Jilid 47/50

1.6K 15 0
                                    

Dengan pikiran ini pergilah Kwi Hong meninggalkan kota raja, kembali ke utara dan kini tujuan perjalanan hanya satu, yaitu ke Pulau Neraka! Dia maklum bahwa tidaklah mudah mencari Pulau Neraka akan tetapi dia pernah dibawa oleh bibi Lulu ke pulau itu, dan dapat mengira-ngirakan di sebelah mana letak Pulau Neraka.

Giam Kwi Hong melakukan perjalanan cepat, melalui pegunungan dan hutan-hutan yang sunyi. Pada suatu pagi, ketika dia keluar dari sebuah hutan, dia melihat dari jauh orang-orang sedang bertempur. Tiga orang yang bersenjata tongkat hitam melawan lima orang bersenjata toya panjang. Biar pun ilmu tongkat tiga orang itu aneh dan cukup lihai, namun menghadapi pengeroyokan lima orang yang juga memiliki ilmu toya yang mirip-mirip aliran Siauw-lim-pai, mereka bertiga terdesak hebat.

Kwi Hong tidak mempedulikan urusan orang lain, akan tetapi melihat betapa pertandingan itu tidak adil dan berat sebelah, tiga orang dikeroyok lima, dia cepat meloncat ke tengah arena pertandingan sambil berseru, "Tahan...!"

Delapan orang itu yang melihat bahwa yang melerai mereka hanya seorang gadis muda, tentu saja tidak mau berhenti bertanding, bahkan dua orang Pek-eng-pang yang merasa bahwa gadis itu mengganggu pihak mereka yang sudah hampir menang, mengira bahwa gadis itu tentu hendak membantu lawan. Dengan marah mereka menggerakkan toya mereka dan membentak, "Pergi kau!"

"Sing...! Trak-trakkk!" Dua batang toya itu patah-patah bertemu dengan Li-mo-kiam.

"Berhenti dan jangan bertempur kataku!" Kwi Hong membentak, mengelebatkan pedangnya.

Dua orang pemegang toya, yaitu orang-orang dari perkumpulan Pek-eng-pang, terkejut dan terbelalak memandang toya yang sudah buntung di tangan mereka. Toya mereka terbuat dari baja murni yang kuat, mengapa bertemu dengan pedang di tangan gadis itu seolah-olah berubah seperti sebatang bambu saja.

"Siapa kau?" Seorang di antara lima orang Pek-eng-pang yang menjadi pemimpin mereka berkata. Orang ini berpakaian seperti jubah pendeta, rambutnya digelung melengkung ke atas. "Mengapa kau berani mencampuri urusan kami?"

"Aku siapa bukan soal, yang jelas kalian adalah orang-orang tak tahu malu dan pengecut, mengeroyok dengan jumlah lebih besar. Karena itu, aku tidak senang dan kalian harus berhenti bertempur. Kalian boleh bertempur kalau satu lawan satu, atau tiga lawan tiga."

"Perempuan muda yang sombong! Berani sekali kau menghina kami dari Pek-eng-pang, ya? Apakah kau sudah bosan hidup?" Orang yang dandanannya seperti seorang saikong itu membentak.

"Bukan aku yang bosan hidup, akan tetapi kalian!" bentak Kwi Hong yang sudah marah sekali, pedang Li-mo-kiam di tangannya sudah menggetar.

"Siluman betina, kau boleh bantu tikus tikus Koai-tung-pang ini kalau sudah bosan hidup!" Orang itu berkata dan memberi isyarat kepada empat orang kawannya.

"Tidak perlu dengan mereka, aku sendiri sudah cukup untuk melenyapkan kalian orang-orang sombong!" Kwi Hong bergerak cepat sekali, pedangnya berubah menjadi kilat menyambar-nyambar.

Lima orang itu terkejut dan cepat mereka menangkis dan balas menyerang. Akan tetapi, seperti juga tadi, begitu bertemu dengan Li-mo-kiam, toya mereka patah-patah dan sekali ini Li-mo-kiam tidak hanya berhenti sampai di situ saja, melainkan menyambar ganas ke depan. Terdengar jerit lima kali disusul robohnya lima batang tubuh para anggota Pek-eng-pang dan tewas seketika karena leher mereka ditembus pedang Li-mo-kiam yang ganas dan ampuh!

Melihat dara itu berdiri tegak memandang pedang Li-mo-kiam di tangan, pedang yang kembali sudah minum darah lima orang akan tetapi yang agaknya semua darah disedotnya habis karena di permukaan pedang itu sama sekali tidak tampak noda darah, tidak ada setetes pun, tiga orang anggota Koai-tung-pang menggigil kakinya.

"Mo-kiam Lihiap..." Mereka bertiga berbisik dan menjatuhkan diri berlutut. "Kami menghaturkan terima kasih atas bantuan Lihiap," kata seorang di antara mereka.

Kwi Hong tersenyum sedikit dan menyimpan pedangnya. "Kalian sudah mengenalku?"

"Baru sekarang kami bertemu dengan Lihiap, akan tetapi nama besar Mo-kiam Lihiap siapakah yang tidak mengenalnya. Harap Lihiap tidak kepalang menolong kami. Kami adalah anggota-anggota Koai-tung-pang di Bukit Serigala, sudah lama kami selalu diganggu oleh pihak Pek-eng-pang yang jauh lebih besar dari perkumpulan kami. Kalau mendengar bahwa ada lima orang anggota mereka tewas, tentu mereka akan ke sini dan kami akan celaka."

"Lima orang telah mati semua, bagaimana mereka tahu?"

"Lihiap tidak mengerti. Di samping lima orang ini, tadi masih ada seorang lagi yang bersembunyi dan melihat-lihat keadaan. Mereka selalu begitu, melepas mata-mata melakukan penyelidikan. Kini orang itu tentu telah melapor dan kami pasti akan celaka, mungkin perkumpulan kami akan diserbu! Kini mereka mendapat alasan yang kuat, lima orang anggota mereka tewas, sungguh hebat sekali..." Pemimpin tiga orang itu berkata dengan suara gemetar mengandung rasa takut.

"Hemmm, kalian mengira bahwa aku membunuh mereka karena aku membantu kalian? Sama sekali bukan. Aku tak mau mencampuri urusan kalian yang tiada sangkut pautnya dengan aku! Aku tadi melerai bukan untuk membantu kalian, melainkan karena tidak suka melihat perkelahian yang berat sebelah. Dan, aku membunuh karena mereka menghinaku. Sudahlah!" Sebelum tiga orang anggota Koai-tung-pang itu sempat membantah, tubuh Kwi Hong berkelebat dan lenyap dari tempat itu.

Tiga orang itu saling pandang dengan muka pucat. "Celaka...!" kata pemimpin mereka, "Kalau begini, kita akan celaka. Lebih baik dia tadi tidak muncul, paling hebat kita hanya dirobohkan oleh orang-orang Pek-eng-pang dan mereka tentu tidak akan membunuh kita. Sekarang, keadaan lain lagi, bukan hanya kita akan celaka, bahkan seluruh Koai-tung-pang tentu akan dihancurkan oleh Pek-eng-pang."

"Lebih baik kita melapor kepada Pangcu (Ketua)!" usul seorang di antara mereka. Tergesa-gesa mereka lalu berlari pergi, meninggalkan lima buah mayat itu untuk cepat-cepat melaporkan kepada ketua mereka di lereng Bukit Serigala yang tidak jauh dari tempat itu.

Kwi Hong sudah melanjutkan perjalanannya dengan cepat, tidak mempedulikan dan sudah melupakan lagi urusan tadi. Akan tetapi tak lama kemudian, tiba-tiba dia menghentikan langkahnya ketikar melihat debu mengepul dari depan dan muncullah sepuluh orang berlari-lari cepat mendatangi. Mereka dikepalai oleh seorang saikong berjubah lebar yang usianya sudah lima puluh tahun lebih. Sepuluh orang itu semua memegang sebatang toya panjang dan melihat ini Kwi Hong dapat menduga bahwa mereka tentulah orang-orang Pek-eng-pang, kawan-kawan dari lima orang yang dibunuhnya tadi. Sinar matanya menjadi berkilat berbahaya karena dara ini telah menjadi marah sekali.

"Dia inilah orangnya!" Seorang di antara mereka menuding, agaknya orang inilah yang tadi menjadi mata-mata dan yang menyaksikan ketika lima orang anggota mereka itu tewas oleh pedang Li-mo-kiam di tangan Kwi Hong.

Mereka sudah tiba di depan Kwi Hong dan saikong itu membentak marah, "Nona, benarkah engkau telah membunuh mati lima orang anggota kami?"

"Kalau benar demikian, kalian mau apakah?"

Saikong itu menjadi makin marah, toya di tangannya sudah bergerak seolah-olah dia hendak menyerang. "Hemmmm, engkau benar-benar seorang wanita muda yang sombong sekali. Kalau benar demikian, mengapa kau membunuh para anggota kami?"

"Mereka telah menghinaku, tentu saja kubunuh."

"Perempuan rendah, kau sungguh kejam. Siluman betina yang harus dienyahkan dari muka bumi!" Saikong itu berteriak dan memberi isyarat kepada anak buahnya. Mereka menyerbu dengan toya mereka sambil mengurung Kwi Hong.

"Awas pedangnya tajam sekali!" teriak orang yang tadi mengintai dan melihat betapa toya kawan-kawannya patah semua bertemu dengan pedang.

Akan tetapi teriakannya terlambat karena sudah ada dua batang toya yang patah bertemu pedang, bahkan pedang itu terus membacok ke depan dan dua orang anggota terpelanting mandi darah!

"Kurung dan serang! Jangan adukan senjata!" Saikong itu berseru dan dia sendiri menerjang dengan hebatnya. Gerakan saikong ini memang hebat, tenaganya besar dan permainan toyanya adalah permainan ilmu toya dari Siauw-lim-pai yang sudah bercampur dengan ilmu silat lain dari golongan hitam.

Kwi Hong bersikap tenang dan terpaksa dia harus mengelak ke sana ke mari karena datangnya senjata lawan seperti hujan. Mereka berlaku cerdik, mengeroyoknya dari jarak jauh, tidak mau mengadu senjata dan mengandalkan toya mereka yang panjang untuk menyerang dari segenap penjuru.

Tiba-tiba tampak datang delapan orang yang kesemuanya memegang tongkat hitam. Itulah rombongan Koai-tung-pang yang juga dipimpin oleh ketuanya. Begitu tiba di situ dan melihat gadis perkasa itu dikeroyok orang-orang Pek-eng-pang sedangkan dua orang di antara mereka telah roboh, Ketua Koai-tung-pang berseru,

"Pek-eng-pangcu (Ketua Pek-eng-pang) dia itu adalah Mo-kiam Lihiap, musuh kita bersama. Mari kami bantu kalian!"

Kini delapan orang Koai-tung-pang itu serentak maju dan mengeroyok Kwi Hong. Tentu saja gadis ini menjadi marah sekali. "Bagus! Majulah orang-orang pengkhianat dan pengecut!" Dia begitu marahnya sehingga dialah yang menerjang maju ke orang-orang Koai-tung-pang, mengelebatkan pedangnya dan menggunakan ginkang-nya.

"Singgg-trang-trang-trakk!"

Tiga batang tongkat patah-patah dan dua orang anggota Koai-tung-pang roboh dan tewas seketika oleh babatan pedang Li-mo-kiam. Namun teman-temannya mengurung ketat. Kini masih ada delapan orang Pek-eng-pang dan enam orang Koai-tung-pang yang mengurung, menyerang dari jarak jauh dan selalu menarik senjata mereka kalau sinar pedang Li-mo-kiam berkelebat. Menghadapi pengeroyokan ini, biar pun tidak terdesak, Kwi Hong merasa repot juga.

"Wuuuttt... singgg... aughhh...!"

Teriakan saling susul terdengar ketika ada sinar kilat menyambar dari luar kepungan, disusul robohnya dua orang anggota Pek-eng-pang. Pengepungan menjadi kacau dan mereka cepat membalik. Kiranya di situ telah berdiri seorang pemuda tampan yang memegang sebatang pedang yang serupa dengan pedang yang berada di tangan Kwi Hong, hanya agak lebih panjang.

"Nona Kwi Hong, jangan khawatir, aku membantumu!"

Biar pun Kwi Hong terheran melihat Wan Keng In, pemuda iblis dari Pulau Neraka itu bersikap membantunya, namun dia memang tidak senang kepada pemuda itu, dan membentak, "Aku tidak butuh bantuanmu!"

"Ha-ha-ha, betapa pun juga, aku mau membantumu. Nanti saja kita bicara, sekarang mari kita berlomba membasmi cacing-cacing ini, kita lihat siapa yang lebih hebat antara murid Cui-beng Koai-ong dan murid Bu-tek Siauw-jin!"

"Boleh kau coba! Li-mo-kiam ini tidak akan kalah oleh Lam-mo-kiam itu!" jawab Kwi Hong yang segera mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk merobohkan para pengeroyok.

Wan Keng In tidak mau kalah, pedang Lam-mo-kiam di tangannya berkelebatan bagai naga sakti mengamuk. Yang celaka adalah para pengeroyok itu. Baru mengeroyok gadis pemegang Li-mo-kiam saja sudah payah, kini ditambah lagi pemuda lihai yang membawa Lam-mo-kiam, Sepasang Pedang Iblis itu mengamuk dan seolah-olah hidup di tangan pemuda dan gadis itu. Darah berceceran dan muncrat dari tubuh yang hampir putus, mayat berserakan dan tak lama kemudian, habislah semua pengeroyok termasuk ketua kedua buah perkumpulan itu. Tinggal Kwi Hong dan Keng In yang berdiri memandang pedang mereka yang sedikit pun tidak bernoda darah biar pun Sepasang Pedang Iblis itu telah minum darah belasan orang!

"Ha-ha-ha! Engkau tidak kecewa menjadi murid Susiok!" Keng In memuji dan bukan pujian kosong karena dia betul-betul merasa kagum. Diam-diam dia ingin sekali membuktikan apakah gadis murid susiok-nya ini akan mampu menandinginya.

Di lain pihak, Kwi Hong juga heran melihat sikap Keng In yang lain dari dahulu. Dahulu pemuda iblis itu selalu memusuhinya, akan tetapi mengapa kini membantunya dan bersikap ramah. Dia tidak peduli akan ini semua dan segera teringat akan pesan Lulu. Dengan pedang Li-mo-kiam masih di tangan, para korban pedang itu masih berserakan di sekitar kakinya dan darah masih bercucuran, dia berkata,

"Wan Keng In, kebetulan sekali kita saling bertemu di sini. Aku membawa pesan dari ibumu untukmu."

Berkerut alis Keng In mendengar ini. Dia juga sedang terheran memikirkan ke mana perginya ibunya, sungguh pun hal itu tidak menyusahkan hatinya benar.

"Di mana kau berjumpa dengan ibuku? Dan apa yang dipesannya? Eh, Nona. Apakah tidak lebih baik kalau kita bicara di tempat lain, tidak di antara bangkai-bangkai yang menjijikkan ini?"

"Terserah kepadamu," jawab Kwi Hong singkat.

Keng In kemudian meloncat dan berlari ke dalam hutan di sebelah kiri, dan Kwi Hong menyusulnya. Kini mereka berhadapan di bawah sebatang pohon yang besar.

"Nah, di sini kan lebih enak. Akan tetapi mengapa kau tidak menyimpan pedangmu?"

Kwi Hong memandang pedang yang masih dipegangnya. "Hmm, menghadapi engkau yang memegang pedang terhunus, lebih baik aku tidak menyimpan pedangku."

Keng In mengangkat alisnya, memandang pedang Lam-mo-kiam di tangannya dan tertawa. "Ha-ha, aku sampai lupa. Agaknya kau curiga kepadaku." Dia menyarungkan pedangnya dan diturut pula oleh Kwi Hong.

"Aku bertemu dengan ibumu di Pulau Es..."

"Apa? Ibuku di Pulau Es?" Keng In benar-benar terkejut sekali karena tidak disangka-sangkanya bahwa ibunya mau pergi ke Pulau Es.

"Benar, tidak itu saja. Malah sekarang Bibi Lulu telah menjadi isteri Paman Suma Han bersama Bibi Nirahai. Mereka bertiga tinggal di Pulau Es sebagai suami isteri."

Dapat dibayangkan betapa kaget hati pemuda itu. Kaget, malu, kecewa dan marah. Akhirnya ibunya tunduk juga kepada pria yang belasan tahun lamanya membikin sengsara hatinya. Ingin dia marah-marah, ingin dia memaki-maki ibunya. Namun Keng In sekarang telah menjadi seorang pemuda yang cerdik dan tidak mau memperlihatkan perasaan hatinya. Dia hanya menunduk sejenak, kemudian ketika dia mengangkat muka lagi, wajahnya sudah biasa dan tenang kembali.

"Apakah pesan Ibu kepadamu untukku?"

Kwi Hong benar-benar tercengang. Sikap Keng In telah berubah sama sekali, jauh bedanya dengan dahulu. Dahulu pemuda itu seperti iblis, akan tetapi kini bersikap biasa dan bahkan ramah.

"Bibi Lulu hanya berpesan kepadaku, kalau aku bertemu denganmu agar membujukmu supaya engkau suka menyusul ibumu di Pulau Es. Hanya begitulah pesannya."

Keng In tersenyum, dan Kwi Hong harus mengakui bahwa pemuda ini tampan sekali, apa lagi kalau tersenyum seperti itu.

"Tentu saja aku harus menyusul Ibu, dan aku harus memberi hormat kepada Ayah tiriku yang sudah lama kukenal nama besarnya itu. Ah, kalau begitu lebih girang hatiku bahwa tadi aku menolongmu. Sekarang kita bukan orang lain lagi. Engkau adalah keponakan Pendekar Super Sakti, juga muridnya, sedangkan aku adalah anak tirinya. Bukankah dengan demikian kita masih dapat dikatakan saudara misan? Apa lagi kalau diingat bahwa engkau adalah juga murid Susiok Bu-tek Siauw-jin, berarti kita adalah saudara misan seperguruan pula. Enci Giam Kwi Hong, kau terimalah hormatku dan maafkan segala kesalahanku yang lalu."

Kwi Hong tercengang dan juga menjadi girang. Ternyata pemuda ini sudah berubah menjadi seorang yang baik, tidak seperti dahulu, jahat seperti iblis. Dia tersenyum dan membalas penghormatan Keng In sambil berkata, "Aku juga girang sekali bahwa engkau bersikap baik, Wan Keng In. Dan memang sudah sepatutnya engkau menjadi adikku. Masih teringat olehku ketika masih kecil dahulu, ketika aku ditawan ibumu. Nakalmu bukan main..."

"Wah, Enci Kwi Hong, apakah kau tidak mau melupakan hal yang lalu. Biarlah aku minta ampun kepadamu." Dan pemuda itu benar-benar menjatuhkan diri berlutut di atas tanah depan kaki Kwi Hong!

"Ihhh! Jangan begitu, Adikku!" Kwi Hong tertawa, membangunkan Keng In dan mereka berdua lalu duduk di bawah pohon, di atas akar pohon yang menonjol keluar dari tanah.

"Enci Kwi Hong, bagaimana engkau sampai tiba di tempat ini! Tentu bukan untuk mencari aku di sini!"

Berat rasa hati Kwi Hong untuk mengaku bahwa dia tadinya hendak mencari Milana dan Bun Beng, bahkan agak malu pula dia mengatakan bahwa dia hendak ke Pulau Neraka mencari gurunya, karena bukankah Pulau Neraka adalah milik pemuda ini? Maka dia menjawab, "Aku hendak mencari Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun dan semua pembantunya."

Keng In mengerutkan alisnya. "Hemmm... mencari mereka ada keperluan apakah, Enci Kwi Hong?"

"Aku mau bunuh mereka!"

"Ehh! Ada apa? Mereka itu lihai-lihai sekali! Kenapa kau hendak membunuh mereka?"

"Mereka itu terutama Bhong Ji Kun, ketika masih menjadi pemberontak, telah menipu aku sehingga aku terpikat bersekutu dengan mereka. Dengan terjadinya hal itu, aku telah melakukan kesalahan besar terhadap pamanku."

"Hemmm, begitukah? Mereka pun pernah membujuk aku. Memang mereka harus dibunuh dan aku akan membantumu, Enci Hong! Bahkan aku dapat membawamu kepada beberapa orang di antara mereka."

"Apa? Benarkah itu, Keng In?"

"Benar, aku tidak membohong. Beberapa hari yang lalu aku melihat beberapa orang anak buah Bhong-koksu itu di dekat pantai Lautan Po-hai, dan agaknya mereka itu bersembunyi di tempat sunyi itu."

Berseri wajah Kwi Hong. "Benarkah? Bagus, mari kau antar aku ke tempat itu, Keng In. Tentu saja mereka itu harus bersembunyi karena mereka adalah pemberontak yang dikejar-kejar pemerintah."

"Mari, Enci Hong. Tapi engkau benar-benar sudah tidak benci lagi kepadaku, bukan? Sudah kau maafkan kesalahanku terhadapmu yang sudah-sudah?"

Kalau memikirkan apa yang telah dilakukan oleh pemuda ini di masa lalu, memang sukar untuk melupakannya. Akan tetapi manusia tidak selamanya baik atau buruk, karena keadaan manusia itu selalu berubah, pikirnya. Sekarang pemuda ini kelihatan berubah sekali, mungkin hal ini juga terdorong oleh keadaan ibunya yang sudah menjadi isteri Pendekar Super Sakti. Apa lagi pemuda itu jelas ingin membantunya, tentu tidak mempunyai niat buruk.

"Aku tidak lagi memikirkan hal yang lalu, Keng In. Aku percaya kepadamu."

Wajah yang tampan itu berseri girang dan berangkatlah Kwi Hong mengikuti Keng In menuju ke pantai Lautan Po-hai yang tidak berapa jauh, hanya memakan perjalanan beberapa hari saja dari situ.

SEPASANG PEDANG IBLIS (seri ke 7 Bu Kek Siansu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang