Jilid 28/50

1.7K 19 0
                                    

Yang paling menarik hati Kwi Hong adalah bentuk tubuh kakek itu. Amat kecil! Kecil dan pendek, seperti tubuh seorang kanak-kanak saja! Biar pun kakek itu duduk mendeprok di atas tanah, dia berani bertaruh bahwa kakek itu tentu kalah tinggi olehnya. Namun kakek itu sama sekali tidak memperhatikan keadaan sekelilingnya, bahkan tidak mempedulikan keadaan Kwi Hong sama sekali. Perhatiannya tercurah kepada dua ekor jangkrik di atas telapak tangannya, pandang matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri dan kedua matanya yang amat lebar itu terbelalak.

Kwi Hong melangkah maju perlahan-lahan sampai dekat sekali. Ia melihat bahwa di atas telapak tangan kiri kakek itu terdapat dua ekor jangkrik yang saling berhadapan, dipermainkan oleh kakek itu dengan sebatang kili-kili rumput sehingga kedua ekor binatang itu mengerik keras. Yang bunyi keriknya kecil adalah seekor jangkrik coklat yang tubuhnya kecil, sedangkan yang kedua adalah seekor jangkrik hitam yang tubuhnya lebih besar dan bunyi keriknya pun lebih besar.

Kwi Hong duduk perlahan-lahan di sebelah kiri kakek itu, mendeprok di atas tanah sambil menonton. Dia pun tertarik sekali. Selama hidupnya belum pernah dia melihat jangkrik diadu. Tentu saja pernah dia melihat jangkrik akan tetapi tidak tahu bahwa jangkrik dapat diadu seperti ayam jago saja. Dia menjadi kagum menyaksikan sikap dua ekor jangkrik itu. Setelah mengerik dan sayapnya menggembung, sungutnya bergerak-gerak, mulutnya dibuka lebar siap menyerang lawan, binatang-binatang kecil itu kelihatan gagah sekali. Terutama sekali pasangan kuda-kuda kakinya, kokoh kuat mengagumkan!

"Hayo, Si Kecil Merah, biar pun kecil jangan mau kalah! Serang...!" Kakek itu tiba-tiba melepaskan kili-kilinya yang dipegang dengan tangan kanan, diangkat-nya kili-kili ke atas sehingga kini kedua ekor jangkrik itu tidak terhalang kili-kili dan mereka saling terkam!

Kwi Hong memandang dengan mata terbelalak kagum. Baru pertama kali ini dia melihat dua ekor jangkrik itu benar-benar saling terkam, melompat dengan garang dan saling gigit, kemudian saling dorong, menggunakan kaki belakang yang besar dan kuat itu untuk mempertahankan diri. Namun, tentu saja jangkrik hitam yang lebih besar itu lebih kuat. Jangkrik kemerahan atau coklat lebih kecil terdorong terus sampai ke pinggir telapak tangan, kemudian dilontarkan oleh jangkrik hitam sehingga terlempar jatuh ke atas tanah. Si Hitam mengerik bangga dan berputar-putaran di atas telapak tangan kakek itu seolah-olah seorang jagoan yang menantang tanding di atas panggung luitai (panggung adu silat)!

"Wah, Si Hitam itu hebat!" Kwi Hong berkata lirih memuji.

"Puhh! Hebat apanya?" Kakek itu mendengus dan mendelik kepada Kwi Hong. "Kalau bukan kau datang mengagetkan, Si Kecil Merah takkan kalah!"

Melihat sikap kakek itu marah-marah tidak karuan kepadanya, menyalahkan dia karena jangkrik kecil itu kalah, Kwi Hong menjadi mendongkol hatinya. "Apa? Aku yang salah? Wah, kakek sinting, memang jangkrik yang kecil begitu mana bisa menang?"

"Siapa bilang tidak bisa menang? Kau kira yang kecil itu harus kalah? Phuah, gadis besar yang sombong!"

"Plak! Plok!"

Hampir saja Kwi Hong menjerit saking marahnya. Dia tidak melihat kakek itu menggerakkan tangan, akan tetapi tahu-tahu pinggulnya yang berdaging menonjol kena ditampar dua kali oleh kakek itu sampai terasa panas kulitnya dan debu mengepul dari celananya yang tentu saja kotor karena dia duduk di atas tanah kering. Kwi Hong meloncat bangun, siap untuk membalas akan tetapi karena mendapat kenyataan bahwa kakek itu lihai bukan main, dapat menampar belakang tubuhnya tanpa dia melihatnya, Kwi Hong meraba gagang pedang.

"Prokkk!" Kakek itu meremas ujung batu bong-pai dan Kwi Hong memandang dengan mata terbelalak. Batu yang amat keras itu diremas seperti orang meremas kerupuk saja, hancur seperti tepung. Dia sendiri, dengan pengerahan sinkang-nya, mungkin dapat mematahkan ujung batu bongpai itu, akan tetapi meremasnya hancur, tanpa sedikit pun kelihatan mengerahkan tenaga, benar-benar hebat! Maklumlah dia berhadapan dengan seorang kakek yang amat sakti, akan tetapi juga amat sinting perangainya!

Tanpa mempedulikan Kwi Hong yang meloncat bangun, kakek yang bersungut-sungut itu telah menaruh jangkrik hitam yang menang ke dalam lubang yang dibuatnya di atas tanah, kemudian menyambar jangkrik hitam kemerahan yang kalah tadi.

"Kau harus menang! Si Kecil harus menang! Jangan biarkan Si Besar sombong dan mengira bahwa Si Besar yang kuat!" Dia bersungut-sungut, mengomel marah-marah tidak karuan.

"Kau harus dijantur biar besar hatimu!" Kakek itu mencabut sehelai rambut yang panjang, akan tetapi begitu dipandangnya, rambut putih itu dibuangnya. "Ah, rambut putih tidak baik untuk menjantur jangkrik, hatinya menjadi tidak berani bertempur. Heh, gadis besar! Rambutmu banyak, berikan sehelai kepadaku!"

Biar pun Kwi Hong merasa mendongkol bukan main, namun dia mulai tertarik untuk menyaksikan bagaimana caranya kakek itu dapat memaksa jangkrik kecil maju dan mengalahkan jangkrik besar. Biar pun bibirnya sendiri tak kalah runcingnya dengan bibir Si Kakek karena dia pun cemberut, dicabutnya juga sehelai rambut dan ditiupnya rambut itu ke arah kakek yang menerimanya sambil menjepit rambut dengan kedua jari tangan.

Diam-diam Kwi Hong kagum dan kaget. Sudah begitu tua, akan tetapi pandang matanya masih luar biasa tajamnya, sehingga dapat menangkap sehelai rambut yang melayang dengan jepitan jari tangan. Kini kakek itu tidak bersungut-sungut lagi, malah wajahnya berseru penuh harapan ketika dia menggunakan rambut untuk menjantur jangkrik kecil merah itu pada selangkang kakinya.

Kwi Hong memandang dengan heran dan ngeri. Jangkrik itu dijantur diputar-putar seperti gasing kemudian dibiarkan berputar kembali pada rambut dan dimanterai oleh kakek aneh. Entah diberi mantera atau diapakan, buktinya kakek itu mulutnya berkemak kemik dekat dengan tubuh jangkrik yang berputaran. Setelah gerakan berputar itu terhenti, berhenti pula mulut yang berkemak-kemik, akan tetapi tiba-tiba kakek itu meludah kecil tiga kali.

"Cuh! Cuh! Cuh!" Ludah-ludah kecil menyerempet ke arah tubuh jangkrik merah.

"Awas kau kalau kalah lagi!" Kakek itu berkata. "Harus kuberi tambahan semangat!" Ia lalu bangkit berdiri, menjengking dan menaruh jangkrik yang masih tergantung di bawah rambut itu depan pantatnya, "Busssshh!" Kakek itu melepas kentut yang tepat menghembus ke arah jangkrik merah.

"Ihhh...!" Kwi Hong mendengus dan melangkah mundur menjauhi kakek jorok (kotor) itu sambil memijit hidung. Kentut yang tidak berbunyi biasanya amat jahat baunya! Akan tetapi karena dia tertarik sekali, ingin melihat apakah 'gemblengan' yang diberikan kakek itu pada jangkrik merah benar-benar manjur, Kwi Hong tidak pergi dan masih berdiri menonton.

Kembali kakek itu membalikkan telapak tangan kiri, dipergunakan sebagai panggung pertandingan antara kedua ekor jangkrik itu. Jangkrik merah sudah dilepas dari rambut yang menjanturnya, ditaruh di atas telapak tangan kiri kakek itu. Jangkrik itu diam saja, agaknya nanar dan melihat bintang menari-nari! Sepatutnya begitulah setelah mengalami gemblengan hebat tadi, kalau tidak nanar oleh janturan tentu mabok oleh bau kentut. Akan tetapi agaknya hal ini membuat si Jangkrik timbul kemarahannya, buktinya ketika kakek itu memainkan kili-kili di depan mulutnya, jangkrik ini membuka mulut lebar-lebar dan menyerang kili-kili, sayapnya berkembang dan mengerik sumbang!

"Ha-ha-ha-heh-heh, bagus! Sekarang kau harus menang!" Kakek itu berkata lalu mengambil jangkrik hitam dan menaruh di atas telapak tangannya pula. Dengan kili-kilinya, kakek itu terus mengili jangkrik merah yang makin ganas dan bergerak maju menghampiri jangkrik hitam yang sama sekali tidak dikili, dibiarkan saja oleh kakek itu.

"Wah, kau licik! Kenapa jangkrik hitamnya tidak dikili?" Kwi Hong tidak dapat menahan kemendongkolan hatinya. Dia tahu bahwa karena tubuhnya kecil pendek, kakek itu berpihak kepada jangkrik kecil dan berlaku curang.

"Eh, kalau kau berpihak kepada Si Hitam, boleh kau kili dia!" kakek itu membentak marah. Akan tetapi karena Kwi Hong belum pernah mengadu jangkrik, gadis ini berjebi dan tidak menjawab, hanya memandang saja.

Biar pun tidak diganggu kili-kili, mendengar lawan mengerik, Si Hitam itu cepat membalik dan juga mengerik, menantang dengan keriknya yang nyaring sehingga mengalahkan bunyi kerik Si Kecil yang sumbang. Hampir Kwi Hong bersorak bangga, akan tetapi dia menahan diri, takut kalau-kalau kakek sinting itu marah lagi.

Setelah kedua jangkrik itu berhadapan dan siap, kakek aneh itu kembali melepaskan kili-kilinya dari mulut Si Kecil, mencabutnya ke atas sehingga kembali dua ekor jangkrik itu saling terkam dan saling gigit. Si Kecil itu kini benar-benar lebih nekat cara berkelahinya, dan agaknya gemblengan kakek tadi ada gunanya pula karena dia lebih berani, tidak mudah menyerah seperti dalam pertandingan pertama. Akan tetapi, betapa pun nekatnya, karena memang kalah kuat, dia didorong terus ke pinggir dan akhirnya terjengkang ke bawah. Kalah lagi.

Kwi Hong cepat melangkah mundur dan tepat seperti dugaannya, kakek itu marah-marah lagi. Batu bong-pai kuno itu mengalami nasib sial! Digempur berapa kali sampai pecah-pecah dan remuk-remuk, debu beterbangan ke atas.

"Sialan! Pengecut! Penakut! Kau membikin malu saja! Tidak bisa, kau tidak boleh kalah, harus menang. Harus kataku, tahu? Kalau perlu aku akan menggemblengmu selama hidupku sampai kau menang!"

Kembali dia menaruh jangkrik hitam di dalam lubang dan mulailah ia melakukan 'penggemblengan' kedua terhadap jangkrik kecil merah. Cara menggemblengnya makin gila, membuat Kwi Hong mendekap mulutnya menahan ketawa. Benar-benar kakek sinting, pikirnya, akan tetapi karena Kwi Hong juga mempunyai dasar watak gembira, binal dan nakal, dia ingin sekali menyaksikan jangkrik gemblengan kakek itu benar-benar akan dapat menang satu kali saja. Kalau kalah terus, dia mempunyai alasan untuk mentertawakan kakek sinting yang tadi sudah berani menggaplok pinggulnya sampai dua kali. Kalau nanti kakek itu marah, dia akan melawan dengan pedangnya.

Kakek itu benar-benar seperti sinting saking penasaran melihat jagonya kalah terus. Tepat seperti dugaan Kwi Hong, karena merasa bahwa dia adalah seorang yang mempunyai perawakan tidak normal, terlalu kecil pendek bagi ukuran pria, maka tentu saja kakek itu selalu berpihak kepada apa saja yang ukurannya lebih kecil! Demikian pula dalam adu jangkrik ini. Dia akan penasaran terus kalau Si Kecil belum memang, karena dia melihat seolah-olah Si Kecil itu adalah dia sendiri.

Kini dia membenam-benamkan Si Kecil Merah itu ke dalam... air kencingnya sendiri. Tanpa mempedulikan Kwi Hong kakek itu merosotkan celananya begitu saja sehingga Kwi Hong tersipu-sipu membuang muka, lalu dia melepas air kencing ke arah jangkrik merah yang ia masukkan ke dalam sebuah lubang besar di atas tanah. Tentu saja payah jangkrik merah kecil itu berenang di lautan kencing, sedangkan Kwi Hong yang berdiri dalam jarak sepuluh langkah saja masih mencium bau sengak seperti cuka lama, apa lagi jangkrik yang kini dibenamkan ke dalam air kencing!

Akan tetapi kakek itu tidak peduli. Setelah mengikatkan kembali celananya dan membenam-benamkan jangkrik jagoannya sampai setengah kelenger, barulah ia menghentikan gemblengannya, membiarkan jagonya siuman di bawah sinar matahari, kemudian mulailah dia mengadu lagi dua ekor jangkrik itu.

Anehnya, ketika jangkrik itu digoda kili-kili, dia mengamuk, menggigit asal kena saja, akan tetapi tidak lagi mau mengerik. Dia betul-betul sudah puyeng sekarang, sudah nekat dan menyerang ke depan dengan ngawur akan tetapi pantang mundur!

"Bagus, kau kini tidak mengenal takut lagi!"

Kwi Hong lupa akan bau air kencing yang biar pun sudah dihisap tanah masih meninggalkan bau lumayan. Karena dia tertarik maka dia mendekat lagi, bahkan ia kini duduk di sebelah kiri kakek itu, menonton penuh perhatian. Dua ekor jangkrik sudah berkelahi lagi di atas telapak tangan kakek itu. Akan tetapi jangkrik kecil itu mundur terus!

"Kalau sekali ini kalah, kugencet dengan batu kepalamu!" Kakek itu mengomel dan Kwi Hong menaruh kasihan kepada jangkrik kecil merah itu.

"Kek, tahan pantatnya dengan kili-kili. Dia masih terus melawan, belum kalah, jangan keburu dia jatuh ke bawah!" Kwi Hong yang melihat Si Kecil itu benar-benar nekat, saling gigit tak dilepaskan lagi, menjadi tegang hatinya dan ingin melihat Si Kecil yang diingkal-ingkal (didesak-desak) oleh Si Besar itu dapat menang.

Kakek itu tidak menjawab, akan tetapi ternyata dia menurut petunjuk Kwi Hong menggunakan kili-kili untuk menahan pantat jangkrik kecil merah yang terdorong terus ke belakang. Setelah kili-kili itu menahannya, pertandingan menjadi makin seru dan mati-matian, dan kedua jangkrik saling gigit sampai mulut Si Kecil mengeluarkan air menguning!

Jangkrik hitam yang besar agaknya penasaran, makin dikerahkan tenaga kakinya yang besar, didorongnya kepala jangkrik kecil yang sudah luka-luka itu sekuatnya sehingga tubuh jangkrik kecil itu tertekan, terhimpit dan tertekuk ke belakang sehingga akhirnya jatuh terlentang dan si Besar Hitam masih menggigit dan nongkrong di atasnya. Kakek itu menjadi pucat wajahnya, matanya terbelalak dan perasaannya tertusuk.

Akan tetapi tiba-tiba jangkrik kecil yang kehilangan akal itu membuat gerakan membalik sehingga gigitan terlepas, dan ketika jangkrik hitam besar mengejar, Si Kecil itu menggerakkan kedua kaki besar ke belakang, menyentik dengan tiba-tiba dan gerakannya amat cepat dan kuat. Akibatnya, tubuh jangkrik hitam besar itu terlempar ke atas dan jatuh. Sial baginya dia jatuh menimpa batu sehingga kepalanya pecah dan mati di saat itu juga! Lebih aneh lagi, kini jangkrik kecil merah yang masih berada di tangan kakek itu mulai mengerik dan bergerak-gerak ke sana ke mari, seolah-olah menantang lawan!

"Hebat dia...!" Kwi Hong berseru, juga girang sekali. Tetapi dia segera menghentikan kata-katanya dan matanya terbelalak memandang ke belakang kakek tua itu. Dari jauh tampak olehnya rombongan orang Pulau Neraka yang menggotong peti mati, berjalan menuruni anak tangga batu menuju ke arah mereka!

Kwi Hong merasa khawatir sekali. Dia maklum akan kelihaian orang-orang Pulau Neraka itu. Akan tetapi dia terheran-heran ketika melihat mereka semua menjatuhkan diri berlutut dan meletakkan peti mati itu di depan mereka, terus berlutut tanpa bergerak sedikit pun.

Akan tetapi kakek tua yang kate kecil itu sama sekali tidak mempedulikan mereka. Dia sedang bergembira, girang bukan main. "Heh-heh-ha-ha-ha, kau boleh istirahat dan sembuhkan luka-lukamu, jagoan cilik!" katanya sambil melepaskan jangkrik itu ke dalam semak-semak. Dia lalu menari-nari kegirangan, tertawa-tawa dan bergulingan ke sana-sini, mendekati bangkai jangkrik hitam, mengejek dan menjulurkan lidah kepada bangkai kecil itu!

"Heh-heh, kau kira yang besar harus menang? Ha-ha-ha!"

Ketika ia bergulingan itu, tanpa disengaja dia bergulingan ke dekat Kwi Hong. Tentu saja gadis ini tidak mau tubuhnya terlanggar, maka dia meloncat berdiri. Gerakan gadis ini disalah artikan oleh Si Kakek sinting, disangkanya gadis itu menentangnya, apa lagi dia melihat bahwa gadis itu tidak ikut bergembira bersamanya. Marahlah dia dan tiba-tiba ia menelungkup, menekan tanah dengan dua tangan dan bagaikan kilat cepatnya, kedua kakinya menyepak ke belakang persis gaya jangkrik kecil tadi, kedua ujung kaki menghantam dari bawah ke arah tubuh Kwi Hong!

Tentu saja Kwi Hong terkejut sekali. Untuk mengelak sudah tidak keburu lagi maka cepat ia menangkis.

"Desss!" Akibat benturan ini, tubuh Kwi Hong terlempar ke udara, jauh tinggi dan 'temangsang' di atas dahan-dahan pohon yang tinggi dalam keadaan lemas!

Kakek sinting itu berseru kaget. "Heiiii...! Wah, kenapa kau mau saja kusepak?"

Secepat burung terbang, tubuhnya melayang ke atas tanpa menginjak dahan pohon, tangannya yang berlengan pendek itu menyambar tubuh Kwi Hong dan membawa dara itu meloncat turun. Sekali ditepuk punggungnya, Kwi Hong dapat bergerak kembali dan ia terlongong memandang kakek yang ternyata memiliki ilmu kepandaian luar biasa itu.

Setelah memulihkan kesehatan Kwi Hong, kakek itu melanjutkan bersorak gembira, "Ha-ha-ha! Hooree! Aku menemukan jurus baru yang hebat! Khusus untuk si kecil mengalahkan si besar, ha-ha-ha!" Tiba-tiba ia melihat rombongan orang Pulau Neraka yang berlutut di situ, lalu suara ketawanya berhenti, dia membentak marah.

"Eiiittt! Siapa suruh kalian berlutut di situ? Hayo pergi semua, jangan ganggu aku yang sedang bergembira!"

Kwi Hong kembali terheran-heran. Orang-orang Pulau Neraka yang tingkatnya tidak rendah itu mengangguk-angguk dan seperti anjing digebah mereka kemudian pergi mengundurkan diri, meninggalkan peti mati dan tampak mereka itu duduk jauh dari tempat itu, seperti sekumpulan pelayan menanti perintah majikan. Sedikit pun mereka tidak berani lagi memandang ke arah kakek sinting!

"Heh-heh-heh, mereka itu menjemukan sekali. Ilmu yang baru ini mana boleh dilihat mereka? Tentu akan mereka curi kelak. Eh, gadis gede, engkau ikut berjasa dalam penemuan jurus istimewa ini, maka sudah sepantasnya kalau aku mengajarkan jurus ini kepadamu."

Kwi Hong menggeleng kepala. "Aku tidak ingin mempelajari jurus yang tidak sopan itu!"

"Wah, lagaknya! jurus tidak sopan, katamu? Hayo jelaskan, apanya yang tidak sopan!"

"Aku adalah seorang manusia, seorang gadis pula, bukan seekor jangkrik atau seekor kuda! Kalau aku mempelajari jurus menyepak seperti jangkrik atau kuda itu, bukankah itu tidak sopan?"

"Uwaaah, sombongnya! Mana ada jurus sopan atau tidak sopan? Hayo jawab, untuk apa engkau mempelajari jurus-jurus ilmu silat? Bukankah untuk merobohkan lawan, untuk membunuh lawan? Apakah ada cara membunuh yang sopan atau tidak? Kalau dilihat tujuannya, semua jurus yang pernah kau pelajari juga tidak sopan! Hayo, coba kau bantah!" kakek itu bersikap seperti seorang anak kecil yang cerewet dan mengajak bertengkar.

"Sudahlah, aku tak mau banyak bicara dengan tokoh Pulau Neraka!"

"Aihhh! Siapa tokoh Pulau Neraka?"

"Engkau, kakek sinting, apa kau kira aku tidak tahu bahwa engkau adalah tokoh Pulau Neraka?"

"Dari mana kau tahu?"

"Dari mukamu yang tidak berwarna itu, seperti muka mayat!" Kwi Hong tidak mau bilang bahwa dia tahu karena melihat orang-orang Pulau Neraka tadi amat takut dan menghormat kakek ini karena hal itu menjadi terlalu mudah untuk menduga.

"Ada apa dengan mukaku? Tidak berwarna? Hemm, kau mau warna apa? Hitam? Nah, lihatlah!" Kwi Hong hampir menjerit ketika melihat betapa muka kakek itu tiba-tiba saja berubah hitam seperti pantat kuali yang hangus! Hanya tinggal putih matanya dan dua giginya saja yang kelihatan.

"Apa kau mau yang merah? Dan berbareng dengan ucapannya itu, muka kakek itu menjadi merah seperti dicat.

"Atau biru? Hijau? Kuning?"

Kini Kwi Hong melongo. Muka itu bisa berubah-ubah seperti yang disebut kakek itu, seolah-olah ada yang mengecatnya berganti-ganti, dan akhirnya berubah biasa lagi, muka yang pucat, muka seorang kakek yang berpenyakitan.

"Jelas engkau seorang tokoh besar Pulau Neraka!" Kwi Hong berkata.

"Kalau betul, mengapa? Apa bedanya kalau aku orang Pulau Neraka, atau Pulau Es, atau pulau kosong, atau dari puncak Gunung Bu-tong-san, atau dari padang pasir! Apa bedanya kalau aku terlahir sebagai bangsa ini dan bangsa itu? Tetap saja aku seorang manusia seperti juga engkau! Jangan sombong kau, gadis gede..."

"Jangan sebut-sebut aku gede! Apa kau kira engkau ini masih bocah?"

"Eh-eh, yang gede bukan usianya, melainkan tubuhnya. Bukankah engkau gede sekali kalau dibandingkan dengan tubuhku?"

"Bukan aku yang gede, melainkan engkau kate, terlalu kate, terlalu kecil! Aku biasa saja! Kau benar-benar menjengkelkan orang, Kakek sinting. Siapa sih namamu?"

"Heh-heh, kejengkelan bukan datang dari luar, melainkan dari dalam batinmu sendiri, digerakkan oleh pikiranmu, Nona. Siapa suruh engkau jengkel! Aku memang bukan orang yang besar, bukan orang ternama, aku hanyalah Bu-tek Siauw-jin (Manusia Rendah Tanpa Tanding). Aku tidak bicara berlebihan kalau kukatakan bahwa aku adalah datuk Pulau Neraka... heh-heh-heh... Haa?! Mengapa kau mencabut pedang? Waduhhh... pedangmu itu...! Pedang iblis, seperti yang dipegang murid Suheng!"

Kini Kwi Hong dapat menduga siapa adanya kakek ini. Kiranya sute dari kakek yang seperti mayat hidup, guru dari Keng In!

"Bagus, ketahuilah, Kakek sinting. Aku adalah Giam Kwi Hong dari Pulau Es! Dan pedang ini memang benar Li-mo-kiam (Pedang Iblis Betina), sedangkan Lam-mo-kiam yang dipegang oleh murid keponakanmu itu adalah barang rampasan, curian yang harus dikembalikan kepadaku. Sekarang setelah kita saling bertemu, dua wakil dari kedua pulau yang bertentangan, kita boleh mengadu nyawa!"

"Mengadu nyawa? Heh-heh-heh, boleh! Boleh sekali! Akan tetapi kita harus bertaruh, tanpa pertaruhan aku tidak sudi susah-susah keluarkan keringat!"

Biar pun hatinya mendongkol sekali, Kwi Hong menjadi geli juga. "Bu-tek Siauw-jin, orang mengadu nyawa mana bisa bertaruh? Yang kalah tentu akan mati, mana bisa memenuhi pembayaran?"

"Siapa bilang mati? Kalau aku tidak menghendaki mati, mana bisa di antara kita ada yang mati? Begini, aku akan mainkan jurus baruku yang kau pandang rendah tadi untuk menghadapi pedangmu! Kalau pedangmu sampai terlepas, berarti kau kalah dan engkau harus menemani aku dikubur hidup-hidup selama seminggu!"

Kwi Hong bergidik. "Gila! Itu sama saja dengan mati!"

"Eiit, siapa bilang sama? Aku sudah berkali-kali dikubur hidup-hidup, sampai sekarang kenapa tidak mati? Dikubur hidup-hidup menemaniku berarti mempelajari ilmuku dan menjadi muridku, mengerti tidak kau, perawan tolol?"

Melihat kakek itu sudah naik pitam lagi, Kwi Hong menahan kegemasan hatinya dan berkata, "Kalau kau yang kalah?"

"Kalau aku yang kalah tak usah bicara lagi karena aku tentu tidak dapat menjawabmu. Pedangmu Li-mo-kiam itu bukan sembarangan senjata, jauh lebih tua dan lebih ampuh dari pada aku, kalau aku kalah tentu dia akan minum habis darahku. Nah, kau mulai."

Kwi Hong menjadi serba susah. Biar pun dia tidak sudi menjadi murid seorang tokoh Pulau Neraka, akan tetapi untuk membunuh kakek sinting ini sebenarnya dia pun tidak tega. Biar pun dari Pulau Neraka, akan tetapi kakek ini hanya sinting dan aneh, sama sekali tidak kelihatan jahat, bahkan kegalakannya terhadap orang-orang Pulau Neraka tadi, kegalakan dan kemarahannya terhadap dia, seperti main-main atau pura-pura saja. Selain itu, kakek ini jelas memiliki kepandaian yang luar biasa, dan dia bergidik kalau mengingat akan kepandaian kakek mayat hidup guru Keng In. Namun demi menjaga nama dan kehormatan paman dan gurunya, dia harus menang. Apa lagi dia memegang Li-mo-kiam dan hanya dilawan dengan jurus baru yang diperoleh kakek itu dari adu jangkrik tadi.

"Lihat pedang!" bentaknya dan terdengar suara bercuit nyaring dan aneh ketika Li-mo-kiam lenyap berubah menjadi segulung sinar kilat yang mukjizat dan mengandung hawa maut.

"Hayaaaaaa...!" Kakek itu mengelak dan betul saja, dia sudah menjatuhkan diri dan bergulingan mengelak dari sambaran pedang.

Kwi Hong yang maklum bahwa dia hanya harus menjaga kedua kaki yang menyepak, melancarkan serangan bertubi-tubi kepada tubuh kecil yang bergulingan itu sehingga pedangnya menjadi gulungan sinar kilat yang menyambar-nyambar ke bawah. Kakek itu ternyata memiliki gerakan yang ringan seperti kapas tertiup angin, kadang-kadang dapat mencelat ke sana-sini seperti jangkrik meloncat. Namun sedikit pun kakek itu tidak mendapatkan kesempatan untuk mempergunakan jurus barunya, yaitu sepakan kuda atau jentikan kaki jangkrik! Malah dia repot sekali harus mengelak terus karena pedang Li-mo-kiam adalah pedang yang amat luar biasa, baru hawanya saja sudah membuat kakek itu miris hatinya.

Tiba-tiba Kakek itu terpeleset jatuh. Kwi Hong cepat mengayun pedang. Tiba-tiba terdengar suara memberobot dan ternyata kakek itu melepas kentut yang besar dan panjang! Kwi Hong mengerutkan alis, mengernyitkan hidung dan sedetik pedangnya tertunda. Inilah kesalahannya. Sedetik sudah terlalu lama bagi kakek sinting itu untuk menggerakkan kedua kakinya, menyepak seperti yang dilakukannya tadi membuat tubuh Kwi Hong terbang. Akan tetapi kini sepakannya mengenai tangan kanan Kwi Hong. Kaki kiri menotok siku membuat lengan itu lumpuh, kaki kanan menendang gagang pedang sehingga pedang Li-mo-kiam mencelat ke atas mengeluarkan bunyi mengaung.

Ketika Kwi Hong sadar dan kaget bukan main, ternyata kakek itu sudah 'terbang' ke atas menyambar pedangnya, lalu mengembalikan pedang itu sambil tersenyum menyeringai, "Nah, kau kalah, muridku."

Kwi Hong menerima dan menyarungkan pedang, lalu ia menjawab, "Bu-tek Siauw-jin, ketahuilah aku adalah murid Pamanku sendiri, Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Maka engkau tentu maklum bahwa aku tidak mungkin dapat menjadi muridmu."

"Apa kau kira aku tidak tahu? Kau anggap aku ini anak kecil yang tidak tahu apa-apa? Aku ingin menurunkan ilmu kepadamu, tentang kau menjadi murid atau tidak, peduli amat! Kau tahu mengapa aku ingin menurunkan ilmu-ilmuku kepadamu?"

Kwi Hong makin heran dan kini dia memandang kakek yang sakti itu. "Aku tidak tahu."

"Karena Suhengku Si Mayat Hidup yang bau busuk itu sudah melanggar sumpah!"

"Bagaimana? Aku tidak mengerti."

"Kami bertiga, Suheng Cui-beng Koai-ong, aku dan Sute Kwi-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek yang sudah bersumpah tidak akan menerima murid. Akan tetapi baru-baru ini Suheng mengambil murid bocah anak ketua boneka Pulau Neraka itu sebagai murid. Bocah itu pandai sekali, apa lagi kini memegang Lam-mo-kiam, tentu tak ada yang melawannya. Kebetulan engkau bertemu dengan aku, engkau memegang Li-mo-kiam, engkau nakal dan cocok dengan aku, dan dasar ilmumu tidak kalah oleh murid Suheng. Nah, kalau aku menurunkan ilmu kepadamu, kelak engkaulah yang akan menghadapi murid Suheng itu. Dia sudah melanggar sumpah, biar aku yang mengingatkannya dengan cara mengalahkan muridnya oleh muridku!"

"Tanpa kau beri pelajaran ilmu pun aku tidak takut menghadapi bocah sombong itu!"

"Hemm, dia belum tentu sombong, akan tetapi engkau sudah pasti sombong sekali! Engkau murid Pendekar Siluman, akan tetapi setelah dia menerima ilmu-ilmu dari Suheng, apa kau kira akan mampu menandinginya? Pedangmu itu tidak ada artinya karena dia pun mempunyai pedang yang sama ampuhnya."

"Pedang curian!"

"Curian atau bukan, bagaimana kau akan mampu merampasnya jika kau tidak mampu menandingi ilmunya?"

"Siauw-jin... ehhh... wah, namamu benar-benar aneh, bikin orang tidak enak saja memanggilnya dengan menyingkat!"

"Heh-heh-heh! Mengapa tidak enak memanggil aku Siauw-jin (Manusia Hina)? Sudah terlalu halus kalau aku disebut Siauw-jin, ha-ha-ha!"

"Bu-tek Siauw-jin, aku sudah kalah berjanji dan aku harus memenuhi taruhan kita, aku suka mempelajari ilmu yang akan kau berikan kepadaku, biar pun untuk itu aku harus dikubur hidup-hidup. Akan tetapi, bagaimana engkau bisa tahu bahwa aku akan suka kau pergunakan untuk mengalahkan murid Suhengmu?"

"Kwi Hong, namamu Giam Kwi Hong, bukan? Engkau keponakan Suma Han, engkau puteri perwira gila she Giam di kota raja, engkau pernah diculik oleh adik angkat Suma Han yang menjadi ketua boneka di Pulau Neraka. Semua itu aku tahu... heh-heh, apa yang aku tidak tahu? Aku tahu bahwa Sepasang Pedang Iblis itu tadinya ditemukan oleh seorang bocah laki-laki, entah siapa aku tak kenal namanya. Li-mo-kiam diberikan kepadamu dan Lam-mo-kiam dirampas oleh murid Suheng maka engkau akan merampas kembali pedang itu memusuhinya. Engkau harus menemani aku dikubur hidup-hidup selama seminggu. Jangan kau pandang remeh latihan ini. Latihan sinkang yang luar biasa. Engkau akan mengenal apa yang disebut Tenaga Inti Bumi! Setelah berlatih semedhi dan sinkang di dalam tanah, nanti kuberikan ilmu-ilmuku yang paling istimewa, tiada keduanya di dunia, termasuk ilmu baruku tadi, yang kau katakan tidak sopan."

"Ilmu tendangan jangkrik?"

"Benar! Siapa tahu, dalam keadaan roboh dan terdesak, terancam mala petaka, engkau dapat menggunakan jurus itu. Dengan seluruh tubuh tertekan pada bumi, meminjam tenaga inti bumi, engkau akan dapat mengalahkan lawan yang jauh lebih kuat, dalam keadaan tak terduga-duga seperti yang dilakukan jangkrik kecil tadi. Jurus ini selain dapat menyelamatkan nyawamu dari ancaman maut, juga dapat merobohkan lawan yang jauh lebih kuat. Apakah kau masih menganggapnya ilmu tidak sopan?"

Kwi Hong mengangguk. "Aku akan mempelajari semua ilmu yang kau berikan."

"Bagus, sekarang kau carilah sebuah peti mati untukmu. Peti mati besi ini punyaku, dan terlalu kecil untuk tubuhmu yang gede."

"Mencari peti mati? Ke mana?"

"Wah, bodohnya. Ratusan peti mati berada di depan hidung, masih tanya harus cari ke mana? Selamanya tak mempunyai murid, sekali dapat murid, bodohnya bukan main. Di dalam kuburan-kuburan itu bukankah terisi peti-peti mati?"

Kwi Hong terbelalak ngeri. "Apa? Bongkar peti mati di kuburan? Wah, kan ada isinya!"

"Isinya hanya rangka yang sudah lapuk. Petinya masih baik. Itulah lucunya. Betapa pun kokoh kuat petinya, mayatnya toh akan membusuk dan rusak. Membuang uang sia-sia hanya untuk pamer saja, akan tetapi menguntungkan untukmu. Petinya yang masih baik dapat kau pergunakan!"

Kwi Hong menggeleng-geleng kepala. "Aku tidak bisa, Kek. Tidak mungkin aku sampai hati membongkar kuburan dan merampas peti dari sebuah kerangka manusia!"

"Uuhhh! Sudah bodoh penakut lagi! Apanya yang dipilih?" kakek itu bersuit tiga kali memanggil anak buahnya. Muncullah mereka berbondong-bondong dari tempat mereka duduk menanti.

"Hayo cepat carikan sebuah peti dari kuburan tertua." Bu-tek Siauw-jin memerintah.

"Aihh... Ji-tocu (Majikan Pulau kedua), hamba sekalian telah membawakan sebuah peti untuk To-cu," kata tokoh Pulau Neraka yang gendut pendek berkepala gundul. Orang ini adalah Kong To Tek, seorang tokoh Pulau Neraka yang memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi, bahkan memiliki ilmu mengeluarkan pukulan beracun diikuti semburan asap dari mulutnya yang amat berbahaya.

"Cerewet kau! Peti untukku sudah ada, akan tetapi untuk muridku ini belum ada! Lihat baik-baik, dia ini adalah muridku yang akan mengalahkan murid Twa-suheng, tahu? Namanya Kwi... eh, lupa lagi. Siapa namamu tadi?"

"Kwi Hong..., Giam Kwi Hong," kata gadis itu dengan hati geli menyaksikan tingkah gurunya yang sinting.

"Oya, dia Giam Kwi Hong, murid tunggalku, Hayo cepat, carikan peti mati yang paling baik!"

Kwi Hong memandang dengan hati penuh ngeri betapa orang-orang itu membongkari kuburan dan akhirnya mendapatkan sebuah peti mati kuno yang benar-benar amat kokoh kuat dan ukiran-ukirannya masih lengkap. Peti mati itu dibuka, kerangkanya dikeluarkan, lalu peti mati kosong itu digotong dekat Kwi Hong yang memandang dengan jantung berdebar penuh rasa ngeri. Dia harus tidur di situ? Bekas tempat mayat?

"Gali sebuah lubang besar untuk dua peti ini, cepat!" kakek itu kembali memberi perintah dan belasan orang Pulau Neraka itu cepat melakukan perintah Bu-tek Siauw-jin. Karena mereka itu rata-rata lihai dan memiliki tenaga besar, sebentar saja sebuah lubang yang lebarnya dua meter dan dalamnya juga dua meter telah tergali terbuka menganga dan menantang dalam pandang mata Kwi Hong.

"Lekas kau masuk ke dalam petimu!" Kwi Hong menggelengkan kepalanya. "Eh, apa kau takut?"

Melihat betapa semua mata para penghuni Pulau Neraka itu memandang kepadanya, mendengar pertanyaan kakek sinting itu Kwi Hong cepat menjawab, "Siapa bilang aku takut? Aku hanya merasa jijik, peti mati itu kotor!"

Tentu saja sebetulnya bukan karena kotor dan jijik, melainkan karena takut dan ngeri!

"Eh, siapa bilang kotor? Orang yang yang sudah mati jauh lebih bersih dari pada orang yang masih hidup! Hayo cepat masuk, ataukah engkau hendak membantah perintah Gurumu dan tidak mememenuhi janji?"

Kwi Hong merasa terdesak. Kalau dia tetap menolak, selain berarti dia tidak membayar kekalahan taruhan, dan dianggap takut oleh orang-orang Pulau Neraka, juga kalau kakek itu menggunakan kekerasan, mana dia mampu mencegahnya?

"Kalau aku sudah di dalam peti, bagaimana engkau bisa melatihku?" Dia mencoba menggunakan alasan menolak.

"Bodoh! Biar pun di dalam peti, apa kau kira aku tidak bisa memberi petunjuk? Hayo cepat, mereka ini sudah menanti untuk mengubur kita."

Dengan jantung berdebar penuh takut dan tegang, terpaksa Kwi Hong memasuki peti mati itu. Bu-tek Siauw-jin menggunakan tangannya memukul tengah-tengah tutup peti mati yang tebal.

"Brakkk!" papan tebal itu bobol dan berlobang ditembus telapak tangannya, kemudian dipasanglah sebatang bambu panjang yang sudah dilubangi.

"Pejamkan matamu agar jangan kemasukan debu!" kata kakek itu sambil mengangkat tutup peti mati dan menutupkannya.

Dunia lenyap bagi Kwi Hong. Ketika ia mengintai dari balik bulu matanya, yang tampak hanya hitam pekat! Dia merasa betapa peti mati di mana dia berbaring terlentang itu bergerak, kemudian turun ke bawah. Dia sudah diturunkan ke dalam lubang! Memang kakek itu sendiri yang menurunkannya dan kini batang bambu itu menjadi lubang hawa yang lebih tinggi dari pada lubang tanah itu, dua jengkal lebih tinggi.

Bu-tek Siauw-jin memasuki petinya yang kecil, menutupkan petinya dari dalam dan peti itu dapat bergerak sendiri, meloncat ke dalam lubang, persis di samping peti mati Kwi Hong! Anak buahnya yang sudah tahu akan kewajiban mereka, cepat menguruk lubang itu dengan tanah galian sampai dua buah peti itu tertutup sama sekali dan tempat itu berubah menjadi segunduk tanah di mana tersembul keluar sebatang bambu kecil yang panjangnya sejengkal dari gundukan tanah. Itulah bambu yang menjadi lubang angin atau lubang hawa, penyambung hidup Kwi Hong! Ada pun kakek sinting itu sama sekali tidak menggunakan bambu untuk lubang hawa.

Belasan orang Pulau Neraka itu lalu beristirahat agak jauh dari 'kuburan' itu, karena kalau kakek itu sedang berlatih seperti itu, sama sekali tidak boleh diganggu dan mereka harus menjaga kuburan itu agar tidak ada yang berani mengusiknya. Akan tetapi mereka pun tidak berani menjaga terlalu dekat, karena kakek sinting ini benar-benar aneh dan galak sekali, dan biar pun berada di dalam peti mati yang sudah dikubur, agaknya masih dapat mendengar percakapan mereka yang di atas! Karena itu, mereka lebih 'aman' menjaga di tempat yang agak jauh, akan tetapi siang malam mereka bergilir menjaga dan memperhatikan kuburan itu.

Dapat dibayangkan betapa ngeri dan takutnya hati Kwi Hong. Dia mendengar suara berdebuknya tanah bergumpal-gumpal yang jatuh menimpa peti matinya, sampai akhirnya yang terdengar hanya suara gemuruh tidak jelas lagi. Kemudian sunyi, sunyi sekali dan yang tampak hanyalah hitam pekat di sekelilingnya dan di tengah-tengah, tepat di atasnya, terdapat sebuah bulatan sinar yang menyilaukan mata. Dia tidak tahu benda apa itu, setelah ia meraba-raba dengan tangannya, barulah ia mengerti bahwa sinar bulat itu adalah sebuah lubang, lubang dari batang bambu yang tentu saja menembus keluar tanah kuburan dari mana cahaya matahari masuk bersama hawa.

Makin ngeri hati Kwi Hong. Lubang bambu itu merupakan gantungan nyawanya! Kalau lubang itu tertutup... ihh, dia bergidik dan mendadak saja napasnya terasa sesak sekali, seolah-olah hawa di dalam peti mati telah habis dan lubang itu telah tertutup!

"Kakek sinting...!" Dia memaki gemas. "Kalau engkau menipuku dan aku sampai mati di sini, aku akan menjadi setan dan belum puas hatiku kalau setanku belum mencekik lehermu sampai putus!"

Tiba-tiba terdengar suara, jelas akan tetapi terdengar seperti amat jauh, suara dari balik kubur! "Uwaaahhh, ganas sekali engkau! Belum menjadi setan sudah demikian ganas, apa lagi kalau benar-benar menjadi setan! Kwi Hong, engkau muridku, aku Gurumu, mana mungkin Guru mencelakakan murid? Kau lihat, ada tabung bambu untuk hawa segar. Bernapaslah dalam-dalam, pejamkan matamu, dan dengarkan baik-baik, kita mulai berlatih pernapasan, semedhi dan menghimpun sinkang dari hawa inti sari bumi..."

Dengan penuh perhatian Kwi Hong mendengarkan suara kakek itu yang terdengar jelas sekali, mendengarkan cara-cara berlatih pernapasan yangg istimewa, kemudian mencobanya dalam praktek dengan petunjuk-petunjuk suara kakek itu. Dia bukan saja dilatih pernapasan yang amat aneh, juga dilatih untuk bernapas di dalam ruang tertutup di bawah tanah!

"Jangan memandang ringan latihan ini, muridku. Tahukah mengapa kami tokoh-tokoh dan datuk-datuk Pulau Neraka melakukan latihan ini? Terciptanya dari keadaan yang memaksa kami. Bayangkan saja keadaan Pulau Neraka pada ratusan tahun yang lalu, sebelum semua kesukaran dapat ditaklukkan seperti sekarang ini. Hidup di permukaan pulau merupakan hal yang mustahil apa lagi kalau ular-ular dan semua binatang berbisa mengamuk, rawa-rawa mengeluarkan hawa beracun dan terbawa angin menyapu seluruh permukaan pulau! Terpaksa nenek moyang kami mencari tempat persembunyian di dalam tanah! Namun masih saja diancam bahaya oleh ular-ular dan kelabang-kelabang berbisa. Jalan satu-satunya untuk menyelamatkan diri hanyalah mengubur diri hidup-hidup dan terciptalah cara berlatih seperti ini! Mengapa dilakukan dalam sebuah peti mati? Karena dari sebuah peti kunolah ditemukan ilmu-ilmu rahasia yang kami miliki. Ketika seorang di antara nenek moyang kami bersembunyi di dalam tanah dengan mengubur diri hidup-hidup, melindungi tubuhnya dalam sebuah peti mati kuno yang ditemukan di dalam tanah ketika dia menggali lubang, dia menemukan ukiran-ukiran dan coretan-coretan di dalam peti mati itu yang ternyata adalah ilmu-ilmu rahasia yang agaknya ditinggalkan oleh nenek moyang Bu Kek Siansu yang kebetulan mati dikubur di Pulau Neraka! Nah, setelah kau tahu akan riwayat singkatnya, belajarlah baik-baik karena sesungguhnya, biar pun sifatnya berbeda, namun pada dasarnya ilmu-ilmu Pulau Neraka adalah satu sumber dengan ilmu-ilmu Pulau Es."

Dengan tekun dan kini sama sekall tidak berani memandang rendah kepada kakek sinting itu, Kwi Hong diam-diam memusatkan perhatiannya dan mentaati semua petunjuk kakek itu, berlatih dengan penuh ketekunan dan penuh ketekatan, tidak merasa ngeri atau takut lagi karena dia sudah menyerahkan mati hidupnya di tangan kakek yang menjadi gurunya itu.....

SEPASANG PEDANG IBLIS (seri ke 7 Bu Kek Siansu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang