesak lawan. Mereka terkejut dan berusaha mengelak, akan tetapi hanya seorang saja yang berhasil meloncat ke belakang, bergulingan sampai jauh lalu meloncat bangun lagi, sedangkan dua orang kakek lainnya sudah roboh karena tertotok sambitan potongan genteng kecil itu. Mendengar suara itu dan melihat betapa tiga orang lawan mereka yang lihai diserang secara gelap, tiga orang penyerbu itu cepat melompat ke atas genteng di depan sambil berseru,

"Terima kasih atas pertolongan Li-hiap!" Mereka maklum bahwa ucapan itu memang tepat dan kalau sampai semua orang Thian-liong-pang turun tangan, tentu mereka akan tewas secara sia-sia. Maka begitu sampai di atas genteng, ketiganya lalu pergi lari secepatnya menghilang di dalam kegelapan malam.

"Manusia sombong yang lancang tangan!" Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan halus dan pintu-pintu di rumah penginapan itu terbuka disusul munculnya banyak orang yang dipimpin oleh seorang dara yang cantik jelita. Keadaan menjadi lebih terang karena di antara mereka ada yang membawa lampu.

Kwi Hong adalah seorang gadis yang berwatak keras dan tidak mengenal takut. Di dasar hatinya dia sudah mempunyai rasa tidak senang kepada Thian-liong-pang yang menurut penuturan para pamannya di Pulau Es, merupakan perkumpulan besar yang bersikap memusuhi Pulau Es. Kini melihat munculnya dara yang amat cantik dan yang memakinya, dia menjadi marah dan balas memaki,

"Kaliankah orang-orang Thian-liong-pang yang sombong? Kabarnya Thian-liong-pang adalah perkumpulan besar yang memiliki banyak orang pandai, kiranya tiga orang kalian tadi sama sekali tidak ada gunanya!"

"Bocah sombong!" Dua orang kakek meloncat ke atas dan gerakan mereka yang amat ringan itu menandakan bahwa mereka berdua memiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi dari pada tingkat tiga orang yang tadi melawan tiga penyerbu dan yang dipukul mundur oleh potongan genteng yang disambitkan Kwi Hong.

Dengan gerakan jungkir balik, keduanya sudah menerjang ke arah tubuh Kwi Hong dari dua jurusan, melakukan serangan yang amat dahsyat dan biar pun mereka menyerang dengan kedua tangan kosong, namun pukulan mereka mendatangkan angin keras dan merupakan pukulan yang mengandung tenaga sinkang kuat!

Namun Kwi Hong adalah seorang dara yang semenjak kecilnya berlatih sinkang di Pulau Es, di bawah pengawasan pamannya sendiri, tentu saja dia memiliki sinkang yang jarang tandingannya. Melihat datangnya pukulan dari belakang dan depan itu, cepat ia merubah kedudukan kakinya, tubuhnya dimiringkan sehingga kini pukulan itu tidak datang dari belakang, melainkan dari kanan kiri. Tanpa menggeser kakinya, dia mengembangkan kedua lengan, memapaki pukulan itu dengan dorongan telapak tangannya sambil membentak.

"Pergilah kalian!"

Dua orang kakek itu yang tentu saja memandang rendah, melihat betapa gadis itu menangkis pukulan mereka dengan telapak tangan terbuka, mereka melanjutkan pukulan dengan pengerahan sinkang agar gadis yang berani menghina Thian-liong-pang ini dapat dirobohkan dengan sekali serang.

"Desss! Desss!"

Kedua pukulan mereka bertemu dengan telapak tangan yang halus lunak, akan tetapi betapa kaget hati mereka ketika tenaga sinkang mereka hanyut dan lenyap, sedangkan dari telapak tangan yang halus lunak itu keluar hawa dingin yang demikian hebat dan cepatnya menyerang mereka melalui lengan mereka sehingga mereka merasa lengan itu lumpuh dan hawa yang dingin luar biasa membuat mereka menggigil, terus hawa dingin itu merayap menuju ke dada. Mereka berusaha mempertahankan diri, namun dorongan hawa dingin yang luar biasa itu membuat tubuh mereka terpelanting dan terguling ke bawah. Mereka berteriak kaget, berusaha mengerahkan ginkang, akan tetapi karena rasa dingin tadi membuat tubuh mereka seperti kaku, mereka masih terbanting ke atas tanah sehingga seorang di antara mereka pingsan dan yang seorang lagi bangun duduk merintih-rintih sambil memegangi pinggulnya yang terbanting keras!

Tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring dan tampaklah sinar hitam meluncur ke atas dengan cepat sekali. Sinar itu ternyata adalah sehelai tali yang meluncur keras seperti seekor ular panjang yang hidup, ujungnya bergerak-gerak dan menotok ke arah kedua mata Kwi Hong! Karena cuaca di atas tidaklah begitu terang, Kwi Hong tak dapat melihat ujung tali hitam dan hanya menangkap suara dan anginnya, maka dia terkejut bukan main. Cepat ia menggerakkan kedua tangannya ke depan muka, selain untuk menjaga mata juga untuk menangkap benda panjang yang menyambarnya itu.

Kiranya dara jelita yang memegangi tali hitam dari bawah itu lihai bukan main. Dialah yang mengeluarkan suara melengking tadi dan menggunakan tali hitam untuk menyerang Kwi Hong yang berada di atas genteng. Begitu melihat gadis perkasa di atas itu hendak menangkap ujung senjatanya yang aneh, dara ini cepat menggerakkan pergelangan tangannya dan tiba-tiba ujung tali di atas itu tidak jadi melanjutkan serangan ke arah mata, melainkan meluncur ke bawah dan tahu-tahu telah membelit kaki kiri Kwi Hong dan dara itu mengerahkan tenaga, menarik tali secara tiba-tiba ke bawah!

"Aihhh!" Kwi Hong terkejut bukan main.

Tali itu demikian lemas sehingga ia tidak merasa ketika kakinya dibelit, tahu-tahu hanya merasa betapa kakinya ditarik dengan kuat sekali dari atas wuwungan genteng! Karena tarikan itu tiba-tiba dan juga tenaga tarikan berdasarkan sinkang sedangkan tali itu pun amat kuatnya, Kwi Hong tak dapat mempertahankan kakinya lagi yang terpeleset dan tubuhnya terpelanting, jatuh ke bawah!

"Haiiiitttt!" Dengan kekuatan yang luar biasa ditambah kegesitannya, Kwi Hong telah dapat menggerakkan tubuh, tangannya menyambar wuwungan sehingga tubuhnya tertahan dan kini terjadilah tarik-menarik!

Dara di sebelah bawah meggunakan dua tangan yang memegang tali untuk menarik, sedangkan Kwi Hong dengan berpegang pada wuwungan genteng, mempertahankan kakinya yang terbelit tali dan ditarik ke bawah. Dia maklum bahwa kalau sampai dia jatuh ke bawah, tentu dia akan disambut oleh pengeroyokan orang-orang Thian-liong-pang. Dia tidak takut dikeroyok, akan tetapi dalam keadaan kakinya terbelit tali dan jatuh ke bawah, tentu saja keadaannya amat berbahaya. Maka dia mempertahankan diri mati-matian sambil mengerahkan tenaga pada tangan yang berpegang pada wuwungan.

Tarik-menarik terjadi. Betapa pun juga, Kwi Hong tentu saja kalah posisi, dan tiba-tiba wuwungan genteng itu tidak kuat bertahan lagi. Terdengar suara keras dan wuwungan itu ambrol, genteng-gentengnya runtuh ke bawah disusul tubuh Kwi Hong yang melayang turun pula. Akan tetapi untung bagi Kwi Hong karena runtuhnya wuwungan itu membuat orang-orang Thian-liong-pang yang berada di bawah menjadi kaget dan takut tertimpa, maka mereka meloncat dan menyingkir. Dengan berjungkir balik, Kwi Hong berhasil membuka lipatan ujung tali pada kakinya dan ketika ia melayang turun dan disambut oleh orang Thian-liong-pang yang memukulnya, ia cepat menangkis.

"Plak! Plak!"

Kembali Kwi Hong terkejut. Tangkisannya membuat kedua orang itu terpental, akan tetapi kedua tangannya juga tergetar hebat, tanda bahwa dua orang yang menyerangnya itu memiliki sinkang yang amat kuat.

"Tar-tar-tar-tar!"

Ujung tali panjang itu meledak-ledak di atas kepalanya dan secara berturut-turut, ketika ia mengelak ke sana-sini, ujung tali itu telah menotok ke arah ubun-ubun, kedua pelipis, jalan darah di tengkuk dan tenggorokan! Tempat-tempat berbahaya yang ditotok, dan semua merupakan serangan maut berbahaya! Kwi Hong terbelalak dan secepat kilat dia meloncat ke atas, berjungkir balik dan mengelak serta menangkis totokan ujung tali secara bertubi-tubi itu.

Sementara itu, para anggota Thian-liong-pang sudah siap dan mencabut senjata masing-masing. Juga tampak belasan orang yang berpakaian pasukan pemerintah muncul dari pintu samping. Celaka, pikir Kwi Hong. Kiranya Thian-liong-pang benar-benar bekerja sama dengan pemerintah dan biar pun dia tidak takut dikeroyok, akan tetapi kalau sampai dia bentrok dengan pasukan pemerintah dan dicap pemberontak, bukankah berarti dia akan menyeret nama baik kehormatan pamannya? Dia melepaskan lagi gagang Li-mo-kiam yang sudah dirabanya dan sekali meloncat, tubuhnya sudah melayang ke atas.

Empat orang anggota Thian-liong-pang berseru dan melompat pula. Akan tetapi, tubuh Kwi Hong yang masih di atas itu, dapat membuat gerakan salto, membalik dan kedua kakinya menendang roboh dua orang pengejar terdekat yang juga masih berada di udara! Semua orang melongo dan kagum. Gerakan itu tiada ubahnya gerakan seekor burung garuda yang dapat menyerang! Dan memang sesungguhnya Kwi Hong mendapatkan gerakan ini karena meniru gerakan garuda tunggangannya di Pulau Es dahulu! Kini semua orang hanya berdiri melongo memandang bayangan Kwi Hong yang mencelat dan lenyap ditelan kegelapan malam.

Milana, dara jelita yang mengunakan tali panjang tadi, menjadi penasaran sekali. Apa lagi ketika tiba-tiba telinganya mendengar suara ringkik disusul derap kaki kuda di sebelah belakang rumah penginapan, mukanya menjadi merah.

"Si keparat itu mencuri kuda kita! Hayo kejar!"

Anak buah Thian-liong-pang cepat berlari-larian dan di dalam malam gelap itu mulailah mereka melakukan pengejaran. Dan memang benar sekali dugaan Milana, Kwi Hong telah meloncat ke belakang penginapan dan melihat banyak kuda di kandang, timbul kenakalannya. Dia mencuri seekor kuda terbaik dan melarikan diri naik kuda curian itu! Gadis yang nakal itu tidak ingat bahwa dengan melarikan diri berkuda, maka dia memberi kesempatan kepada orang-orang Thian-liong-pang untuk mengejarnya, karena selain kuda mengeluarkan bunyi derap kaki yang cukup keras, juga di waktu terang tanah, para pengejarnya dapat mencari jejak kaki kudanya.

Milana merasa penasaran sekali. Gadis cantik yang sombong itu benar-benar telah menghina dan mempermainkan Thian-liong-pang! Harus dia akui bahwa gadis itu memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi belum tentu dia kalah kalau diberi kesempatan untuk bertanding secara benar-benar. Tentu saja Milana sama sekali tidak pernah mengira bahwa gadis cantik itu adalah murid Pendekar Siluman, tidak pernah mengira bahwa dia tadi bertanding melawan Giam Kwi Hong yang pernah dijumpainya sepuluh tahun yang lalu! Karena mengira bahwa gadis tadi adalah seorang tokoh kang-ouw yang tentu memusuhi Thian-liong-pang, Milana menjadi penasaran dan belum puas hatinya kalau dia belum dapat menguji kepandaian gadis cantik tadi. Maka dia memimpin anak buahnya melakukan pengejaran dengan berkuda pula.

Kwi Hong tidak kalah penasaran dibandingkan dengan Milana. Sambil memacu kudanya keluar dari dusun menuju ke selatan, tiada hentinya Kwi Hong mengomel seorang diri panjang pendek. Sungguh menggemaskan hati! Mengapa hampir saja dia celaka di tangan seorang dara remaja? Menurut penglihatannya, biar pun tidak begitu jelas, hanya melihat dari atas dan wajah gadis di bawah itu hanya ditimpa sedikit cahaya lampu, namun dia tahu bahwa dara yang cantik jelita itu usianya tentu jauh lebih muda dari pada dia. Seorang dara remaja belasan tahun! Dan dia hampir celaka di tangannya! Demikian rendahkan kepandaiannya? Bukankah dia murid bahkan keponakan Pendekar Super Sakti, jagoan nomor satu di dunia yang tiada bandingannya?

Pamannya sudah terkenal di seluruh jagat karena kesaktiannya, mengapa dia sebagai keponakan dan murid yang telah digembleng sejak kecil, melawan seorang bocah dari Thian-liong-pang saja hampir keok? Hmm, jika saja tidak muncul pasukan pemerintah, tentu dia akan mengajak dara remaja dan semua anak buahnya berduel sampai mereka dapat membuka mata dan melihat siapa dia! Pedangnya tentu akan membasmi mereka semua! Kwi Hong merasa penasaran sekali. Akan tetapi, diam-diam dia merasa ragu apakah dia benar-benar akan menang melawan gadis kecil bersama belasan orang pembantunya yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi.

"Hemm, kalau dikeroyok, tentu saja berat!" Kwi Hong berjebi. "Kalau main keroyokan, mereka pengecut! Jika maju satu demi satu, aku dan pedangku sanggup mengalahkan mereka semua!"

Kwi Hong melarikan kudanya sampai pagi, tak pernah berhenti. Dia melakukan perjalanan dalam cuaca remang-remang, hanya diterangi bintang-bintang di langit dan menjelang pagi barulah muncul bulan sepotong. Setelah matahari mulai muncul dari balik daun-daun pohon di hutan sebelah depan, Kwi Hong baru merasa aman karena sejak lewat tengah malam tadi, suara derap kaki kuda yang mengejarnya sudah tidak terdengar.

Dia memasuki hutan sambil menjalankan kudanya perlahan-lahan. Biar pun dia tidak tidur semalam suntuk, namun tubuhnya terasa segar tertimpa sinar matahari pagi dan memasuki hutan yang yang kelihatan segar kehijauan itu. Kicau burung dan kokok ayam hutan menyambut munculnya matahari. Pohon-pohon dengan daun kehijauan dihias embun mengintan berkilauan di ujungnya. Rumput-rumput hijau segar membasah dan kadang-kadang tampak berkelebatnya seekor kelinci atau kijang yang melarikan diri bersembunyi di dalam semak-semak.

Kwi Hong tersenyum gembira. Betapa indahnya pemandangan di dalam hutan di waktu pagi, setelah berbulan-bulan dia harus hidup di tepi laut yang kering dan tandus. Betapa senangnya hidup bebas seperti itu, seperti burung-burung yang berkicauan dan saling berkejaran. Tiba-tiba alisnya berkerut ketika ia melihat seekor burung jantan mengejar-ngejar seekor burung betina, bercanda, berkejaran, bercuit-cuit amat gembira.

Teringatlah ia kepada Bun Beng dan wajahnya yang berseri gembira tadi menjadi muram. Ia menghela napas panjang. Kwi Hong tentu akan menjadi murung hatinya, berlarut-larut termenung kalau saja matanya tidak tertarik oleh serombongan orang yang datang dari kiri memasuki hutan itu pula. Seketika ia lupa akan kekesalan hatinya teringat Bun Beng tadi dan kini dia menghentikan kudanya, menanti orang-orang dan memandang penuh perhatian.

Rombongan orang berjalan kaki itu jumlahnya ada lima belas orang dan setelah mereka datang dekat, Kwi Hong terbelalak keheranan karena muka orang-orang itu berwarna-warni. Orang-orang Pulau Neraka! Tidak salah lagi. Dia sudah tahu akan keanehan para penghuni Pulau Neraka, yaitu warna muka mereka yang seperti dicat itu. Sebagian besar adalah orang-orang yang mukanya berwarna kuning tua, dipimpin oleh dua orang yang bermuka merah muda.

Ah, ternyata bukanlah orang-orang tingkat rendah, pikir Kwi Hong yang sudah mengerti bahwa makin muda warna muka seorang Pulau Neraka, makin tinggilah tingkatnya. Akan tetapi yang membuat dia terbelalak keheranan bukanlah kenyataan bahwa rombongan itu adalah orang-orang Pulau Neraka, melainkan benda yang mereka bawa dan kawal. Benda itu adalah sebuah peti mati! Peti mati berukuran kecil, agaknya untuk seorang kanak-kanak tanggung, dipanggul oleh dua orang dan dipayungi segala! Yang lain-lain mengiringkan dari belakang.

Begitu mendapat kenyataan bahwa mereka adalah orang-orang Pulau Neraka, hati Kwi Hong sudah merasa tidak senang. Dia maklum bahwa Ketua Pulau Neraka adalah Lulu, adik angkat pamannya. Akan tetapi bukankah kakek mayat hidup yang ia temui di tepi pantai itu mengatakan bahwa Lulu hanyalah seorang ketua boneka saja? Dan dia pernah diculik ke Pulau Neraka, dan sikap Bibi Lulu terhadap paman amat tidak baik, apa lagi bocah bernama Keng In putera Bibi Lulu itu! Dia merasa benci dan begitu melihat orang-orang yang mukanya beraneka warna itu, ingin sudah hatinya untuk menentang dan menyerang mereka. Akan tetapi, melihat peti mati itu, keheranannya lebih besar dari pada ketidak senangannya maka dia lalu berkata nyaring.

"Heiii! Bukankah kalian ini orang-orang Pulau Neraka? Siapakah yang mati dan hendak kalian bawa ke mana peti mati itu?"

Seorang wanita setengah tua yang bermuka galak dan seorang laki-laki tinggi besar, keduanya bermuka kuning tua, meloncat maju dan memandang Kwi Hong dengan mata bersinar marah. Tentu saja mereka marah menyaksikan sikap seorang gadis yang sama sekali tidak menghormat padahal gadis itu sudah tahu bahwa dia berhadapan dengan orang-orang Pulau Neraka. Sikap seperti itu sama dengan memandang rendah dan menghina. Selain itu, juga mereka sedang melakukan sebuah tugas yang amat penting dan rahasia, kini tanpa disengaja berjumpa dengan gadis itu, tentu saja mereka menjadi khawatir dan tidak senang.

Wanita setengah tua bermuka kuning tua itu menjawab, "Bocah sombong, sudah pasti peti mati ini bukan untukmu karena engkau akan dikubur tanpa peti mati!"

"Heiii, apa kau gila? Aku belum mati, siapa bilang mau dikubur?" Kwi Hong membentak marah.

"Setelah bertemu dengan kami, mengenal kami dan bersikap sesombong ini, apakah bukan berarti engkau menjadi calon mayat?"

"Keparat! Engkaulah yang patut mampus!" Kwi Hong balas memaki, matanya yang indah itu melotot.

Kedua orang bermuka kuning tua itu segera menerjang maju dan karena mereka memandang rendah kepada Kwi Hong, mereka menyerang sembarangan saja. Yang wanita menampar ke arah pundak Kwi Hong untuk membuat dara itu turun dari kuda, sedangkan yang pria menampar ke arah kepala kuda yang kalau terkena tentu akan pecah!

"Tar! Tar!"

Melihat kedua orang itu menyerang, Kwi Hong tidak mengelak mau pun menangkis, melainkan mengelebatkan perut kudanya, mendahului mereka dengan serangan pecut. Biar pun dia tidak biasa mainkan pecut, namun berkat tenaga sinkang-nya yang hebat, ujung pecut itu dua kali menyambar dan mengarah muka mereka yang berwarna kuning tua!

"Plak! Plak! Aiiihhh...!" Dua orang itu cepat menangkis dan hendak mencengkeram ujung pecut, akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika lengan mereka terasa nyeri dan pecah kulitnya, mengeluarkan darah begitu bertemu dengan ujung pecut yang bergerak dengan kekuatan luar biasa itu!

"Dari mana datangnya bocah sombong berani main gila dengan penghuni Pulau Neraka?" Orang tinggi besar bermuka merah muda membentak keras dan bersama temannya yang bermuka merah muda pula, yang berkepala gundul dan bertubuh tinggi gendut pendek, segera menerjang maju. Biar pun jarak di antara mereka dengan Kwi Hong masih ada dua meter lebih, namun mereka telah melancarkan pukulan jarak jauh. Si Tinggi Besar menghantam ke arah Kwi Hong sedangkan Si Gendut Pendek menghantam ke arah kuda yang ditungangi gadis itu.

"Wuuuuutttt! Siuuut!"

Kwi Hong terkejut. Bukan main hebatnya angin pukulan kedua orang itu, maha dahsyat dan mengandung bau amis seperti ular berbisa. Maklumlah dia bahwa kedua orang Pulau Neraka yang sudah agak tinggi tingkatnya melihat warna mukanya itu memiliki pukulan beracun, maka dia tidak berani berlaku lambat. Sekali enjot, tubuhnya mencelat ke atas, tapi terdengar kudanya meringkik kesakitan dan roboh berkelojotan sekarat.

"Berani kau membunuh kudaku?" Kwi Hong membentak, tubuhnya menukik dan meluncur ke bawah, cambuknya digerakkan bertubi-tubi ke arah kepala dan tubuh Si Gundul Pendek yang sibuk mengelak sambil bergulingan.

"Tar-tar-tar-tar!"

Biar pun Si Gundul Pendek itu mengelak dan bergulingan ke sana-sini, namun tetap saja beberapa kali dia kena dihajar ujung cambuk sampai kepala gundulnya lecet dan bajunya robek-robek. Namun temannya sudah menerjang Kwi Hong dari belakang dengan pukulan beracun yang dahsyat, membuat gadis itu terpaksa mencelat ke belakang, meninggalkan Si Gundul dan siap menghadapi pengeroyokan mereka. Karena dia maklum bahwa lima belas orang itu amat lihai, maka tangan kanannya bergerak dan berbareng dengan bunyi mendesing nyaring tampaklah sinar kilat berkelebat membuat lima belas orang itu terkejut dan otomatis melangkah mundur sambil memandang ke arah pedang di tangan Kwi Hong dengan mata terbelalak.

"Pe... dang... Iblis...!" Si Tinggi Besar bermuka merah muda berseru kaget.

"Hemmm, kalian mengenal pedangku? Majulah, pedangku sudah haus darah!" Kwi Hong menantang.

"Melihat pedang itu, kita tidak boleh membunuhnya. Tangkap hidup-hidup, pergunakan asap berwarna. Cepat, ketua kita telah menanti, jangan sampai dia marah!"

Mendengar ini, jantung Kwi Hong berdebar. Dia tidak takut akan ancaman mereka untuk menangkapnya hidup-hidup dengan menggunakan asap berwarna yang ia duga tentulah asap beracun. Akan tetapi mendengar bahwa Ketua mereka telah menanti, dan agaknya berada di dekat tempat itu, dia menjadi bingung. Kalau sampai adik angkat pamannya tahu bahwa dia mengamuk, lalu maju sendiri bagaimana? Selain agaknya tak mungkin dia dapat menangkan Bibi Lulu itu, juga wanita aneh itu telah menolong dia dan penghuni Pulau Es ketika diserang pasukan pemerintah. Apa lagi kalau dia teringat akan pesan pamannya, kemarahannya terhadap orang-orang ini menjadi menurun dan ia membanting kakinya sambil berseru, "Sudahlah, aku mau pergi saja!"

Kwi Hong meloncat, akan tetapi dari depan menghadang enam orang anggota Pulau Neraka dengan senjata mereka melintang. Kwi Hong marah, Pedang Li-mo-kiam dipercepat berubah menjadi segulung sinar kilat. Enam orang itu terkejut, menggerakkan senjata masing-masing melindungi tubuh dan terdengarlah suara nyaring berulang-ulang disusul teriakan-teriakan kaget karena semua senjata enam orang itu patah-patah dan tubuh gadis itu mencelat ke depan, terus lari dengan cepat sekali!

Karena takut kalau-kalau rombongan orang Pulau Neraka itu melakukan pengejaran, bukan takut kepada mereka melainkan takut kalau sampai bertemu dengan Lulu, Kwi Hong berlari cepat ke selatan di mana terdapat sebuah anak bukit. Ke sanalah dia melarikan diri dengan bibir cemberut karena pertemuannya dengan rombongan Pulau Neraka itu membuat dia kehilangan kudanya. Akan tetapi kepada siapakah dia akan menumpahkan kemarahannya dan kejengkelannya?

Betapa pun juga, dia tidak mungkin dapat nekat mengamuk dan dapat menghadapi Bibi Lulu apabila wanita itu muncul. Hal ini tentu akan membuat pamannya marah sekali, sungguh pun dia sama sekali tidak akan takut apabila dia harus menghadapi Bibi Lulu sekali pun. Apa lagi kalau dia teringat akan Keng In, ia bahkan ingin sekali bertemu dengan pemuda itu dan menantangnya untuk bertanding, tidak hanya mengadu kepandaian, akan tetapi juga mengadu pedang mereka. Bukankah Pedang Lam-mo-kiam berada di tangan pemuda brengsek itu? Pedang itu adalah pedang Bun Beng, dan kalau dia dapat bertemu dengan Keng In berdua saja, dia pasti akan merampaskan Pedang Lam-mo-kiam dan akan ia berikan kepada Bun Beng!

Ketika ia tiba di anak bukit itu, kembali ia terkejut karena ternyata bahwa bukit itu merupakan sebuah tanah perkuburan yang luas sekali! Di sana tampak batu-batu bong-pai (nisan), ada yang masih baru akan tetapi sebagian besar adalah bong-pai yang tua dan tulisannya sudah hampir tak dapat dibaca, tanda bahwa tanah kuburan itu adalah tempat yang sudah kuno sekali. Ia teringat akan rombongan orang Pulau Neraka yang membawa peti. Celaka, pikirnya, aku telah salah lari. Mereka itu menuju ke tempat ini untuk mengubur peti mati itu.

Berpikir demikian, Kwi Hong berlari terus dengan maksud hendak melewati bukit tanah kuburan itu dan untuk berlari terus ke selatan karena dia hendak mencari musuh-musuh pamannya, musuh-musuh Pulau Es, di kota raja. Tiba-tiba bulu tengkuknya berdiri dan kedua kakinya otomatis berhenti, bahkan kini kedua kaki itu agak menggigil! Kwi Hong takut?

Tidak mengherankan kalau dara perkasa ini ketakutan. Siapa orangnya yang tidak akan menjadi seram dan takut jika tiba-tiba mendengar suara orang tertawa cekikikan dan terkekeh-kekeh di tengah tanah kuburan, sedangkan orangnya tidak tampak. Suara ketawa itu pun tidak seperti biasa, lebih pantas kalau iblis atau mayat yang tertawa! Kwi Hong seorang gadis pemberani, akan tetapi baru dua kali ini dia benar-benar menggigil ketakutan dan bulu tengkuknya menegang. Pertama adalah ketika ia menemukan sebuah peti di tepi laut yang ketika dibukanya ternyata berisi mayat hidup! Kedua adalah sekarang ini. Tempat itu demikian sunyi, tidak terdengar suara seorang pun manusia. Dan tiba-tiba ada suara ketawa dan agaknya suara ketawa itu terdengar dari mana-mana, mengelilinginya!

Ah, mana ada setan! Gadis ini berpikir sambil menekan rasa takutnya. Dahulu pun, mayat hidup itu ternyata adalah seorang kakek yang sakti, bahkan tokoh pertama dari Pulau Neraka, bukan setan. Sekarang pun pasti bukan setan, apa lagi di waktu pagi ini, mana ada iblis berani muncul melawan cahaya matahari? Tentu seorang yang lihai sehingga suara ketawanya yang mengandung tenaga khikang itu terdengar bergema ke sekelilingnya. Kwi Hong menjadi tabah dan kini dia menahan napas mengerahkan sinkang-nya, menggunakan tenaga pendengarannya untuk mencari dari mana datangnya sumber suara ketawa itu.

Benar saja dugaannya. Suara ketawa yang mengurungnya itu adalah gema suara yang mengandung khikang amat kuat, sedangkan sumbernya dari... sebuah kuburan kuno! Kembali ia terbelalak dan bulu tengkuk yang sudah rebah kembali itu kini mulai bangkit lagi! Suara ketawa dari kuburan kuno? Apa lagi kalau bukan suara setan atau mayat hidup? Hampir saja Kwi Hong meloncat jauh dan melarikan diri secepatnya kalau saja dia tidak merasa malu. Biar pun tidak ada orang lain yang melihatnya, bagaimana kalau ternyata yang tertawa itu manusia dan melihat dia lari tunggang-langgang macam itu betapa akan memalukan sekali! Tidak, dari pada menanggung malu lebih baik menghadapi kenyataan, biar pun dia harus berhadapan dengan iblis di siang hari sekali pun!

"Heh-heh-heh-heh, hayo... biar kecil, hatinya besar, hi-hi-hik!"

Nah, benar manusia, pikir Kwi Hong yang masih bingung karena suara itu benar-benar keluar dari sebuah kuburan yang sudah ditumbuhi banyak rumput dan tidak tampak ada manusia di dekat kuburan itu.

"Krik-krik-krik!"

"Krek-krek-krek!"

Eh, ada suara dua ekor jangkrik! Makin tertarik hati Kwi Hong, apa lagi ketika kembali terdengar orang tak tampak itu bicara sendiri.

"Eh, maju, jangan mepet di pinggir, sekali dorong kau akan jatuh! Ha, biar pun kecil merica tua, makin kecil makin tua dan makin pedas! Ha-ha-ha!"

Dengan berindap-indap Kwi Hong maju menghampiri dan hampir saja dia tertawa terkekeh-kekeh saking lega dan geli rasa hatinya saat melihat bahwa yang disangkanya mayat hidup atau iblis itu kiranya adalah seorang kakek yang sudah tua sekali, duduk seorang diri di atas tanah depan bong-pai tua sambil mengadu jangkrik di atas telapak tangan kirinya!

Kakek itu sudah amat tua, sukar ditaksir berapa usianya. Rambutnya yang riap-riapan, kumisnya, jenggotnya, semua sudah putih dan tidak terpelihara sehingga kelihatan mawut tidak karuan. Pakaiannya pun longgar tidak karuan bentuknya, sederhana sekali. Kakinya memakai alas kaki yang diberi tali-temali melibat-libat kakinya ke atas, lucu dan kacau.....

SEPASANG PEDANG IBLIS (seri ke 7 Bu Kek Siansu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang