Jilid 38/50

1.7K 14 0
                                    

"Keparat, siapa engkau...?" Thian Tok Lama sudah menggerakkan tangan dan siap menyerang.

Pemuda itu mengangkat tangan kanannya ke atas dan terdengar suaranya tertawa. Thian Tok Lama terasa seram. Pemuda itu tertawa, atau lebih tepat memperdengarkan suara tertawa, akan tetapi mulut dan matanya tidak tertawa, hanya bibirnya bergerak sedikit. Persis mayat tertawa!

"Ha-ha-ha-ha, pendeta Lama. Kalau aku menjadi engkau, aku tidak akan sembrono menggerakkan tangan menyerang!"

Sikap dan kata-kata pemuda itu membuat Thian Tok Lama ragu-ragu dan curiga. Dia tidak tahu siapakah pemuda aneh ini, kawan ataukah lawan karena keadaan masih agak gelap, bukan hanya gelap oleh asap, akan tetapi karena senja mulai datang dan tempat itu penuh dengan pohon-pohon besar. Akan tetapi ada sesuatu yang seolah-olah membisikkan kewaspadaan kepadanya, maka sekarang dia melangkah maju dan memandang penuh perhatian.

Tiba-tiba pendeta Lama itu terkejut. Kini dia mengenal pemuda itu, seorang pemuda yang masih remaja, akan tetapi yang memiliki sikap aneh luar biasa. Pemuda tampan yang mempunyai mata seperti mata iblis, mukanya agak pucat dan gerak-geriknya membayangkan ketinggian hati yang tidak lumrah. Pemuda dari Pulau Neraka yang pernah muncul di padang tandus ketika Thian-liong-pang mengadakan pertemuan dan pertandingan! Hatinya menjadi agak lega. Pemuda ini bukan tokoh Thian-liong-pang, dan sebagai seorang tokoh Pulau Neraka, pasti sekali bukan sahabat Thian-liong-pang, sungguh pun dia dan pasukannya tidak dapat mengharapkan sikap baik dari penghuni Pulau Neraka yang telah dibasmi oleh pasukan pemerintah itu.

"Orang muda, kalau pinceng tidak salah mengenal orang, engkau adalah orang yang pernah muncul sebagai tokoh Pulau Neraka, benarkah?"

Mendengar ucapan Thian Tok Lama itu, para panglima dan jagoan Nepal terkejut, dan diam-diam mereka bersiap-siap dengan pasukan mereka mengurung pemuda itu. Sedangkan Milana yang diam-diam merasa cemas juga, tetap bersikap dingin dan tidak mau mengacuhkan mereka semua, duduk diam dan tegak di atas kudanya, memandang kejauhan.

Pemuda itu adalah Wan Keng In, putera Ketua Pulau Neraka. Pemuda yang tergila-gila kepada Milana itu, mendengar pertanyaan Thian Tok Lama tersenyum dingin dan hanya mengangguk dan memandang rendah, sama sekali tidak menjawab karena dia sudah menoleh lagi kepada Milana dengan pandang mata penuh kemesraan!

Melihat sikap pemuda itu, diam-diam Thian Tok Lama mendongkol sekali. Dia tahu bahwa pemuda itu memiliki ilmu kepandaian yang lihai dan aneh, akan tetapi dia sendiri bukanlah seorang biasa yang mudah merasa gentar menghadapi lawan semuda itu! Apa lagi melihat bahwa pemuda itu hanya seorang diri, tidak ditemani dua orang kakek seperti setan yang pernah menggegerkan pertemuan yang diadakan Thian-liong-pang. Dengan adanya pasukan dan para pembantunya, tentu saja dia tidak takut menghadapi pemuda yang masih amat muda itu.

"Orang muda, pinceng harap engkau tidak begitu nekat untuk menentang pasukan pemerintah! Apakah engkau yang telah lancang membunuh orang-orang kami itu?" Kembali Thian Tok Lama bertanya.

Dengan sikap acuh tak acuh, Wan Keng In memaksa mukanya mengalihkan pandang mata dari wajah Milana yang jelita kepada wajah Thian Tok Lama yang gemuk. Cuping hidungnya yang tipis bergerak, mengeluarkan dengus menghina, lalu ia berkata, "Thian Tok Lama, tak perlu menggertak aku dengan nama pasukan pemerintah. Aku tahu ini pasukan apa, dan tahu pula apa yang akan dilakukan oleh Koksu bersama Pangeran Yauw Ki Ong. Ha-ha-ha, apa kau kira aku tak melihat betapa kalian membasmi Thian-liong-pang? Sungguh bagus...!"

Dapat dibayangkan betapa kaget hati Thian Tok Lama mendengar ucapan itu, dan semua anggota pasukan sudah meraba senjata. Akan tetapi karena pendeta Lama itu belum memberi aba-aba, mereka semua hanya bersiap-siap menghadapi pemuda yang mendatangkan suasana menyeramkan itu.

"Orang muda, di pihak siapakah engkau berdiri?" Thian Tok Lama memancing, tidak mau berpura-pura lagi karena maklum bahwa dia menghadapi orang luar biasa.

"Tentu saja di pihakku sendiri, tolol!" Wan Keng In menjawab. "Kalian membasmi Thian-liong-pang bukan urusanku karena Ketua Thian-liong-pang berani menghina dan menolak pinanganku. Tetapi engkau telah berani menawan dan menghina tunanganku ini, hemm..., benar-benar tak boleh dibiarkan begitu saja. Kalau Koksu tidak minta maaf kepada Nona Milana, aku akan membasmi dia dan semua kaki tangannya!"

"Manusia sombong...!" Bhe Ti Kong berseru marah sekali.

Panglima ini adalah seorang yang tangguh, kasar dan setia kepada Koksu. Sudah banyak dia melihat orang pandai namun orang-orang pandai tunduk dan takut kepada Koksu, maka kini melihat seorang pemuda bersikap demikian angkuh, dan melihat sikap Thian Tok Lama yang dianggapnya terlalu merendahkan kedudukan dan wibawa Koksu, dia menjadi marah sekali.

Sambil membentak demikian, Bhe Ti Kong sudah menerjang maju, meloncat turun dari kudanya dan langsung menyerang pemuda itu dengan senjatanya yang dahsyat, yaitu sebuah tombak cagak yang bergagang pendek. Gerakan panglima ini kuat sekali, dan bagaikan seekor burung rajawali dia menyambar dari atas, langsung tombaknya melakukan gerakan serangan beruntun sampai tiga kali ke arah kepala, leher, dan dada Wan Keng In.

"Plak-plak-plak... bressss...!"

Enak saja Wan Keng In menyambut serangan-serangan itu. Tanpa menggeser kedua kakinya yang masih berdiri terpentang lebar, dengan sikap acuh tak acuh, dia tadi menggerakkan tangan kiri, menyampok ke arah tombak setiap kali ujung tombak itu menyambar. Tiga kali ia menangkis dan yang terakhir kalinya disusul dengan dorongan yang membuat tubuh Panglima Bhe Ti Kong terbanting ke atas tanah dan bergulingan sampai beberapa meter jauhnya! Melihat ini, para jagoan Nepal dan para panglima terkejut dan sudah mencabut senjata masing-masing, bergerak hendak mengeroyok.

"Tahan...!" Thian Tok Lama mengangkat tangan ke atas sehingga pasukannya tidak berani maju, hanya menoleh dan memandang kepadanya penuh pertanyaan. Thian Tok Lama melangkah maju menghadapi Wan Keng In yang tersenyum mengejek.

"Orang muda, engkau siapakah dan apa kehendakmu? Berikan penjelasan sebelum kami terlanjur turun tangan yang akan mendatangkan penyesalan karena kami akan lebih suka menarikmu sebagai sahabat. Pada waktu ini, Koksu membutuhkan bantuan banyak orang pandai dan kalau engkau suka membantunya, pinceng yakin bahwa kelak engkau akan memperoleh kemuliaan."

Pendeta itu memang cerdik sekali. Biar pun dia tidak takut terhadap pemuda ini, akan tetapi kalau sampai terjadi bentrokan, tentu akan jatuh banyak korban di antara pembantu-pembantunya melihat pemuda itu telah mengalahkan Bhe Ti Kong secara lihai bukan main, dalam segebrakan saja. Apa lagi kalau diingat bahwa siapa tahu, muncul pula dua orang kakek setan yang mengerikan itu! Maka, jauh lebih baik membujuk pemuda ini, karena kalau dia berhasil menarik pemuda lihai ini sebagai sekutu, tentu Koksu akan menjadi girang bukan main dan akan memujinya.

Wan Keng In mengeluarkan suara mendengus marah. "Huhhh! Kau kira aku ini orang macam apa yang membutuhkan anugerah Koksu? Kalau Koksu sendiri mau datang ke sini dan minta maaf kepada Nona Milana, kemudian mengundang aku, barulah aku akan pikir-pikir tentang kerja sama yang kau sebut-sebut itu."

Dapat dibayangkan betapa marahnya Thian Tok Lama mendengar ucapan yang amat sombong itu! Namun, sebagai seorang yang sudah banyak pengalaman, dia dapat menduga bahwa pemuda dari Pulau Neraka ini adalah seorang anak manja yang sejak kecil memperoleh pendidikan kesaktian tinggi sehingga terlalu percaya kepada kepandaian sendiri, juga karena ada yang diandalkan. Maka dia bersikap sabar, bahkan tersenyum dan berkata,

"Ha-ha-ha, tenaga seorang pandai memang amat mahal! Seorang pemimpin yang bijaksana tidak akan segan-segan merendahkan diri untuk mendapatkan bantuan orang pandai. Menteri Kiang Cu Ge pun baru mau mengabdi kepada kaisar setelah kaisar datang sendiri mengundangnya. Pantas saja kalau Sicu (Orang Muda Gagah) mencontoh perbuatannya. Namun, sebelum terbukti cukup berharga untuk diundang sendiri oleh Koksu, Sicu harus lebih dulu diuji kepandaiannya. Pinceng adalah seorang pembantu Koksu yang telah memperoleh kepercayaan, biarlah pinceng memberanikan diri untuk menguji kepandaian Sicu, kalau Sicu suka memperkenalkan nama."

Mendengar ucapan dan melihat sikap menghormat ini, Wan Keng In yang biasanya dimanja menjadi bangga sekali. Pendeta itu adalah tangan kanan Koksu Negara, dan sudah menyamakannya dengan Kiang Cu Ge, tokoh manusia dewa dalam sejarah lama (cerita Hong-sin-pong) yang dipuja semua manusia karena kebijaksanaannya sehingga sekalian setan dan iblis di neraka pun tunduk kepadanya!

"Thian Tok Lama, aku Wan Keng In pun bukanlah seorang yang tidak tahu siapa yang pada waktu ini patut dibantu. Aku tadi membunuh orang-orangmu karena aku marah melihat kekasih dan tunanganku ditawan. Kalau engkau hendak mengujiku, silakan, akan tetapi jangan menyesal kalau engkau tewas dalam pertandingan ini!" Benar-benar ucapan yang amat sombong, akan tetapi pada saat itu Wan Keng In sudah mencabut pedangnya yang membuat Thian Tok Lama terbelalak kaget dan ngeri. Pedang di tangan pemuda itu mengeluarkan sinar maut yang berkilat-kilat.

"Aihh... bukankah Lam-mo-kiam di tanganmu itu, Sicu?"

Wan Keng In memandang pedangnya dan mengangguk bangga.

"Wan-sicu, pinceng percaya bahwa Sicu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Biarlah tidak perlu lagi pinceng menguji dan marilah Sicu langsung ikut bersama pinceng pergi menghadap Koksu." Gentar juga pendeta ini melihat Lam-mo-kiam.

Wan Keng In masih melintangkan pedangnya di depan dada, alisnya berkerut, lalu dia menjawab, "Dengan dua syarat!"

"Katakanlah, pinceng yakin Koksu akan dapat memenuhi syarat Sicu."

"Pertama, Nona Milana ini adalah kekasih dan tunanganku, tidak boleh diganggu dan bahkan harus disyahkan menjadi isteriku. Kedua, aku menjadi pembantu langsung dari Koksu Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, dan hanya mau menjadi bawahan orang yang dapat mengalahkan kepandaianku!"

Diam-diam Thian Tok Lama tertawa dalam hatinya. Orang muda ini benar-benar sombong dan berkepala dingin! Akan tetapi dia tersenyum dan mengangguk-angguk. "Koksu adalah seorang yang ahli dalam memilih pembantu, kalau sudah bertemu dengan Wan-sicu dan menyaksikan kelihaian Sicu, tentu akan suka memberikan kedudukan yang tinggi. Tentang Nona ini... ehhh...!"

Tiba-tiba Thian Tok Lama tidak melanjutkan kata-katanya karena terkejut melihat betapa kuda yang ditunggangi Milana itu mendadak meloncat ke depan dan kabur! Kiranya ketika tadi Milana mendengar percakapan di antara mereka dan melihat perkembangan yang tidak menguntungkan baginya, dara ini menjadi makin cemas.

Tadinya dia mengharap akan terjadi bentrokan antara pihak Thian Tok Lama dan Wan Keng In sehingga dalam kekacauan itu dia mendapat kesempatan untuk meloloskan diri. Akan tetapi dengan kecewa dan mendongkol dia melihat perkembangan yang jauh berbeda. Kedua orang itu bahkan bersekutu, maka habislah harapannya untuk melihat mereka bertanding. Karena tidak melihat jalan lain, dan merasa ngeri membayangkan terjatuh ke tangan pemuda gila itu, dia lalu berusaha mengaburkan kudanya sambil mengerahkan tenaga sehingga belenggu kedua tangannya putus.

"Ha-ha, tidak perlu khawatir, aku akan menangkapnya kembali. Heiii, manisku, engkau hendak pergi ke mana? Jangan tinggalkan aku, kekasih...!" Wan Keng In berseru dan tubuhnya sudah meluncur ke depan cepat sekali.

Milana maklum bahwa dia harus melawan mati-matian, maka dengan nekat dia lalu menggerakkan tangannya dan bekas tali yang tadi membelenggu tangannya, kini meluncur menjadi sinar hitam menyambut tubuh Wan Keng In yang mengejarnya.

"Ha-ha-ha, engkau mau main-main denganku?" Wan Keng In tertawa, tangan kiri menyambut tali itu. Menangkap ujungnya dan terus disentakkan ke atas, tangan kanan dipukulkan ke depan ke arah tubuh belakang kuda yang membalap.

Kuda yang ditunggangi Milana mengeluarkan suara meringkik keras dan roboh berkelojotan terkena pukulan jarak jauh yang dilakukan oleh Wan Keng In, sedangkan tubuh dara itu terlempar ke atas ketika tali yang dipergunakan menyerang pemuda itu tadi tertangkap oleh Keng In dan disentakkan ke atas. Pemuda itu benar-benar hebat sekali ilmu kepandaiannya dan kini dia sudah meloncat ke depan untuk menyambut tubuh Milana yang terlempar ke atas.

"Ehhhh...?" Wan Keng In terbelalak heran dan memandang ke atas.

Dia merasa kecelik karena tubuh dara yang dinantikan itu sama sekali tidak kelihatan melayang turun, bahkan ketika ia menarik lagi tali yang dicengkeramnya, tali itu putus dan hampir menghantam mukanya sendiri. Dan dapat dibayangkan betapa heran dan marahnya ketika melihat bahwa kini Milana telah duduk di atas dahan pohon tinggi, berhadapan dengan seorang pemuda dan mereka asyik bercakap-cakap!

Thian Tok Lama dan para panglima serta jagoan-jagoan Nepal sudah memburu ke bawah pohon, dan kini mereka itu mengurung pohon bahkan pasukan lalu dikerahkan untuk menjaga di sekeliling pohon supaya gadis tawanan itu jangan sampai dapat meloloskan diri.

"Milana, manisku, turunlah engkau!" Wan Keng In berkata halus, dan dia pun belum mengenal siapa adanya laki-laki muda yang bercakap-cakap dengan dara itu.

Akan tetapi baik Milana mau pun pemuda di atas pohon itu tidak mempedulikannya, tidak mempedulikan mereka yang mengurung pohon karena mereka berdua itu sedang saling berbantah. Melihat sikap mereka itu, mau tak mau Wan Keng In mendengarkan percakapan mereka. Dia merasa heran dan marah bukan main!

Pemuda yang berada di atas itu bukan lain adalah Gak Bun Beng! Seperti telah diceritakan di bagian depan, pemuda sakti ini meninggalkan markas pasukan istimewa pembantu para pemberontak di perbatasan utara, kemudian dia menuju ke kota raja. Tanpa disengaja, secara kebetulan sekali di dalam hutan itu dia melihat pasukan yang dipimpin Thian Tok Lama sedang diganggu oleh Wan Keng In.

Tentu saja Bun Beng menjadi terkejut sekali dan girang melihat musuh-musuh besarnya, terutama sekali Thian Tok Lama dan Bhe Ti Kong, dua orang di antara mereka yang dahulu mengeroyok dan membunuh gurunya, Siauw Lam Hwesio tokoh Siauw-lim-pai. Akan tetapi ia tercengang melihat Wan Keng In dan ia segera mengenal pemuda Pulau Neraka yang amat lihai itu.

Timbul kemarahannya karena ia teringat betapa dia pernah dikalahkan dan dihina oleh pemuda iblis itu, bahkan pedang Lam-mo-kiam telah dirampas oleh pemuda Pulau Neraka yang semenjak kecil sudah amat jahat itu. Akan tetapi, yang membuat dia terkejut sekali adalah ketika ia melihat Milana duduk di atas punggung kuda sebagai seorang tawanan! Bertemu dengan semua ini, Bun Beng bersikap hati-hati.

Tentu saja paling utama dia harus menolong Milana, dara jelita yang telah melepas budi banyak sekali kepadanya. Namun dia maklum bahwa bukanlah hal yang mudah untuk menolong Milana dari tangan pasukan yang kuat dan dipimpin orang-orang pandai itu, apa lagi di situ terdapat pemuda Pulau Neraka. Karena inilah dia bersabar dan bersembunyi sambil mengintai dan mendengarkan mereka.

Mula-mula dia pun merasa heran ketika mendengar percakapan antara Wan Keng In dan Thian Tok Lama, bahkan seperti juga Milana, diam-diam dia mengharapkan kedua pihak ini akan bertanding sehingga dia mendapat banyak kesempatan untuk menolong dara itu. Akan tetapi betapa kecewanya ketika akhirnya pemuda Pulau Neraka itu dapat terbujuk dan bahkan bersekutu, maka terpaksa dia siap untuk menggunakan kekerasan menyelamatkan Milana. Pada saat itulah Milana merenggut tali belenggunya dan berusaha mengaburkan kuda.

Melihat Milana dikejar Wan Keng In, kudanya dirobohkan dan dara itu sendiri terlempar ke atas, Bun Beng cepat melayang ke atas pohon besar dan menyambar lengan dara itu. Bagaikan dalam mimpi Milana melihat Bun Beng di depannya, di atas dahan pohon tinggi sehingga untuk beberapa lamanya dara ini hanya bisa terbelalak memandang, kemudian perlahan-lahan kedua pipinya berubah merah sekali, jantungnya berdebar.

"Kau...?" Hanya demikian dia dapat mengeluarkan suara.

"Nona, syukur sekali secara kebetulan aku lewat di tempat ini. Serahkan mereka itu kepadaku, akan tetapi engkau harus cepat-cepat pergi dari tempat ini. Berbahaya sekali di sini."

Milana menggeleng kepala keras-keras. "Membiarkan engkau menghadapi mereka sendiri dan aku lari? Tidak! Aku akan membantumu melawan mereka!"

"Aahhh, jumlah mereka terlalu banyak dan kulihat orang-orang pandai di antara mereka. Harap engkau suka menurut, Nona. Sungguh berbahaya sekali kalau memaksa diri melawan."

"Hemm, Gak-twako. Kau bilang berbahaya bagiku kalau melawan, habis engkau sendiri?"

"Nona..."

"Gak-twako, begini sombongkah engkau? Sejak dahulu?"

Bun Beng gelagapan ditegur seperti itu dan dia memandang dengan mata terbelalak lebar. "Sombong! Aku...?"

"Apa kau tidak suka bersahabat denganku?"

"Tentu saja, aku..."

"Sudah mengenal sejak dahulu, mengapa engkau masih selalu sungkan dan menyebut aku nona? Namaku Milana dan engkau tahu ini, bukan?"

"Habis... habis...?"

"Aku tidak mau kau sebut nona! Nah, sebut namaku atau adik, atau... sudah jangan mengenal aku lagi kalau kau begini angkuh!"

"Eh... ohh... Nona... eh, Adik Milana! Jangan main-main begini...!" Bun Beng menegur, terheran-heran mengapa dalam keadaan terancam seperti itu dara yang dahulu bersikap halus dan lemah lembut itu meributkan soal sebutan!

"Gak-twako, tidak girangkah engkau bertemu denganku?"

Bun Beng makin bingung sehingga memandang dengan alis berkerut. Celaka, pikirnya. Jangan-jangan dara ini keracunan, atau telah bingungkah pikirannya? Ia mengangguk.

"Aku... aku girang sekali, Twako tidak tahu engkau betapa girangku... dan ahhh... kau... kau tolonglah aku, Twako...!" Tiba-tiba Milana terisak menangis dan ketika dengan kaget Bun Beng menyentuh lengannya, dara itu memeluknya dan menangis terisak-isak, menyembunyikan muka di dadanya!

Tentu saja Bun Beng menjadi bengong! Dia tidak tahu bahwa sesungguhnya Milana telah menderita guncangan batin yang cukup hebat, menderita tekanan batin yang ditahan-tahannya semenjak dia melihat Thian-liong-pang terbasmi, pembantu-pembantu ibunya gugur dan dia sendiri menjadi tawanan. Dara itu tentu saja berduka sekali melihat perkumpulan ibunya hancur, melihat Tang Wi Siang, Lui-hong Sin-ciang Chie Kang dan yang lain-lain roboh dan tewas, dan kemudian dia sendiri menjadi tawanan, bahkan kemudian terjatuh ke tangan Wan Keng In pemuda yang mengerikan, sedangkan dia belum tahu apa yang telah terjadi dengan ibunya.

Dalam keadaan hampir putus asa itu, secara tiba-tiba, secara tidak terduga-duga, di atas pohon, muncul Gak Bun Beng, orang yang selama ini dirindukannya! Inilah sebabnya mengapa dara itu bersikap demikian aneh, seperti orang mabok atau seperti orang yang berubah ingatannya dan kini dia menangis tersedu-sedu, teringat akan semua kedukaannya dan hanya mengharapkan bantuan orang yang amat dipercayanya ini.

Tentu saja Bun Beng salah sangka. Apakah dara ini telah berubah menjadi seorang yang amat penakut dan menangis menghadapi ancaman bahaya? Jantungnya berdebar tidak karuan. Dara yang menangis di dadanya itu membuat dia merasa betapa dekatnya wajah jelita itu yang menempel di dadanya, terasa olehnya kehangatan air mata membasahi kulit dada dan tercium olehnya harum rambut Milana.

"Nona... eh, Moi-moi (Adik)... hentikan tangismu. Jangan takut, aku akan melindungimu dari mereka itu, percayalah..."

"Keparat, mampuslah engkau!" Tiba-tiba seorang panglima meloncat ke atas dan menggerakkan goloknya membacok Bun Beng.

"Prakk..., bresss...!"

Tubuh panglima itu terlempar dan terbanting roboh ke atas tanah oleh tangkisan Bun Beng.

"Aku tidak takut... ah, Twako... kau tidak tahu... mereka telah membasmi Thian-liong-pang... Bibi Tang Wi Siang dan para paman... mereka telah tewas..."

Terkejutlah Bun Beng. Dia sudah tahu bahwa para pemberontak yang dipimpin Koksu memusuhi Thian-liong-pang, akan tetapi tidak disangkanya pasukan ini demikian mudah membasmi Thian-liong-pang.

"Mana mungkin? Di mana ibumu?" Dia tidak dapat percaya Thian Tok Lama dan kawan-kawannya itu dapat menandingi Ketua Thian-liong-pang yang demikian sakti.

"Ibu tidak ada, mungkin di kota raja. Kami melawan mati-matian, akan tetapi percuma, dan aku tertawan..."

Bun Beng mengangguk-angguk dan tiba-tiba dia melakukan gerakan menampar ke bawah.

"Desss...!"

Dahan di mana Bun Beng berjongkok itu tergetar hebat, akan tetapi tubuh Wan Keng In yang tadi meloncat dan memukul juga terdorong kembali ke bawah saat pukulannya tertangkis oleh Bun Beng. Diam-diam Bun Beng terkejut. Pemuda Pulau Neraka itu benar-benar hebat sekali kepandaiannya! Di lain pihak Wan Keng In yang belum mengenal Bun Beng karena di dalam pohon sudah mulai gelap, lebih kaget lagi melihat ada orang yang mampu menangkis pukulannya bahkan membuat tubuhnya seperti dibanting ke bawah dengan kekuatan dahsyat!

"Milana," Bun Beng berbisik, tidak bersikap sungkan lagi. "Sekarang tak banyak waktu lagi. Mereka itu benar-benar lihai dan jumlahnya banyak. Kalau kita berdua melawan, mungkin engkau akan tertangkap lagi atau terluka. Engkau harus lari lebih dulu. Tunggu setelah aku mengamuk di bawah, engkau melompat jauh dari tempat ini, melalui pohon-pohon dan menghilang dalam gelap. Bawa pedang ini..."

"Tidak! Aku akan melawan, bertanding di sampingmu sampai mati..."

Bun Beng merasa lehernya seperti dicekik mendengar ini. "A... apa...?"

"Gak-twako, apa masih perlu aku menjelaskan lagi? Tidak cukupkah ketika dahulu aku membela dan melindungimu ketika kau terluka?"

Gemetar seluruh tubuh Bun Beng, tangannya menggigil ketika ia memegang tangan Milana. "Tidak cukup...? Duhai... terlalu cukup, terlalu banyak... bahkan itulah yang menyiksa hatiku. Milana... betapa aku berani menyatakan kekurang-ajaran ini? Akan tetapi..., ahhh, kata-katamu tadi... Milana, orang yang paling kumuliakan di dunia ini karena baik budimu, yang paling kucinta di dunia ini... maafkan aku... akan tetapi aku cinta padamu... dan... dan kau bilang ingin bertanding di sampingku sampai mati...? Benarkah pendengaranku?"

"Singg...! Krekkk... plakkk! Aduhhh...!"

Tubuh seorang jagoan Nepal yang tadi menyerang dengan tombaknya terpelanting, tombaknya patah dan kepalanya pecah oleh pukulan Bun Beng yang menangkis dan memukul tanpa mengalihkan pandang matanya dari wajah Milana.

Sepasang mata itu basah air mata, akan tetapi bibir yang gemetar tersenyum. "Gak-twako, mengapa baru sekarang kau menyatakan isi hatimu yang sejak dahulu tampak membayang dalam pandang matamu?"

"Milana... betapa aku berani... kau... seorang dara mulia, puteri Ketua Thian-liong-pang, puteri Pendekar Super Sakti yang kumuliakan, malah cucu kaisar sendiri! Ya Tuhan, betapa beraniku menyatakan cinta! Kalau tidak mendengar ucapanmu tadi... perasaan hatiku akan kusimpan sebagai rahasia sampai mati."

"Terima kasih, Twako. Sekarang aku tidak ragu-ragu lagi! Aku puas, aku bahagia. Apa pun yang akan terjadi, biar orang sedunia menentangnya, aku akan selalu berbahagia di sampingmu, hidup atau mati. Marilah, Twako. Mari kita menerjang ke bawah, kita lolos dan selamat berdua atau mati bersama!"

"Tidak...! Seribu kali tidak! Setelah aku tahu bahwa harapan hidupku tidak sia-sia, setelah aku tahu bahwa engkau pun mencintaku, mana mungkin aku membiarkan engkau terancam bahaya? Tidak! Milana, dengarlah baik-baik. Lihat pedang ini. Ini adalah Hok-mo-kiam yang sudah dapat kurampas kembali. Bawalah pedang ini, cari ibumu di kota raja dan serahkan pedang ini kepada ayahmu, Pendekar Super Sakti. Dengan pedang ini engkau akan dapat melindungi dirimu. Aku akan hadapi mereka di bawah itu... hemmm... akan kuhajar cacing-cacing busuk yang telah berani menghina dewi pujaan hatiku!"

"Tidak, Twako..."

"Husshhh, demi cinta kita, taatilah aku sekali ini saja, sayang! Aku tidak akan dapat memaafkan engkau, memaafkan aku sendiri atau siapa juga kalau sampai engkau ikut turun dan menderita celaka. Nah, aku terjun, siaplah meloncat dan lari. Sampai jumpa, sayang!" Tanpa menanti jawaban, Bun Beng yang hampir bersorak saking gembira hatinya itu turun. Dia hanya mendengar suara Milana terisak, akan tetapi hatinya lega ketika dia mulai merobohkan beberapa orang pengawal dan memandang ke atas, pohon itu telah kosong dan bayangan Milana telah lenyap.

"Thian Tok Lama pendeta palsu!" Dia membentak ketika melihat kakek itu membuat gerakan hendak melakukan pengejaran kepada Milana. Sebuah pukulan kilat yang dilakukan dengan pengerahan tenaga sinkang mengejutkan pendeta itu, apa lagi ketika dia mengelak sambil menangkis, tetap saja hawa pukulan dari tangan Bun Beng membuatnya terpelanting.

"Wan Keng In, tikus Pulau Neraka, hendak ke mana kau?" Bun Beng sudah meloncat ke depan, menerjang Wan Keng In yang kelihatan ragu-ragu dan agaknya mencari-cari Milana yang lenyap.

Diterjang secara hebat oleh Bun Beng, Wan Keng In terpaksa melayaninya. Dengan penasaran dan marah Keng In mengerahkan tenaganya, menyambut pukulan Bun Beng ke arah dadanya itu dengan dorongan telapak tangannya pula.

"Dessss...!"

Kalau tadi mereka saling mengadu lengan di atas pohon, kini mereka mengadu kedua telapak tangan yang saling bertumbukan. Akibatnya, tubuh Wan Keng In terlempar ke belakang sampai lima meter lebih! Makin pucat wajah Wan Keng In dan biar pun dia tidak terluka, namun dia terkejut setengah mati dan barulah kini sepasang matanya memandang dengan sinar berkilat-kilat ke arah Bun Beng. Betapa hatinya tidak sangat terkejut. Di dalam dunia ini, kiranya hanya ada dua orang, gurunya sendiri dan paman gurunya, dua kakek setan Pulau Neraka, yang dapat membuatnya terlempar seperti itu!
Pekik melengking yang menyeramkan keluar dari dada pemuda Pulau Neraka itu ketika dia meloncat ke depan lalu membentak,

"Jahanam! Siapa engkau?"

"Plak-plak-dess-dess!"

Empat orang anggota pasukan terpelanting ke kanan kiri dan tak dapat bangkit kembali terkena hantaman kaki tangan Bun Beng yang merasa betapa tubuhnya ringan dan enak sekali, seringan dan seenak hatinya yang gembira bukan main. Pemuda ini mengerling ke kanan kiri, tertawa ketika melihat para pengawal tidak berani maju dan hanya mengurung dari jarak jauh.

Dengan tenang dia lalu membalikkan tubuhnya menghadapi Wan Keng In, tersenyum mengejek dan memandang dengan sinar mata berseri. Dunia seolah-olah berubah bagi hati Bun Beng dan biar pun dia berhadapan dengan musuh-musuh yang berbahaya, dia tetap gembira. Tidak ada kemarahan, tidak ada kebencian, tidak ada kekhawatiran dan semua orang kelihatan menggembirakan. Agaknya wajahnya yang berseri itu membuat semua orang terheran-heran dan curiga, sedangkan Wan Keng In mulai mengingat-ingat siapa gerangan pemuda tampan yang wajahnya berseri-seri tertimpa cahaya obor yang dinyalakan oleh beberapa orang pengawal. Dia merasa seperti mengenal wajah itu, akan tetapi dia lupa lagi di mana dan kapan.

Selain kebahagiaan karena cinta kasihnya terbalas oleh Milana, hal yang sama sekali tak pernah disangka-sangkanya atau diharapkannya itu, membuat hatinya sangat riang gembira, juga Bun Beng sengaja hendak memancing perhatian mereka agar Milana mendapat kesempatan untuk melarikan diri jauh-jauh. Kalau Milana sudah selamat, dan pedang Hok-mo-kiam sudah dapat dibawa pergi dara itu untuk diberikan kepada yang berhak, yaitu ayah dara itu, Pendekar Super Sakti, tidak ada apa-apa lagi di dunia ini yang menyusahkan hatinya! Dia sendiri akan menghadapi bahaya apa pun juga dengan hati ringan.

"Wan Keng In, engkau bocah setan ini makin jahat dan tersesat saja. Sekali ini aku tidak akan membiarkan kau terlepas sebelum memberi hajaran kepadamu! Dan Thian Tok Lama agaknya masih melanjutkan kejahatan-kejahatannya. Sudah lama aku menanti kesempatan ini, untuk bertemu denganmu dan membalas kematian Suhu Siauw Lam Hwesio."

Ucapan Bun Beng itu agaknya menyadarkan dua orang ini dan teringatlah mereka kini. Disebutnya nama Siauw Lam Hwesio sebagai guru mengingatkan Thian Tok Lama akan murid kakek tokoh Siauw-lim-pai itu, Gak Bun Beng yang pernah dan sempat dilihatnya pula ketika pemuda itu membantu Pulau Es pada waktu pasukan pemerintah membasmi pulau itu. Ada pun Wan Keng In sekarang teringat akan pemuda yang telah menemukan Sepasang Pedang Iblis, pemuda bernama Gak Bun Beng yang tadinya dia pandang rendah akan tetapi yang sekarang mampu membuatnya terlempar sampai lima meter!

"Manusia she Gak keparat!" Wan Keng In memaki.

"Gak Bun Beng, engkau anak haram dari Setan Botak Gak Liat yang kurang ajar itu...!"

"Wuuuuttt... plakkk!"

Untuk kedua kalinya dalam waktu yang singkat itu tubuh Thian Tok Lama terpelanting saat dia tergopoh-gopoh menangkis pukulan Bun Beng yang marah sekali mendengar makian dan penghinaan itu. Akan tetapi dia tidak dapat mendesak musuh besarnya itu karena Wan Keng In sudah menyerangnya dengan pukulan-pukulan maut. Pukulan pemuda Pulau Neraka ini dilakukan dengan jari-jari tangan terbuka seperti cakar harimau, akan tetapi dari setiap ujung jari keluar hawa pukulan beracun yang amat dahsyat.

Bun Beng maklum akan kelihaian Keng In, maka dia sudah cepat mencelat ke kiri menghindarkan serangan sambil menerima tusukan tombak dan golok dari dua orang Nepal, membetot dua buah senjata itu sambil menendang. Dua orang Nepal itu mengaduh dan tubuh mereka terjengkang. Dua orang pengawal yang menerjang maju, roboh oleh tombak dan golok yang dirampas Bun Beng dan disambitkan menyambut terjangan mereka.

Terjadilah pertandingan yang amat hebat. Bun Beng mengamuk seperti seekor burung garuda, dikeroyok oleh puluhan orang anak buah pasukan. Tentu saja mereka itu merupakan lawan lunak bagi pemuda sakti ini dan dalam waktu beberapa menit saja sudah ada belasan orang tentara pengawal roboh termasuk beberapa orang Nepal dan panglima.

Melihat sepak terjang Bun Beng yang demikian hebat, Thian Tok Lama dan Wan Keng In menjadi penasaran sekali. Pendeta Lama itu mengeluarkan senjatanya, sebatang golok melengkung yang mengeluarkan sinar hijau, sedangkan Wan Keng In sudah mencabut Lam-mo-kiam. Mereka ini, dibantu oleh Bhe Ti Kong dan sisa para panglima serta jagoan Nepal lain, mengurung Bun Beng. Ada pun anak buah pasukan yang juga membentuk pengepungan ketat di sebelah luar, siap pula dengan senjata di tangan sedangkan di empat penjuru, delapan orang memegang obor untuk menerangi tempat yang mulai terselimut malam gelap.

"Kok-kok-kok heeehhhh!" Perut gendut Thian Tok Lama mengeluarkan suara berkokok, kemudian menyusul bentakannya dia menyerang maju, tangan kiri memukul, tangan kanan menggerakkan goloknya dengan cepat dan kuat sekali.

"Singgg... syet-syet-syettt...!"

Sinar hijau menyambar-nyambar dan bergulung-gulung ke arah tubuh Bun Beng yang tidak berani memandang rendah. Cepat dia menggerakkan tubuhnya mencelat ke kanan kiri dan belakang. Betapa pun cepat serangan Thian Tok Lama, gerakan Bun Beng lebih cepat lagi sehingga gulungan sinar golok berwarna kehijauan itu tak pernah dapat mendekati sasaran.

"Hyaaattt... singgg... cing-cing...!"

"Hemmm...!" Bun Beng mengeluarkan suara kaget.

Cepat dia melempar tubuhnya ke belakang dengan kecepatan kilat ketika melihat sinar kilat menyambar ganas dengan kecepatan seperti halilintar dan sinar itu mengandung hawa menyeramkan sekali sehingga dia sendiri merasa ngeri, tengkuknya terasa dingin. Melihat berkelebatnya sinar kilat yang menyilaukan mata, tahulah dia bahwa Wan Keng In telah turun tangan menyerangnya dengan menggunakan pedang Lam-mo-kiam. Maka dia tidak berani berlaku lambat, begitu melempar tubuh ke belakang, dia berjungkir balik dan melanjutkan dengan meloncat jauh ke kanan.

"Syuuuuutttt... singggg!"

Bun Beng menelan ludah. Bukan main hebatnya Lam-mo-kiam. Biar pun dia sudah bergerak cepat sekali, masih saja dia tadi nyaris tergores punggungnya. Namun dia tidak sempat memikirkan hal itu karena begitu dia terhindar dari bahaya serangan Keng In, serentak dua orang panglima dan dua jagoan Nepal telah menyerangnya dengan berbareng. Dua orang Nepal yang bersorban itu menyerangnya dengan senjata mereka yang membuat mereka ditakuti, yaitu pisau belati yang kecil namun amat runcing dan tajam, dua buah banyaknya dipegang setengah bersembunyi di balik lengan kanan kiri.

Serangan dari depan oleh dua orang Nepal itu amat cepat, gerakan mereka aneh dan kecepatan mereka menjadi hebat karena lengan mereka panjang. Dalam sedetik itu, dua orang ini menyerang secara berbareng dan empat buah pisau belati menyambar ke arah leher, ulu hati, perut dan lambung! Dalam setengah detik berikutnya, menyambar pula sebatang golok besar di tangan seorang panglima brewok, berlomba cepat dengan tombak gagang pendek di tangan Bhe Ti Kong yang menghujani ke arah punggung Bun Beng!

"Heiiittt!" Bun Beng berseru keras sekali.

Tubuhnya membuat gerakan berpusing, demikian cepatnya sehingga sukar diikuti pandang mata oleh lawan, akan tetapi tahu-tahu jari-jari tangannya secara berturut-turut telah mengetuk terlepas sambungan siku kedua tangan orang Nepal, merampas golok besar dan menangkis tombak gagang pendek Bhe Ti Kong dengan golok itu setelah merobohkan pemilik golok dengan tendangan.

"Tranggg...!"

Bhe Ti Kong berseru kaget. Cepat ia menarik kembali tombaknya, memutar senjatanya untuk melindungi tubuh. Dua kali dia berhasil menangkis dan harus bergulingan dan jatuh bangun, terus dikejar sinar golok rampasan Bun Beng yang mengenal panglima ini sebagai musuh besarnya dan yang mendesak untuk membunuhnya.

"Singgggg...!" Sinar kilat pedang Lam-mo-kiam sudah menyambar lagi menyelamatkan nyawa Bhe Ti Kong.

"Cringgg!" Bun Beng yang tadinya mendesak Bhe Ti Kong terkejut melihat sinar kilat, terpaksa membuang diri sambil menangkis dengan golok rampasan, akan tetapi sekali bertemu dengan Lam-mo-kiam, golok besar itu patah menjadi dua potong!

"Trangg-tranggg...!"

Kembali Bun Beng yang baru meloncat bangun itu menangkis dengan golok buntungnya, menangkis serangan golok Thian Tok Lama yang sudah membantu Keng In mengeroyoknya pula. Biar hanya mempergunakan golok buntung, namun tangkisan ini membuat Thian Tok Lama terhuyung.

Bun Beng menyambitkan golok buntungnya kepada Wan Keng In ketika melihat pemuda itu sudah menerjang lagi. Biar pun hanya disambitkan, namun golok buntung itu meluncur dengan kekuatan dahsyat sehingga Keng In tidak berani bersikap sembrono dan cepat menggerakkan Lam-mo-kiam untuk menangkis. Golok buntung itu runtuh dan patah-patah. Tetapi, ketika Keng In menangkis sambitan golok buntung, kesempatan ini dipergunakan oleh Bun Beng untuk menerjang ke kiri, merobohkan empat orang panglima dan orang Nepal, dan merampas sebatang tombak lagi. Gerakannya kuat dan cepat sekali sehingga ketika Wan Keng In dan Thian Tok Lama menyerangnya lagi, dia sudah dapat menghadapi mereka dengan tombak di tangan!

Akan tetapi, dengan adanya Keng In yang bersenjata Lam-mo-kiam, Bun Beng benar-benar kewalahan. Sekali bertemu, tombak rampasannya patah-patah lagi dan hampir saja dia termakan sinar pedang Lam-mo-kiam yang amat ampuh. Untung baginya bahwa jumlah pengeroyok amat banyak sehingga dia dapat menerjang dan menyelinap di antara para pengeroyok. Hal ini membuat Keng In merasa agak sukar untuk menekannya, dan pemuda Pulau Neraka itu dibantu oleh Thian Tok Lama selalu mengejar-ngejar Bun Beng yang mengamuk di antara para panglima, orang Nepal, dan pasukan pengawal.

Betapa pun dia mencobanya, Wan Keng In dan Thian Tok Lama tidak memberi kesempatan sedikit pun juga kepada Bun Beng untuk dapat melarikan diri. Pemuda itu dikepung ketat dan terpaksa dia mengamuk, merobohkan dan menewaskan banyak sekali anak buah pasukan, sedangkan keselamatannya selalu terancam dan berkali-kali nyaris saja terluka oleh Lam-mo-kiam dan golok di tangan Thian Tok Lama.

Telah lebih dari dua puluh orang anak buah pasukan roboh, lebih setengah jumlah panglima dan jagoan Nepal tewas, dan pertandingan itu telah berjalan sampai hampir tengah malam! Bun Beng berhasil sebegitu jauh menyelamatkan diri dari ancaman Lam-mo-kiam, akan tetapi karena pengeroyokan ketat dan untuk menghindarkan luka senjata, terpaksa dia menerima hantaman tangan kiri Thian Tok Lama sampai dua kali dan tamparan tangan kiri Wan Keng In satu kali.

Tamparan pemuda Pulau Neraka itu hebat bukan main, membuat dada yang terkena tamparan terasa seperti akan pecah dan napas menjadi sesak. Bun Beng maklum bahwa isi dadanya terguncang dan bahwa pukulan Wan Keng In mengandung racun. Dia tidak takut akan pukulan beracun karena tubuhnya sudah kebal oleh jamur-jamur beracun, akan tetapi guncangan itu membuat tenaganya berkurang.

Keadaannya amat berbahaya. Dia tidak takut mati, tetapi dia akan merasa kecewa kalau belum berhasil membalas kematian gurunya. Karena itu, dia mencurahkan perhatian dan kepandaiannya untuk memilih sasaran, yaitu Bhe Ti Kong dan Thian Tok Lama, dua di antara para pembunuh gurunya.

"Thian Tok Lama, bersiaplah kau menyusul Thai Li Lama...!" Tiba-tiba dia berseru ketika melihat lowongan.

Secepat kilat dia menubruk maju, menendang sebatang pedang yang menyambar dari samping, mengelak dari tusukan Lam-mo-kiam, kemudian menggunakan tangan kanan mencengkeram golok Thian Tok Lama. Pendeta itu terkejut sekali, bukan hanya karena tahu bahwa yang membunuh saudaranya itu adalah pemuda ini, akan tetapi terutama sekali melihat betapa dengan tangan kosong pemuda lihai itu berani menangkap dan mencengkeram goloknya! Dia berusaha menarik golok untuk melukai tangan Bun Beng, akan tetapi tiba-tiba Bun Beng sudah menggerakkan tangan kiri menampar ke arah kepalanya!

Hebat bukan main serangan ini dan kalau tamparan ini mengenai sasaran, tak dapat disangsikan lagi nyawa Thian Tok Lama tentu akan melayang. Akan tetapi pada saat itu, sebuah pukulan yang keras dari tangan kiri Wan Keng In mengenai tengkuk Bun Beng pada saat yang amat tepat.

"Desss...!"

Berbareng jatuhnya pukulan Keng In pada tengkuk Bun Beng dengan tamparan, tangan Bun Beng yang menyeleweng tidak jadi mengenai kepala melainkan hanya menghantam pundak Thian Tok Lama. Biar pun menyeleweng, namun cukup membuat pendeta itu terpelanting dan muntah darah! Akan tetapi hantaman yang keras dari Keng In itu pun membuat Bun Beng terjengkang!

Bhe Ti Kong menubruk dengan tombaknya, menusuk ke arah ulu hati Bun Beng dengan tombak gagang pendeknya sambil mengerahkan seluruh tenaganya. Dia merasa yakin bahwa sekali ini dia tentu berhasil membunuh pemuda yang berbahaya ini, apa lagi melihat pemuda itu telah terpukul dan mulutnya menyemburkan darah seperti yang dialami Thian Tok Lama.

Tombak itu meluncur tepat ke arah ulu hati Bun Beng. Pemuda ini tak dapat mengelak lagi, maka terpaksa dia memasang kedua telapak tangan ke depan dada dan begitu ujung tombak menyentuh telapak tangannya, dia membuat gerakan menyentak sambil mengerahkan tenaga sinkang-nya. Pengerahan tenaga ini membuat dadanya terasa nyeri bukan main, pandang matanya berkunang dan darah makin banyak keluar dari mulutnya, tetapi tombak itu membalik secara tiba-tiba, menyambut dada Panglima Bhe Ti Kong yang terdorong ke depan.

"Crappp.... auggghhh...!"

Bun Beng menjadi gelap mata dan pingsan, tidak tahu bahwa tubuh Bhe Ti Kong menimpa tubuhnya dan betapa darah yang membanjir keluar muncrat-muncrat dari dada musuhnya itu menyiram tubuhnya. Panglima itu berkelojotan dan tewas dengan dada tertembus tombaknya sendiri.

"Tahan, Wan-sicu. Jangan bunuh dia...!" Thian Tok Lama mencegah ketika melihat Wan Keng In mengelebatkan Lam-mo-kiam untuk membunuh Bun Beng.

Wan Keng In menoleh, menahan pedang dan mengerutkan alisnya. "Manusia macam dia perlu apa dibiarkan hidup? Dia membuat Milana hilang dan sudah mendatangkan banyak korban...!" Kembali Lam-mo-kiam bergerak.

"Jangan, Wan-sicu! Dia adalah seorang tawanan penting sekali! Dialah yang telah merampas Hok-mo-kiam. Dia yang melepaskan puteri Ketua Thian-liong-pang! Terlalu enak bagi dia kalau dibunuh begitu saja, dan dia perlu diseret di depan Koksu untuk meringankan kesalahan kita..."

"Hmm..." Wan Keng In menyimpan pedangnya, akan tetapi dia lalu mengayun tangan kanannya ke arah punggung tubuh Bun Beng yang rebah miring.

"Desss!"

Pukulan itu hebat sekali dan Wan Keng In mengomel. "Biar pun nyawanya rangkap, pukulanku ini akan mencabut nyawanya dalam waktu dua puluh empat jam."

Thian Tok Lama juga terluka di dalam tubuh, namun tidak membahayakan nyawanya. Dia lalu turun tangan sendiri, menelikung dan membelit-belit tubuh Bun Beng dengan tali yang amat kuat, lalu mengikat tubuh pemuda yang masih pingsan itu di atas punggung kuda.

"Dia telah kuberi pukulan Toat-beng-tok-ci (Jari Beracun Pencabut Nyawa). Jangankan untuk melawan, dibiarkan pun dia akan mampus sebelum malam besok." Wan Keng In mencela melihat betapa pendeta itu bersusah payah membelenggu tubuh yang dia tahu sudah takkan mampu melawan lagi itu.

"Kita tidak boleh gagal lagi membawa dia ke kota raja, Wan-sicu." Thian Tok Lama membantah dan Wan Keng In mendengus, mengangkat pundak dan sikapnya menjadi murung karena dia marah-marah dan kecewa telah kehilangan Milana. Betapa pun juga, dia harus ikut dan bertemu dengan Koksu. Setelah dia menyaksikan sendiri betapa lihainya Bun Beng, diam-diam pemuda ini merasa jeri juga.

Bukan terhadap Bun Beng yang tinggal menanti maut itu, akan tetapi baru Bun Beng sudah demikian lihainya, apa lagi ibu Milana Si Ketua Thian-liong-pang, belum lagi Pendekar Super Sakti! Maka dia harus bersikap cerdik dan harus dapat mencari kawan, dan agaknya kedudukannya akan kuat sekali kalau dia dapat bersekutu dengan Koksu yang selain memiliki kedudukan tinggi dan pengaruh besar, juga mempunyai banyak orang pandai itu.

Dengan murung dan tergesa-gesa, membawa teman-teman yang terluka, mereka pergi keluar dari hutan menuju ke kota raja. Kuda yang membawa tubuh Bun Beng yang kaki tangannya ditelikung dan diikat di atas punggung binatang itu, berada di tengah-tengah dan dikawal sendiri oleh Thian Tok Lama dan Wan Keng In. Kini mereka siap dengan senjata di tangan memegang senjata masing-masing dan bersikap waspada. Baik Wan Keng In mau pun Thian Tok Lama sudah mengambil keputusan untuk pertama-tama menggerakkan senjata membunuh Bun Beng apabila terjadi suatu gangguan di tengah perjalanan ini.

Bun Beng membuka matanya. Ketika ia merasa betapa tubuhnya tergantung di atas punggung kuda, bergoyang-goyang dan kaki tangannya terbelenggu, dia teringat semua dan tersenyum! Tubuhnya lemah dan tak bertenaga, sakit-sakit, akan tetapi hatinya riang! Teringat dia akan Milana dan rasa bahagia di hatinya masih mengatasi semua kesengsaraan yang diderita tubuhnya. Milana mencintanya! Puteri Pendekar Super Sakti cinta kepadanya! Bukan main! Cucu kaisar sendiri! Dan dia hanyalah seorang anak haram, keturunan seorang tokoh sesat yang dikutuk dunia! Apalah artinya siksa dan mati setelah menghadapi kenyataan yang berbahagia itu? Dan dia telah berhasil menyelamatkan Milana. Dara itu telah bebas! Dia akan menyambut kematian atau apa pun juga dengan senyum bahagia!

Ia mengerling ke arah kiri dan melihat Thian Tok Lama duduk di atas seekor kuda, memegang sebatang golok. Hemmm, sayang. Dia belum berhasil membunuh pendeta ini, juga belum berhasil membalas Bhong-koksu atas kematian gurunya. Baru Thai Li Lama dan Panglima Bhe Ti Kong yang telah menebus kematian gurunya.

Bun Beng mencoba mengerahkan sinkang-nya. Hawa panas di pusarnya segera menjawab pengerahannya, akan tetapi tiba-tiba dada dan punggungnya terasa nyeri bukan main, tak tertahankan! Tahulah dia bahwa dadanya terluka dan punggungnya menderita lebih hebat lagi! Darah mengalir dari dalam leher ke mulutnya dan dia tahu bahwa dia telah menderita luka akibat pukulan yang mungkin membawa maut.

Tentu perbuatan Wan Keng In atau Thian Tok Lama. Agaknya lebih tepat kalau dia menduga pemuda Pulau Neraka itulah yang memukulnya. Luka di tulang punggung ini bukan pukulan biasa, dan kiranya hanya pemuda itulah yang dapat melakukan pukulan sekeji ini. Dia menghela napas panjang. Tidak ada harapan untuk menggunakan saat terakhir itu mencoba melepaskan diri dan membunuh Thian Tok Lama. Kalau dia melanjutkan pengerahan sinkang-nya tentu dia akan mati sebelum sempat bergerak!

Dia tidak putus asa. Mereka telah menawannya, dan biar pun agaknya ketika dia pingsan dia menderita pukulan gelap yang amat membahayakan nyawanya, namun pada saat itu dia belum mati dan selama dia belum mati dia tidak akan kehabisan harapan. Mereka belum membunuhnya, berarti bahwa dia masih mempunyai harapan untuk dapat menyelamatkan diri. Bun Beng tidak berusaha lagi untuk mengerahkan tenaga, bahkan dia lalu melemaskan tubuhnya agar dapat bergantung pada punggung kuda dengan enak.

Rombongan itu melalui hutan terakhir yang penuh dengan pohon bambu. Daerah ini memang terkenal dengan pohon bambu yang bermacam warna dan bentuknya. Hati Thian Tok Lama terasa lega karena kota raja sudah dekat. Tembok kota raja yang tinggi sudah tampak dari tempat tinggi itu, merupakan bayangan hitam memanjang yang tertimpa sinar bintang-bintang di langit yang remang-remang.

Angin malam mempermainkan daun-daun bambu, menimbulkan rasa berkelisik. Tiba-tiba terdengar suara teriakan-teriakan dan serta merta terjadilah kekacauan ketika rombongan itu diserang oleh daun-daun bambu yang datang bagaikan anak panah atau senjata rahasia piauw yang runcing. Tadinya mereka mengira bahwa daun-daun bambu itu rontok oleh angin besar, akan tetapi setelah daun-daun bambu ini menancap dan melukai kulit daging, barulah mereka terkejut dan menjadi kacau! Kekacauan menjadi-jadi ketika sampai batang-batang bambu yang panjang tiba-tiba meliuk dan menyerang mereka, seolah-olah rumpun bambu itu menjadi hidup dan digerakkan oleh setan-setan menyerang rombongan itu. Terdengar suara berdebuk disusul robohnya orang susul-menyusul ketika tubuh-tubuh itu dihantam oleh batang bambu.

Thian Tok Lama dan Wan Keng In cepat dapat menduga bahwa amukan pohon-pohon dan daun-daun bambu itu tentulah perbuatan musuh yang lihai. Akan tetapi pada saat mereka menggerakkan senjata hendak membunuh Bun Beng, tiba-tiba sebatang pohon bambu yang besar dan panjang terbang menyerang mereka, berikut cabang-cabang dan daun-daunnya.

Tentu saja keduanya menjadi terhalang dan mereka menggerakkan senjata membabat runtuh batang bambu itu. Akan tetapi kuda yang membawa tubuh Bun Beng sudah meringkik keras, terlempar dan roboh dengan perut tertembus batang bambu, sedang Bun Beng sendiri yang tadinya menelungkup di atas punggung kuda, melintang, sudah lenyap!

"Tawanan lenyap!"

"Kejar...!"

"Tangkap pengacau!"

Teriakan-teriakan para panglima itu menambah kekacauan dan di antara suara hiruk-pikuk mereka terdengarlah suara terkekeh menyeramkan, suara yang terdengar makin menjauh dan akhirnya lenyap.

"Tidak perlu dikejar, percuma saja karena dialah yang datang menolong Bun Beng," kata Wan Keng In yang menjadi lemas tubuhnya ketika mendengar suara ketawa itu.

Thian Tok Lama menahan kudanya. "Siapakah dia?"

Wan Keng In menarik napas panjang. "Siapa lagi kalau bukan Bu-tek Siauw-jin? Kalau dia muncul dan ikut-ikut, kita takkan mampu menghadapinya. Dan setelah dia muncul, orang satu-satunya yang dapat melawannya hanyalah guruku. Karena itu, aku tidak akan ikut bersamamu ke kota raja, Thian Tok Lama. Aku harus mencari guruku, minta bantuannya untuk menghadapi tua bangka cebol itu. Sampai jumpa!" Tanpa menanti jawaban, Wan Keng In yang merasa jeri mendengar suara ketawa susioknya, Bu-tek Siauw-jin, berkelebat dan lenyap dari depan Thian Tok Lama.

Pendeta Tibet ini menarik napas berulang-ulang, menggeleng kepala dan dengan hati risau terpaksa memimpin sisa pasukannya yang ketakutan itu ke kota raja. Memang dia telah berhasil membasmi Thian-liong-pang akan tetapi pasukannya pun rusak, tawanan lenyap dan banyak panglima tewas, termasuk pembantu kepercayaan Koksu, Panglima Bhe Ti Kong.

Sementara itu, jauh dari situ, di dalam hutan yang gelap, Bu-tek Siauw-jin berjalan seorang diri sambil memanggul sebatang bambu panjang dan di ujung bambu itu terpikul tubuh Bun Beng yang masih terbelenggu kaki tangannya.....

SEPASANG PEDANG IBLIS (seri ke 7 Bu Kek Siansu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang