Hal itu terjadi ketika dia dan pembantu-pembantunya bersembunyi di dalam hutan-hutan di lereng Pegunungan Ciung-lai-san, mengurung dan mengawasi daerah tandus di kaki gunung yang dijadikan tempat pertemuan oleh Thian-liong-pang itu. Karena daerah pengawasan itu amat luas, mereka berpencar, demikian pula para pasukan yang hanya beristirahat di hutan-hutan sambil bersiap-siap menanti perintah kalau saat penyerbuan tiba.
Sehari sebelum pertemuan tiba, pasukan pemerintah telah bersembunyi di hutan lereng Pegunungan Ciung-lai-san itu, di antara mereka tampak Tan-siucai. Tan-siucai yang masih penasaran karena belum berhasil membalas dendam kepada Suma Han yang dianggap telah menyebabkan kematian tunangannya, yaitu Lu Soan Li, sekali ini mengharapkan benar agar Suma Han muncul di tempat pertemuan. Dia maklum bahwa dia sendiri tidak akan mampu mengalahkan musuh besar yang dianggap telah menghancurkan kebahagiaan hidupnya itu, namun dia percaya penuh kepada gurunya yang kini telah bergabung dengan orang-orang sakti seperti kedua Lama dan Koksu. Dengan hadirnya tokoh-tokoh sakti ini dibantu oleh seribu orang pasukan, mustahil kalau musuh besarnya itu akhirnya tidak akan tewas! Dia ingin sekali memberi pukulan maut terakhir kepada Suma Han, dengan tusukan kedua pedangnya, pedang hitam dan Hok-mo-kiam yang dibanggakannya.
Karena menunggu adalah pekerjaan yang paling tidak menyenangkan, dan waktu dirasakan merayap amat lambat, Tan-siucai pergi berjalan-jalan seorang diri di dalam hutan yang dianggapnya tempat yang paling aman. Seribu orang pasukan menjaga di situ, dan dia sendiri memiliki kepandaian tinggi, tentu saja dia tidak takut akan munculnya ular atau harimau. Dengan wajah berseri penuh harapan, apa lagi mengingat akan kedudukannya sebagai pembantu koksu yang membuat hidupnya terjamin dan penuh kemewahan dan kemuliaan, membuat dia dengan mudah memperoleh pakaian mewah dan indah, makanan serba lezat, tidak kekurangan uang, dan boleh dikata memungkinkannya untuk berganti teman wanita setiap malam.
Tan-siucai melangkah perlahan mengagumi pohon-pohon dan kembang-kembang yang sedang mekar di dalam hutan itu. Ia berjalan perlahan, hati-hati agar pakaiannya yang indah dari sutera halus itu tidak sampai kotor oleh debu tanah atau tersangkut tetumbuhan berduri. Senja hampir tiba, sinar matahari tidak begitu panas lagi dan angin senja mulai bertiup seolah-olah menyampaikan selamat jalan kepada matahari yang mulai condong ke barat, sebentar lagi akan meninggalkan permukaan bumi sebelah sini.
Karena dipenuhi harapan menggembirakan, Tan-siucai tersenyum-senyum, kemudian bersenandung. Akan terjadi penyerbuan, dan dia girang mendapat kesempatan lagi mengerjakan pedang hitamnya, memenggal leher orang, menusuk jantung lawan dari dada sampai menembus punggung, melihat darah segar menyemprot keluar! Ha, dia akan berpesta pora dengan pedangnya, di samping menyaksikan terlaksananya dendam terhadap Pendekar Siluman atau Pendekar Super Sakti, Suma Han Majikan Pulau Es. Ha-ha, dia tertawa sendiri kalau teringat akan Pulau Es. Biar pun dia belum berhasil membunuh musuh besar ini, namun menyaksikan tempatnya dihancurkan dan dibakar, anak buahnya banyak yang tewas dan selebihnya terpaksa melarikan diri menjadi buronan, dia sudah merasa girang dan puas sekali.
"Tan-siucai, engkau kelihatan gembira sekali!" tiba-tiba terdengar suara orang menegur dari belakangnya.
Tan-siucai menghentikan senandungnya dan mengira bahwa yang menegurnya tentu seorang di antara panglima pasukan. Sambil membalikkan tubuh dia tertawa dan berkata, "Hidup hanya satu kali di dunia, mengapa tidak gembira?" Akan tetapi ketika melihat bahwa yang berhadapan dengannya adalah seorang pemuda tampan yang tersenyum-senyum, pemuda yang tubuhnya sedang, pakaiannya sederhana, kuncirnya tebal hanya sebuah bergantung ke depan melalui pundak, seorang pemuda yang sama sekali bukan panglima, bukan pula prajurit, ia menjadi sangat terkejut.
"Engkau... siapa...?" Tan-siucai agak tergagap karena heran, tetapi segera menyangka bahwa tentu orang ini penduduk di lereng Pegunungan itu.
Pemuda itu memperlebar senyumnya. "Aku setan penjaga gunung yang telah lama menanti kesempatan ini untuk mencabut nyawamu!"
Tan-siucai kaget dan marah mendengar ini, namun dia menjadi kaget lagi ketika tiba-tiba tangan kiri pemuda sederhana itu dengan jari-jari terbuka meluncur ke arah mukanya, menyerang kedua matanya. Gerakan pemuda itu cepat bukan main, dan dari sambaran tangannya terasa hawa pukulan yang kuat! Tan-siucai tentu saja tidak membiarkan kedua matanya dicongkel orang begitu saja. Dia cepat menarik tubuh atas ke belakang.
"Plakk! Rrrttttt!"
"Heiiiii...! Kembalikan pedangku!" Tan-siucai berseru marah dan kaget sekali ketika merasa betapa pedang Hok-mo-kiam yang selalu terselip di pinggangnya kini telah dirampas pemuda itu. Dia sendiri tidak tahu bagaimana sampai dapat diambil dari pinggangnya. Hanya terasa olehnya ketika ia menarik tubuh atas ke belakang untuk menghindarkan tusukan pada matanya, pedang itu diserobot dengan kecepatan kilat dan tahu-tahu pedang itu lenyap dari pinggangnya.
Dengan mata terbelalak marah Tan-siucai melihat pemuda itu tersenyum-senyum sambil mengikatkan sarung pedang ke punggungnya. Sikapnya demikian tenang sambil tersenyum-senyum, seolah-olah pemuda itu sedang memasang pedangnya sendiri, bukan bolehnya merampas punya orang lain.
"Kembalikan pedangku, keparat!" Tan-siucai membentak.
Pemuda itu bukan lain adalah Gak Bun Beng. Seperti diceritakan di bagian depan, setelah berpisah dari Kwi Hong di pantai lautan utara, Bun Beng pergi ke kota raja untuk mencari musuh-musuhnya. Setibanya di kota raja, kebetulan sekali ia melihat pasukan besar dipimpin oleh musuh-musuhnya! Dia melihat Bhong Ji Kun, Thian Tok Lama, Thai Li Lama, Maharya, Tan-siucai, Bhe Ti Kong dan para panglima pengawal meninggalkan kota raja dengan berkuda dan melakukan perjalanan cepat sekali. Melihat ini, Bun Beng tak berani turun tangan. Tak mungkin dia turun tangan selagi orang-orang sakti itu berkumpul dan masih dilindungi oleh pasukan yang besarnya kurang lebih seribu orang! Maka Bun Beng lalu membayangi pasukan itu yang ternyata melakukan perjalanan jauh sekali sampai berpekan-pekan.
Dan akhirnya pasukan itu bersembunyi di dalam hutan, di lereng Pegunungan Ciung-lai-san. Juga Bun Beng yang terus membayangi, mendengar akan pertemuan tokoh-tokoh dunia persilatan yang diadakan oleh Thian-liong-pang di kaki pegunungan itu. Diam-diam dia merasa heran. Apa lagi yang akan dilakukan oleh Puteri Nirahai, ibu Milana dan isteri Pendekar Super Sakti yang telah menjadi Ketua Thian-liong-pang itu? Apakah yang akan dilakukan wanita sakti yang cantik jelita, yang menjadi aneh dan mengerikan sekali wataknya akibat terputusnya cinta dan mengalami kekecewaan itu?
Akan tetapi karena tujuan Bun Beng adalah mencari kesempatan untuk pertama-tama merampas kembali Hok-mo-kiam, baru kemudian mencari kesempatan untuk membuat perhitungan kepada musuh-musuhnya, maka dia tidak mempedulikan lagi urusan Thian-liong-pang.
Akhirnya, setelah membayangi pasukan itu selama beberapa pekan, pada menjelang senja hari itu dia berkesempatan menemui Tan-siucai seorang diri dan berhasil merampas Hok-mo-kiam secara mudah setelah dia melakukan serangan pancingan dengan tangan kiri tadi, membuat Tan Ki menarik tubuh atas ke belakang dan pinggang depannya tidak terlindung.
"Heiii! Tulikah engkau? Kembalikan pedangku!" sekali lagi Tan Ki membentak.
Bun Beng tersenyum tenang. "Pedangmu yang manakah? Hok-mo-kiam ini bukanlah pedangmu. Lupakah engkau bahwa engkau mencuri pedang ini dengan menipu Pendekar Super Sakti keluar meninggalkan pondok. Kemudian engkau bersama Gurumu Maharya itu bahkan membunuh Kakek Nayakavhira yang membuat pedang ini? Dan engkau sekarang masih berkulit muka tebal mengaku bahwa Hok-mo-kiam adalah pedangmu?"
"Setan! Siapa engkau...?" Tan Ki menjadi terkejut dan marah sekali mendengar ucapan itu, sekaligus dia mencabut pedang hitamnya.
"Tidak penting kau ketahui aku siapa, Tan-siucai. Hanya perlu kau ketahui bahwa pedang ini akan kuserahkan kembali kepada yang berhak, yaitu Suma-taihiap."
"Engkau ingin mampus!" Tan Ki membentak dengan pengerahan khikang sehingga suaranya menjadi nyaring dan terdengar sampai jauh. Memang, orang yang licik ini sengaja mengeluarkan suara keras agar terdengar oleh yang lain dan membantunya menghadapi perampas pedangnya. Setelah membentak, pedangnya berkelebat, sinar hitam menyambar ke arah tubuh Bun Beng.
Tan-siucai bukanlah seorang lemah. Dia telah memiliki ilmu kepandaian tinggi sebagai murid Kakek Maharya, dan selain ilmu pedangnya aneh dan cepat, dia pun memiliki sinkang yang sudah kuat sekali. Namun, bagi Bun Beng dia merupakan lawan yang ringan. Bun Beng yang melihat pedang hitam menyambar ke arah lehernya, hanya miringkan kepala sedikit, dan berbareng tangan kanannya menampar.
"Plakkk!"
Bun Beng menampar perlahan saja dan mengenai pipi kiri Tan-siucai, akan tetapi biar pun perlahan, sudah cukup membuat Tan-siucai terbanting dan bergulingan. Ketika ia meloncat bangun lagi dengan kepala nanar, pipinya telah menjadi bengkak membiru dan semua giginya di pinggir kiri copot! Sambil meludahkan gigi dan darah, Tan Ki memandang dengan marah sekali, namun hatinya menjadi jeri karena dalam gebrakan pertama itu saja sudah terbukti betapa lihainya pemuda ini. Teringatlah ia akan cerita tentang pemuda yang membela penghuni Pulau Es, yang mengamuk dengan hebat, bahkan dapat melayani gurunya. Mukanya menjadi pucat teringat akan ini dan dia sudah menoleh ke kanan kiri dan menengok ke belakang, mengharapkan datangnya bala bantuan. Tak salah lagi tentu inilah pemuda yang sakti itu!
"Tan Ki, tamparanku tadi hanya untuk hukumanmu mencuri Pedang Hok-mo-kiam. Semestinya mengingat akan pembunuhan terhadap Kakek Nayakavhira, kemudian penculikan terhadap Nona Giam Kwi Hong, ditambah lagi engkau ikut menyerbu dan membunuh anak buah Pulau Es, engkau sudah pantas dibunuh seratus kali! Akan tetapi, yang berhak memutuskan hukuman adalah Pendekar Super Sakti, dan aku tidak mempunyai permusuhan pribadi denganmu, maka biarlah sekali ini aku tidak membunuhmu dan hanya merampas kembali Hok-mo-kiam. Nah, pergilah!"
Tetapi, tentu saja Tan Ki tidak mau pergi meninggalkan orang yang telah merampas Hok-mo-kiam, juga dia tidak berani menyerang lagi. Dia masih menanti datangnya bantuan dan pada saat itu dia melihat berkelebatnya bayangan Thai Li Lama. Hatinya menjadi besar, keberaniannya bangkit dan dia membentak nyaring.
"Engkau pembela Pulau Es! Engkau pula yang melarikan murid Pendekar Siluman!"
Sambil membentak demikian dia menyerang lagi dengan ganas, mengerahkan seluruh tenaganya dan menggunakan jurus maut. Pedangnya berubah menjadi sinar hitam yang meluncur cepat dan kuat, menusuk ke arah tenggorokan Bun Beng terus digoreskan ke bawah untuk menyusul serangan itu kalau-kalau gagal.
Menghadapi ini, dan melihat datangnya Thai Li Lama yang lihai, Bun Beng menjadi marah sekali. Kalau dia tidak cepat turun tangan dan cepat pergi dari situ sampai semua tokoh lawan datang dan pasukan dikerahkan, dia bisa celaka. Tangan kanannya bergerak ketika ia melangkah mundur untuk mengelak. Tampak sinar kilat yang luar biasa ketika Hok-mo-kiam terhunus, disusul sinar kilat menyambar ke depan.
"Trakkkkk...!" Tan Ki menjerit nyaring dan roboh.
Pedang hitamnya patah menjadi dua oleh Hok-mo-kiam dan sinar kilat itu masih terus menembus dadanya. Tan-siucai berkelojotan dan tewas dalam keadaan yang amat mengecewakan kalau diingat bahwa dia dahulu adalah seorang sastrawan yang amat pandai, yang berwatak baik ketika menjadi tunangan Lu Soan Li. Sayang dendam kebencian membuat dia menyeleweng apa lagi setelah dia menjadi murid Maharya dan ilmu yang dipelajarinya membuat dia menjadi tidak normal alias agak miring otaknya. Kebencian dapat menyeret manusia ke dalam kesesatan, karena kebencian menimbulkan perbuatan kejam, menimbulkan kekerasan dan kekeruhan batin.
"Jahanam...!" Teriakan ini keluar dari mulut Thai Li Lama, disusul dengan pukulan geledek, yaitu Ilmu Sin-kun-hoat-lek yang telah mengandung tenaga sinkang kuat, juga mengandung hawa mukjizat dari ilmu hitamnya.
Bun Beng cepat meloncat ke belakang menghindar. Dilihatnya Thai Li Lama telah banyak berubah. Kepalanya masih tetap gundul, akan tetapi di bagian bawah kepala dibiarkan tumbuh. Dengan demikian, pendeta Lama yang dahulunya gundul kelimis itu kini seperti seorang yang botak, juga jubahnya yang merah terbuat dari kain sutera!
"Haiiiittt, lihat siapa aku? Orang muda, berlututlah engkau di depan Thai Li lama, orang kepercayaan Koksu!" Suaranya amat berpengaruh, pandang matanya seperti menyeluarkan sinar mukjizat.
Bun Beng merasa tubuhnya menggigil dan matanya seperti melekat pada sepasang mata yang seperti mata setan itu, kakinya lemas dan lututnya tak dapat ditahannya lagi, tertekuk dan dia jatuh berlutut! Tiba-tiba berkelebat di otaknya bahwa ini tidaklah sewajarnya, seperti ketika ia berhadapan dengan Maharya. Teringat pula dia akan ilmu sihir yang dimiliki golongan sesat ini. Cepat ia menggigit bibirnya sampai berdarah dan rasa nyeri ini melepaskan dia dari pada ikatan pandang mata yang melekat! Cepat ia mengalihkan pandang mata ke bawah, menulikan telinganya dari suara di luar dan keadaannya pulih kembali.
Pada saat itu, dia merasa hawa yang amat panas menggerayang ke arah kepalanya, maklum bahwa dia terancam bahaya maut karena tangan kiri pendeta itu tengah bersiap mencengkeram ubun-ubun kepalanya selagi dia berlutut!
"Hyyaaaahhhhh!" Bun Beng membentak nyaring melengking dan sinar kilat berkelebat dari bawah.
"Crokk! Auggghhhh...!" Thai Li Lama mencelat ke belakang dan darah mengucur keluar dari lengan kirinya yang telah terbabat buntung oleh Hok-mo-kiam!
Sepasang mata Thai Li Lama mendelik dan ia mengeluarkan gerengan seperti seekor binatang buas. Kemudian dia meloncat tinggi lalu meluncur ke arah Bun Beng dengan kedua kakinya bergerak-gerak melakukan tendangan-tendangan maut bertubi-tubi dari atas, menuju ke arah ubun-ubun, pelipis tenggorokan dan tengkuk. Sekali saja terkena tendangan itu, Bun Beng takkan dapat bertahan, biar pun dia memiliki tenaga sinkang yang bagaimana kuatnya.
Bun Beng maklum akan kedahsyatan serangan ini, dan diam-diam merasa ngeri melihat kakek yang lengan kirinya buntung itu seolah-olah tidak merasakan nyeri dan masih dapat menyerangnya sedemikian hebat. Cepat ia meloncat mundur ke kanan kiri menghindarkan diri dari tendangan-tendangan itu. Namun gerakan kedua kaki itu aneh sekali, sama sekali tidak dikenal oleh Bun Beng dan dia tidak tahu perkembangannya atau lanjutan geraknya, maka betapa pun cepatnya ia mengelak, tetap saja pundaknya terkena dorongan tumit kaki ketika kaki Thai Li Lama membalik yang merupakan lanjutan serangan tendangannya.
Biar pun tulang pundaknya tidak patah, namun hawa dorongan itu membuat Bun Beng terpelanting dan roboh miring. Pundaknya terasa setengah lumpuh dan pada saat itu, Thai Li Lama yang terkekeh seperti iblis itu sudah melayang turun, kaki kanannya bergerak menginjak ke arah perut Bun Beng, injakan maut karena dalam gerakan menginjak dari atas ini mengandung tenaga yang bukan main besarnya. Kalau sampai perut pemuda itu terkena injakan, tentu akan hancur isi perutnya!
"Crokkk...! Aaiiihhhh!" Sinar kilat pedang Hok-mo-kiam yang digerakkan oleh Bun Beng dalam keadaan terancam maut itu menyambar dan membabat kaki yang menginjak. Buntunglah kaki kanan itu sebatas betis dan Thai Li Lama berdiri dengan kaki kiri, matanya terbelalak berapi-api, mulutnya mengeluarkan busa, keadaannya mengerikan sekali. Darah mengucur deras dari pangkal lengannya yang buntung dan dari kaki kanan yang buntung di bawah lutut itu. Namun, dia masih dapat terpincang-pincang menghampiri Bun Beng!
Bun Beng membenci pendeta Lama ini yang merupakan seorang di antara mereka yang telah membunuh Siauw Lam Hwesio, gurunya, akan tetapi kini menyaksikan keadaan Lama itu, dia merasa ngeri dan juga kasihan. Untuk menghentikan penderitaan orang yang menjadi musuhnya itu, dia cepat menubruk ke depan dan ketika sinar kilat berkelebat, pedang Hok-mo-kiam telah menembus ulu hati Thai Li Lama sampai menembus punggung. Bun Beng cepat hendak mencabut kembali pedang itu, akan tetapi tiba-tiba pendeta Lama itu yang sudah buntung lengan kirinya, buntung pula kaki kanannya, dan tertusuk tembus dadanya, masih dapat mengeluarkan bentakan nyaring, dari mulutnya menyembur darah segar dan tangan kanan berhasil memukul punggung Bun Beng dengan tamparan yang mengandung ilmu pukulan Sin-kun-hoat-lek.
"Blukkk!"
"Auuuhhh...!" Darah segar menyembur keluar dari mulut Bun Beng dan pemuda ini terguling roboh, berbareng dengan robohnya tubuh Thai Li Lama yang telah menjadi mayat!
Bun Beng mengeluh panjang, rasa nyeri dari punggung sampai ke dada menyesakkan napasnya. Dia maklum bahwa pukulan dahsyat tadi telah melukainya, akan tetapi pikirannya masih terang. Dia harus cepat pergi! Telah tampak bayangan para anak buah pasukan yang mendengar bentakan-bentakan tadi mendatangi di antara pohon-pohon. Cepat ia menghampiri mayat Thai Li Lama, bergidik menyaksikan bekas musuh ini, mencabut Hok-mo-kiam, kemudian melarikan diri dari tempat itu secepat mungkin, keluar dari hutan dan dilindungi kegelapan malam yang tiba, dia berhasil meninggalkan para pengejarnya.
Setelah aman dan tidak ada pengejaran lagi, Bun Beng duduk bersila di bawah pohon dalam hutan besar dekat puncak gunung, mengatur pernapasannya, mengumpulkan hawa murni dan mengerahkan sinkang-nya untuk mengobati luka di dalam dadanya yang terguncang oleh pukulan dahsyat itu. Setahun yang lalu, sebelum dia melatih sinkang di dalam lorong rahasia dari kitab yang dipelajari oleh Ketua Thian-liong-pang, kalau terkena pukulan seperti itu, tentu nyawanya telah melayang!
Demikianlah, dapat dibayangkan betapa marah hati Im-kan Seng-in Bhong Ji Kun ketika ia mendapatkan dua orang pembantunya tewas seperti itu. Di tempat itu, di mana terdapat dia sendiri dan paman gurunya, Maharya yang sakti, bersama seribu orang prajurit pasukan pengawal, dua orang pembantunva yang dipercaya dan boleh diandalkan, terutama Thai Li Lama, tewas dalam keadaan mengerikan dan tak seorang pun tahu siapa yang telah membunuh kedua orang itu! Thian Tok Lama berduka sekali akan kematian sute-nya. Akan tetapi kepada siapakah dia akan marah dan siapakah yang akan dibalas kalau tak seorang pun mengetahui siapa pembunuh sute-nya?
"Mudah saja! Pedang Hok-mo-kiam telah dirampasnya dari tangan muridku. Siapa yang memegang pedang itu, dialah yang melakukan pembunuhan-pembunuhan ini. Aku bersumpah untuk membunuh iblis terkutuk itu!" Maharya yang juga amat berduka akan kematian muridnya, terutama sekali akan terampasnya Hok-mo-kiam oleh orang lain, mengepal tinju.
"Yang dapat melakukan ini tentulah orang yang berkepandaian tinggi sekali," kata Bhong Ji Kun setelah memerintahkan anak buahnya mengurus dan mengubur kedua jenazah itu. "Tidak mungkin dilakukan oleh orang biasa, akan tetapi siapakah? Banyak tokoh kang-ouw sedang berada di sekitar tempat ini untuk menghadiri pertemuan besok pagi. Pasti seorang di antara mereka yang melakukannya."
Thian Tok Lama menggeleng kepalanya yang gundul. "Pinceng rasa bukan seorang di antara tokoh-tokoh kang-ouw. Tak mungkin mereka berani melakukan pembunuhan-pembunuhan ini karena mereka tahu bahwa Sute dan Tan-siucai adalah orang-orangnya pemerintah. Pinceng kira pembunuhnya tentulah orang-orang yang telah menentang kita di Pulau Es."
"Ahhh, wanita Pulau Neraka yang seperti setan itu?" Maharya bertanya.
Thian Tok Lama mengangguk. "Mungkin dia, mungkin pula bocah yang sekarang telah menjadi lihai bukan main itu."
"Gak Bun Beng?" Bhong Ji Kun menyambung.
Thian Tok Lama mengangguk. "Keturunan Gak Liat itu sekarang luar biasa ilmunya dan mengingat akan watak ayahnya yang liar, bisa saja dia melakukan hal-hal yang tidak lumrah."
"Hemmm, siapa tahu kalau-kalau Pendekar Siluman yang melakukan ini."
"Pendekar Siluman...?" Thian Tok Lama dan Bhong Ji Kun berseru, keduanya terkejut dan wajah mereka berubah. Mengapa mereka tadi tidak teringat akan Pendekar Super Sakti itu? Kalau dia yang datang, memang tidak perlu diherankan lagi kematian Thai Li Lama dan Tan-siucai!
"Lebih banyak kemungkinan dia sendiri yang datang dan melakukan pembunuhan-pembunuhan ini. Dan dirampasnya pedang itu menebalkan keyakinanku bahwa Pendekar Super Sakti yang datang sore tadi. Akan tetapi, harap Taijin jangan khawatir. Memang kita sedang menunggu munculnya orang-orang Pulau Es dan orang-orang Pulau Neraka, bukan? Boleh jadi Pendekar Siluman lihai sekali, akan tetapi saya pernah menandinginya, dan ternyata dia tidaklah lebih lihai dari pada saya, atau boleh dibilang tingkat kami sebanding. Kalau dibantu oleh Taijin dan Thian Tok Lama, tentu mudah saja mengalahkannya."
"Akan tetapi, Susiok (Paman Guru), bagaimana kalau dia dibantu oleh Gak Bun Beng dan oleh wanita Pulau Neraka itu?"
Maharya menggeleng kepala. "Saya rasa wanita itu adalah Ketua Pulau Neraka yang disohorkan. Antara Pulau Neraka dan Pulau Es belum pernah ada kerja sama, dan kalau dia dahulu turun tangan, sama sekali bukan untuk membantu Pulau Es, hanya karena marah bahwa daerahnya dilanggar. Andai kata dia maju pula, bersama pemuda itu, tidak perlu kita takut. Para ciangkun memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi, dan seribu orang pasukan merupakan kekuatan yang melebihi sepuluh orang Pendekar Siluman!"
Biar pun kematian Thai Li Lama dan Tan-siucai merupakan pukulan yang cukup mengejutkan, namun hati para pimpinan pasukan pemerintah ini masih besar. Malam itu tidak ada peristiwa sesuatu dan pada keesokan harinya, setelah mengirim rombongan mata-mata yang menyamar sebagai orang-orang kang-ouw, Bhong Ji Kun dan para pembantunya mengintai tanah tandus yang dijadikan tempat pertemuan itu dari atas lereng terdekat, mempergunakan teropong dan memeriksa keadaan.
Setelah semua tamu berkumpul, Tang Wi Siang yang mewakili ketuanya berkata dengan suara nyaring,
"Cu-wi sekalian yang terhormat! Pangcu kami menghaturkan selamat datang pada Cu-wi sekalian. Maksud dari undangan Pangcu kami mengumpulkan Cu-wi sekalian yang dianggap mewakili dunia kang-ouw, adalah untuk mempererat persahabatan dan untuk mendengarkan usul Pangcu yang akan disampaikan oleh Pangcu sendiri. Silakan Cu-wi mendengarkan!"
Pintu pondok di atas itu terbuka perlahan dan muncullah Ketua Thian-liong-pang yang mukanya berkerudung. Melihat wanita itu, semua orang memandang dan mereka yang pernah diculik dan pernah berhadapan dengan ketua itu, memandang dengan muka merah masih merasa penasaran akan tetapi juga dengan hati jeri karena mereka tahu akan kelihaian wanita itu.
Ada pun mereka yang belum pernah bertemu dengan tokoh ini, memandang dengan hati penuh kengerian karena mereka hanya mendengar bahwa Ketua Thian-liong-pang memiliki ilmu kepandaian yang tidak lumrah manusia, sedangkan orangnya pun begitu menyeramkan, mukanya dikerudung sehingga semua orang ingin melihat bagaimana wajah yang bersembunyi di balik kerudung itu. Sudah tuakah? Ah, tak mungkin, tubuh wanita itu biar pun tersembunyi di balik pakaian yang longgar, jelas bukan tubuh seorang wanita tua! Dan tangan yang tersembul dari balik lengan baju itu berkulit halus, berjari kecil meruncing dengan kuku yang kemerahan, terpelihara baik-baik! Sepasang mata yang memandang dari balik lubang kerudung penutup muka itulah yang menimbulkan rasa seram dan menundukkan hati orang, begitu terang, begitu tajam dan penuh wibawa, mata seorang manusia yang agaknya tidak mengenal bantahan!
Nirahai, wanita berkerudung Ketua Thian-liong-pang itu, sejenak berdiri memandang sekeliling dan dengan pandang mata cepat ia menyapu tokoh yang hadir, mengenal mereka dan dapat menduga dari partai dan perkumpulan mana mereka itu. Dia merasa kecewa bukan main ketika tidak melihat adanya rombongan Pulau Neraka dan Pulau Es! Benar-benar menggemaskan, pikirnya. Mengapa Suma Han tidak muncul? Dan di mana adanya tokoh-tokoh Pulau Neraka? Tanpa mengalahkan keduanya itu, nama Thian-liong-pang takkan terangkat naik!
Tiba-tiba ia melihat rombongan terdiri dari belasan orang yang tak dapat ia duga dari partai atau golongan mana. Matanya mengeluarkan sinar penuh kecurigaan, akan tetapi dia tidak menyatakan sesuatu, hanya mulai dengan bicaranya yang singkat, halus merdu namun terdengar sampai jauh karena ia keluarkan dengan pengerahan khikang yang luar biasa kuatnya.
"Cu-wi sekalian! Untuk mempersatukan dunia kang-ouw, kita harus menentukan perkumpulan mana yang patut menjadi perkumpulan induk, dan tokoh mana yang patut dijadikan pemimpin yang dapat disebut Bengcu (pemimpin rakyat). Kami setelah mempelajari dan meneliti keadaan, minta Cu-wi sekalian suka mengakui Thian-liong-pang sebagai perkumpulan induk, dan aku sendiri menjadi Bengcu, kecuali kalau ada di antara Cu-wi yang dapat membuktikan bahwa ada orang yang lebih patut menjadi Bengcu dari pada aku. Kalau ada di antara Cu-wi yang tidak setuju, boleh maju!"
Bukan main takaburnya ucapan Ketua Thian-liong-pang ini sehingga semua orang memandang dengan alis berkerut dan merasa tidak setuju, sungguh pun tidak ada yang berani membantah dengan keras. Hanya terdengar suara-suara kontra, dan dari golongan para hwesio dan tosu terdengarlah ucapan-ucapan,
"Omitohud..."
"Siancai...!"
Nirahai bukanlah seorang bodoh, kalau dia tadi mengeluarkan ucapan itu memang dia sengaja untuk memancing sikap menentang sehingga orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi akan bangkit dan menentangnya. Setelah bertahun-tahun dia menggembleng diri, bahkan tidak segan-segan mencuri ilmu-ilmu dari lain partai, dia menganggap bahwa tidak akan ada orang lagi yang dapat menandinginya, dan satu-satunya yang dia anggap merupakan lawan berat kiranya hanyalah Suma Han dan Ketua Pulau Neraka yang belum pernah dia jumpai.
"Cu-wi, negara telah aman, pemerintah tidak menghendaki pertentangan. Karena itu, kalau kita orang-orang dunia kang-ouw tidak bersatu dan tidak mempunyai seorang pemimpin yang mempersatukan kita, bagaimana kita semua dapat menghadapi urusan-urusan besar? Tanpa pemimpin selalu hanya akan timbul pertentangan-pertentangan di antara kita sendiri yang mengakibatkan kehancuran dan kelemahan, juga menimbulkan banyak korban. Karena itu, lebih baik sekarang kita berhadapan secara gagah, memilih seorang Bengcu yang tepat dan korban-korban dalam perebutan dan pemilihan ini tidak akan banyak, juga yang kalah dan tewas, mati sebagai seorang gagah. Aku sudah bicara, terserah kepada Cu-wi bagaimana menghadapinya!"
Setelah berkata demikian Nirahai mengibaskan lengannya dan memasuki pondok. Pintu pondok segera ditutup lagi.
"Ibu, mengapa Ibu melakukan semua ini?" Di dalam pondok itu, Milana berbisik kepada Ibunya. Nirahai melepas kerudung dan menghapus keringat dari muka dan lehernya. Puterinya memandang wajah ibunya yang cantik itu berselimut awan kesengsaraan batin.
"Untuk memancing datangnya Majikan Pulau Es dan Pulau Neraka," jawabnya pendek, lalu mengenakan kerudung kepalanya lagi.
Milana menghela napas. Hening sejenak dan dara itu berbisik. "Ibu... begitu... begitu bencikah Ibu kepada Ayah...?"
Mata di balik kerudung itu memancarkan api. "Benci? Tidak ada orang lain yang lebih kubenci di dunia ini!"
Milana merasa jantungnya tertusuk dan ia menunduk. Kembali keadaan hening dan tiba-tiba Milana mengangkat mukanya ketika mendengar isak tertahan. Ibunya telah terisak menangis! Milana terharu, menggerakkan tangan menyentuh tangan ibunya dan berbisik lagi
"Ibu... sangat cintakah kepada Ayah...?"
Nirahai memejamkan matanya dan mengangguk. Milana mengerti, keduanya diam dan mencurahkan perhatian keluar pondok. Dari celah-celah dinding pondok mereka dapat melihat seorang hwesio tinggi kurus dari rombongan Siauw-lim-pai melangkah maju dan berkata nyaring sambil memandang pondok di atas.
"Thian-liong-pangcu! Pinceng menerima tugas dari Ketua kami untuk menyampaikan penyesalan Siauw-lim-pai akan sepak terjang Thian-liong-pang selama ini yang melakukan penculikan-penculikan terhadap tokoh-tokoh kang-ouw. Siauw-lim-pai tidak mau ikut-ikut dalam soal pemilihan Bengcu, dan tak akan mengakui Bengcu mana pun juga karena Siauw-lim-pai tidak mau mengikatkan diri, juga tidak ingin menanam permusuhan. Hanya menjadi kewajiban Siauw-lim-pai untuk menegur perkumpulan yang bertindak sewenang-wenang. Jika teguran Siauw-lim-pai ini tidak menyenangkan hati Pangcu, pinceng sebagai wakil Siauw-lim-pai siap bertanggung jawab!"
Setelah hwesio tinggi kurus itu mundur, majulah seorang tosu berambut putih dari rombongan Hoa-san, dan dia pun berteriak nyaring.
"Pinto mewakili Hoa-san-pai, juga memprotes penculikan atas diri sute kami Bhong Tek-cu yang dilakukan oleh Thian-liong-pang, dan pinto mewakili Hoa-san-pai untuk minta Thian-liong-pangcu mempertangung jawabkan perbuatan itu sekarang! Tentang pemilihan Bengcu, Hoa-san-pai tidak akan mencampurinya!"
Setelah melihat majunya wakil-wakil partai besar seperti Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai, besarlah hati para tokoh kang-ouw, dan berturut-turut majulah Ang-lo-jin Ketua Bu-tong-pai yang berkata, "Saya sebagai ketua Bu-tong-pai merasa terhina atas perlakuan Thian-liong-pang yang lalu, maka saya minta pertanggungan jawab Thian-liong-pangcu di tempat terbuka ini!" Dan dengan alasan yang sama pula majulah wakil-wakil dari Sin-to-pang, Lam-hai-pang, dan Pek-eng-pai.
Melihat perkembangan ini, Tang Wi Siang merasa gelisah juga dan beberapa kali dia memandang ke atas seolah-olah mengharapkan ketuanya turun tangan. Tak lama kemudian terdengar suara Ketua Thian-liong-pang.
"Wi Siang, sebutkan wakil-wakil dari mana saja yang minta pertanggungan jawabku?"
Dengan suara gemetar karena tidak mengira akan demikian banyaknya partai yang menentang ketuanya, Tang Wi Siang menjawab, "Dari Siauw-lim-pai, Hoa-san-pai, Bu-tong-pai, Lam-hai-pang, Sin-to-pang dan Pek-eng-pai, semua enam partai!"
Tiba-tiba pintu pondok terbuka dan muncullah Ketua Thian-liong-pang. "Hanya enam partai saja? Ataukah masih ada lagi? Harap Cu-wi yang ingin mencoba kepandaianku, tidak malu-malu, nyatakan saja terus terang!"
Setelah tidak ada yang menjawab, Nirahai berkata, "Para wakil dari enam partai yang minta pertanggungan jawab, persilakan maju!"
Dari Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai masing-masing maju seorang hwesio dan seorang tosu, dari Bu-tong-pai majulah Ang Siok Bi dan seorang suheng-nya, murid dari ayahnya, sedangkan dari Sin-to-pang, Lam-hai-pang, dan Pek-eng-pai, masing-masing maju tiga orang wakil yang merupakan murid-murid kepala. Ang-lojin tidak maju sendiri karena dia merasa malu hati dan tidak enak kalau sebagai ketua dia harus maju sendiri. Dengan demikian, wakil dari enam partai itu berjumlah tiga belas orang, murid-murid kepala dari partai-partai yang tentu saja memiliki ilmu kepandaian yang tinggi.
"Bagus! Kulihat Cu-wi yang mewakili partai yang minta pertanggungan jawabku, ada tiga belas orang telah berkumpul. Dan untuk membuktikan bahwa aku sebagai calon Bengcu mempunyai tanggung jawab dan kepandaian untuk memimpin Cu-wi sekalian, aku akan menghadapi Cu-wi sekaligus. Bersiaplah, aku akan mengalahkan Cu-wi!" Setelah berkata demikian tampak tubuh wanita berkerudung itu melayang dari atas pondok yang tinggi itu bagaikan seekor burung garuda, langsung meluncur ke arah tiga belas orang itu.
Mereka ini sudah siap dan tampak sinar senjata berkilauan ketika mereka mencabut senjata mereka. Namun Nirahai tidak menghunus pedangnya yang masih tergantung di punggungnya, tubuhnya terus meluncur, bagaikan seekor burung walet menyambar ke arah mereka. Tiga belas orang itu menggerakkan senjata masing-masing menyambut bayangan tubuh yang menyambar-nyambar itu, demikian cepat gerakan wanita ini sehingga sukar diikuti pandangan mata.
Tampak bayangan tubuhnya berkelebat di antara sinar senjata itu dan terdengarlah bunyi berkerontangan, senjata-senjata terpental dan ketiga belas orang mengeluarkan teriakan kaget disusul robohnya tubuh mereka seorang demi seorang, cepat sekali sampai ketiga belas orang itu semua terpelanting roboh! Tubuh wanita berkerudung itu berdiri di tengah tengah, antara mereka yang roboh ke kanan kiri, ada yang terlentang, ada yang menelungkup, ada yang miring.
Tiga belas orang itu terkejut bukan main, demikian pula mereka yang menyaksikan kehebatan wanita berkerudung itu, hampir mereka tak dapat percaya betapa dengan tangan kosong, wanita berkerudung itu benar-benar telah mengalahkan mereka dan hebatnya mereka tidak terluka hebat, hanya roboh oleh dorongan-dorongan tenaga sinkang yang amat kuat dan didahului kecepatan yang tidak tampak oleh mata mereka!
Ang Siok Bi yang tadinya merasa penasaran karena ayahnya pernah diculik kini bangkit bersama yang lain-lain, memandang wanita berkerudung itu dengan muka pucat dan diam-diam mereka semua mengakui bahwa kalau wanita itu menghendaki, kalau wanita itu menggunakan senjata atau melakukan pukulan yang berat, tentu mereka roboh untuk tidak bangkit kembali!
"Nah, Cu-wi sudah menyaksikan bahwa aku telah berani mempertanggung jawabkan semua perbuatanku dan sepak terjang Thian-liong-pang. Ketahuilah bahwa semua tokoh yang pernah menjadi tamu kami tidak ada yang diganggu, mengapa Cu-wi merasa penasaran? Sekarang, menggunakan kesempatan ini, aku mengajak siapa saja di antara Cu-wi yang masih penasaran untuk menguji kepandaian, terutama sekali kutujukan kepada Majikan Pulau Neraka dan Majikan Pulau Es!"
Tantangan ini tidak ada yang berani menjawab, dan mereka semua saling pandang, mencari ke kanan kiri mengharapkan munculnya dua jago yang selama ini namanya menggemparkan dunia kang-ouw, yaitu Ketua Pulau Neraka yang tak pernah ada yang melihatnya, dan Pendekar Super Sakti, Majikan Pulau Es. Namun, tidak tampak mata hidung kedua orang tokoh itu, bahkan tidak tampak seorang pun tokoh dari kedua pulau itu.
Keadaan menjadi sunyi, semua orang masih seperti terpesona, menyaksikan kelihaian Ketua Thian-liong-pang, sedangkan tiga belas orang yang kalah tadi mengambil senjata masing-masing dan kembali ke kelompok mereka, tidak ada yang berani melawan lagi karena masing-masing maklum bahwa mereka bukanlah tandingan wanita berkerudung yang hebat bukan main itu.
Tiba-tiba terdengar suara tertawa dari rombongan orang yang tak dikenal Nirahai yaitu rombongan dari lima belas orang yang tadi dicurigainya. "Ha-ha-ha! Pulau Es sudah terbasmi, sedangkan Pulau Neraka pun penghuninya sudah melarikan diri semua, bukankah Ketua Thian-liong-pang sama dengan menantang angin kosong?"
Lima belas orang itu adalah mata-mata yang dikirim oleh Bhong Ji Kun. Mereka terdiri dari panglima-panglima yang berkepandaian tinggi, dan yang setelah tiba di situ sekarang berkumpul menjadi sekelompok. Hati mereka besar dan mereka berani bicara karena mengandalkan pasukan yang berada di sekeliling tempat itu. Pula, mereka sengaja mengeluarkan kata-kata menghina kedua pulau itu untuk memancing keluarnya tokoh-tokoh mereka seperti yang dikehendaki oleh Koksu.
Nirahai memutar tubuhnya menghadapi rombongan itu, kemudian sekali kakinya tampak bergerak, tubuhnya sudah mencelat ke depan mereka, mata di balik kerudung itu menyambar-nyambar tajam.
"Kalian siapakah? Dari golongan dan partai apa?" tanyanya tiba-tiba, suaranya dingin.
Seorang di antara mereka yang tinggi besar dan brewok, agaknya merasa tidak senang menyaksikan sikap Ketua Thian-liong-pang itu, maka dia menjawab sambil mengangkat dada, suaranya tegas dan nyaring, "Kami adalah orang-orang kang-ouw perantau yang tertarik mendengar pertemuan ini dan ingin melihat-lihat. Apakah hal ini dilarang?"
"Hemmm! Memang undangan kami ditujukan kepada semua orang kang-ouw, tentu saja tidak ada yang melarang orang menonton. Akan tetapi kalian telah berani menghina Pulau Neraka dan Pulau Es, agaknya kalian memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari pada mereka! Aku akan suka sekali mencoba dan melayani kepandaian kalian yang telah berani bicara besar di sini."
Lima belas orang itu adalah panglima-panglima yang biasanya membagi perintah dan dihormati serta ditaati anak buah mereka. Kini menghadapi sikap Ketua Thian-liong-pang, mereka menjadi marah sekali. Tidak biasa mereka diperlakukan seperti itu oleh siapa pun juga!
"Heiii! Thian-liong-pangcu! Kalau kami menghina Pulau Es dan Pulau Neraka, apa hubungannya itu dengan Thian-liong-pang? Mereka adalah pemberontak-pemberontak yang berani melawan pemerintah, maka dihancurkan dan dibasmi! Kami rasa Thian-liong-pang tidaklah seperti iblis-iblis Pulau Neraka dan... augghhhh...!"
Tiga orang anggota rombongan itu yang berdiri paling depan roboh dan tewas seketika terkena sambaran sinar hitam yang tiba-tiba saja melayang ke arah si pembicara dan dua orang temannya.
"Thian-liong-pangcu! Engkau berani membunuh orang-orang pemerintah?" Tiba-tiba terdengar bentakan dan Thian Tok Lama telah berada di situ!
Nirahai cepat membalikkan tubuh dan....
"Srattttttt!" Dia telah mencabut pedangnya, akan tetapi dia tidak memandang Thian Tok Lama, melainkan memandang ke atas tanah yang bergoyang-goyang aneh! Dia tahu bahwa yang menyambar dan menewaskan tiga orang tadi adalah gumpalan-gumpalan tanah yang disambitkan dengan tenaga dahsyat sekali!
Tanpa menoleh ke arah Thian Tok Lama, dia lalu berkata, "Thian Tok Lama, kiranya mereka ini adalah mata-mata pemerintah yang sengaja engkau kirim untuk melakukan penyelidikan?" Suaranya dingin sekali akan tetapi matanya masih ditujukan ke atas tanah yang bergoyang-goyang aneh.
Thian Tok Lama terkejut bukan main. Benar-benar seorang yang aneh sekali Ketua Thian-liong-pang ini, sebab selain kepandaiannya tinggi, ternyata begitu bertemu telah mengenalnya!
"Benar!" jawabnya. "Akan tetapi mereka dan kami bertugas untuk menyelidiki orang-orang Pulau Es dan Pulau Neraka, kalau mereka datang ke sini. Kiranya tiga orang penyelidik kami malah kau bunuh!"
Tiba-tiba terdengar ledakan keras. Tanah yang bergoyang tadi pecah seperti meletus dan tampak debu dan uap mengepul tinggi. Tanah itu terbuka dan tampak... sebuah peti mati yang perlahan-lahan terbuka dan dari dalam peti mati itu bangkit sesosok mayat yang seperti baru saja hidup kembali. Tubuh seorang kakek tua renta, berkepala botak, bertubuh kurus dan dalam keadaan... telanjang bulat! Mukanya pucat, persis muka mayat yang tidak mempunyai darah sama sekali.
Jangankan para tokoh yang berada di situ, sedangkan Nirahai sendiri, bahkan Thian Tok Lama, berdiri terpukau di tempatnya, memandang dengan mata terbelalak.
'Mayat hidup' itu batuk-batuk lalu bangkit berdiri, telanjang seperti bayi, lalu meloncat keluar dari dalam peti mati. "Uhk-uhk-uhkkk... anak-anak kecil berani menghina Pulau Neraka. Akulah orang Pulau Neraka dan yang membunuh tiga orang itu, heh-heh... malah semua yang berani menghina Pulau Neraka akan kubunuh."
Tiba-tiba saja mayat hidup yang kelihatan lemah, kurus kering itu 'terbang' ke arah rombongan panglima yang tinggal sepuluh orang lagi. Kelihatannya seperti terbang karena gerakannya luar biasa sekali cepatnya, seolah-olah kedua kakinya tidak menginjak tanah. Melihat ginkang sehebat itu, Nirahai sendiri sampai terbelalak, dan Thian Tok Lama berkemak-kemik membaca doa dalam bahasa Tibet karena dia menyangka bahwa mayat hidup itu benar-benar siluman yang muncul dari bawah tanah!
Bukan main cepatnya kejadian itu, sekali sambar, mayat hidup itu telah merangkul empat orang panglima. Tangannya bergerak, mulutnya menyeringai dan... dijambaknya rambut kepala mereka itu seorang demi seorang, diputarnya dan ditarik sehingga... kepala itu coplok, lehernya putus, darah menyembur keluar. Tiga orang lainnya hanya melongo dan pucat, seolah-olah tak mampu bergerak dalam rangkulan mayat hidup itu, sehingga seorang demi seorang putuslah lehernya.
Mayat mereka dilempar-lemparkan oleh Si Mayat Hidup yang sudah bergerak maju lagi ke arah sisa para panglima. Enam orang panglima sudah mendapatkan kembali kesadarannya, maklum akan datangnya bahaya mengancam, maka mereka itu sudah menghunus pedang atau golok masing-masing. Melihat Si Mayat Hidup menerjang maju, enam orang panglima ini membacok dan menusuk. Si Mayat Hidup sama sekali tidak mempedulikan dan enam batang senjata datang menghantamnya seperti hujan.
"Tak-tok... bak-buk...!" Senjata-senjata itu mengenai tubuh, akan tetapi semua terpental seperti mengenai tubuh dari karet yang ulet, kenyal dan keras! Kembali empat orang telah dirangkul, 'dicopot' kepala mereka dari badan dan mayat mereka dilemparkan. Darah membanjir ke mana-mana, dan tubuh serta muka kakek itu telah berlumuran darah segar! Melihat ini, dua orang panglima sisa yang sepuluh orang tadi, membuang senjata mereka dan hendak lari.
"Heh-heh, anak-anak nakal, hendak lari ke mana? Ke sinilah bersama Kakek!" Mayat hidup itu berkata, dan tangan kanannya menggapai ke arah dua orang panglima yang sedang lari dan... sungguh aneh, dua orang itu biar pun kelihatan masih menggerakkan kedua kaki untuk lari, namun mereka bukannya maju ke depan melainkan... mundur ke belakang seolah-olah ada tenaga ajaib yang menarik dan membetotnya ke arah mayat hidup itu!
Akan tetapi, sebelum dua orang itu sampai terpegang, Thian Tok Lama telah meloncat ke depan dan sudah memasang kuda-kuda setengah berjongkok, perutnya berbunyi dan tangan kanannya berubah biru. Kemudian, dengan pengerahan tenaga sinkang, dia memukul ke arah punggung mayat hidup itu.
"Dessss!"
Mayat hidup itu terlempar sampai tiga meter, akan tetapi tidak roboh dan membalikkan tubuh, mulutnya menyeringai sedangkan Thian Tok Lama terkejut bukan main. Dia seolah-olah memukul benda kering yang hanya terlempar, akan tetapi tenaganya tidak dapat menembus tubuh itu!
"Heh-heh-heh!" Mayat hidup itu melihat awan hitam yang keluar dari tangan Thian Tok Lama yang memukul tadi. "Itukah Hek-in-hwi-hong-ciang? Eh, Gundul, kepandaianmu lumayan juga!"
Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan tubuh Nirahai telah berhadapan dengan mayat hidup itu. Ia membentak sambil menodongkan pedangnya. "Orang tua, apakah benar engkau dari Pulau Neraka? Apakah engkau Ketua Pulau Neraka?" Bertanya demikian, Nirahai mengkirik ngeri, bukan karena gentar menyaksikan kelihaian mayat hidup itu, namun dia merasa jijik berhadapan dengan seorang laki-laki yang telanjang bulat, biar pun laki-laki itu seorang kakek.
Mayat hidup itu menyeringai lebar, menggaruk-garuk punggungnya seolah-olah pukulan dahsyat tadi hanya menimbulkan rasa gatal. "Banyak orang pandai sekarang! Aku bukan ketua apa-apa, akan tetapi akulah orang yang paling tua di Pulau Neraka. Aku adalah Cui-beng Koai-ong (Raja Aneh Pengejar Roh)!"
"Cui-beng Koai-ong, aku Thian-liong-pangcu sekarang menantangmu untuk mengadu kepandaian. Jagalah seranganku!"
Nirahai yang merasa penasaran sudah menggerakkan pedangnya, menusuk ke arah dada mayat hidup itu. Akan tetapi betapa kagetnya ketika melihat bahwa mayat hidup yang kini dia percaya adalah seorang kakek yang masih hidup itu sama sekali tidak mengelak.
"Crokkkk!" Pedang yang mengenai dada itu menempel dan tidak dapat menancap, dan dengan gerakan yang cepat serta aneh sekali tangan kakek itu sudah meraih hendak menangkap pergelangan tangan Nirahai.
"Aiiihhhh!" Nirahai menarik pedangnya dan cepat meloncat ke samping, lalu mengirim serangan lagi, memilih bagian yang lemah, yaitu leher kakek itu. Kembali Si Kakek Aneh tidak menangkis, membiarkan pedang membacok lehernya sambil tangannya mencengkeram ke arah lambung Nirahai!
"Plakk!" Pedang itu kembali tidak dapat menembus kulit leher dan hampir saja lambung Nirahai kena dicengkeram kalau saja dia tidak cepat mengelak dengan gerakan yang amat cepat.
"Hayaaaa...! Kau pun hebat, Ketua Thian-liong-pang!" Kakek itu terkekeh memuji.
Tiba-tiba terdengar sorak sorai dan pasukan yang dipimpin oleh Bhong Ji Kun telah datang menyerbu! Dari teropongnya Bhong Ji Kun menyaksikan betapa orang-orangnya tewas secara mengerikan. Maklum bahwa tentu terjadi sesuatu yang hebat, dia lalu mengerahkan pasukannya menyerbu, sedangkan dia sendiri bersama Maharya lari mendahului untuk membantu Thian Tok Lama yang sudah ia suruh turun terlebih dahulu tadi.
Melihat ini, para tokoh kang-ouw yang tidak ingin terlibat dalam pertentangan dengan pemerintah lalu mengundurkan diri dan pergi dari tempat itu. Ada pun para anak buah Thian-liong-pang yang mengira bahwa pasukan-pasukan itu hendak menyerbu mereka sudah menyambut dan terjadilah perang tanding di mana banyak sekali pasukan roboh dan tewas menghadapi tokoh-tokoh Thian-liong-pang yang amat lihai itu.
"Dia telah membunuh orang-orang kita!" Thian Tok Lama menuding ke arah kakek telanjang yang masih bertanding melawan Nirahai.
Untung bahwa Ketua Thian-liong-pang ini memiliki kegesitan yang luar biasa sehingga cengkeraman-cengkeraman dan pukulan-pukulan Cui-beng Koai-ong selalu mengenai angin kosong belaka, akan tetapi semua bacokan Nirahai tiada gunanya, tidak dapat melukai tubuh kurus kering yang kebal itu. Nirahai menjadi makin penasaran dan tidak mau mengalah begitu saja. Kini pedangnya berubah menjadi sinar yang bergulung-gulung, sebagian melindungi tubuhnya, sebagian lagi melakukan serangan-serangan kilat yang semua ditujukan ke arah sepasang mata kakek telanjang.
"Hehhh, kau lihai...!" Cui-beng Koai-ong berseru dan kini dialah yang harus menangkis sinar pedang yang bergulung-gulung itu dengan kedua tangannya. Betapa pun kebal tubuhnya, tak mungkin dia melatih mata menjadi kebal! Maka tentu saja dia tidak ingin matanya dicokel keluar oleh ujung pedang lawan. Begitu kakek ini mengeluarkan seruan memuji yang menyembunyikan kemarahannya, tubuhnya bergerak cepat dan angin berdesir-desir menyambar keluar dari kedua tangannya.
Nirahai diam-diam terkejut dan harus mengakui bahwa selama hidupnya, baru sekali ini dia berhadapan dengan lawan yang memiliki ilmu kesaktian seperti kakek itu. Maka dia berlaku hati-hati sekali dan mengandalkan ginkang-nya untuk selalu menghindarkan diri, mengerahkan sinkang-nya untuk melawan sambaran angin pukulan dahsyat itu.
Ketika Bhong Ji Kun dan Maharya mendengar bahwa kakek telanjang itu adalah orang dari Pulau Neraka yang telah membunuh para panglima, mereka lalu menerjang maju, mengeroyok Cui-beng Koai-ong! Bhong Ji Kun menggunakan pecutnya yang langsung menyambar-nyambar ganas, berusaha menangkap tubuh dan terutama kedua tangan kaki kakek telanjang dengan ujung pecut. Maharya sudah mengeluarkan senjata bulan sabitnya dan menyerang hebat, meniru taktik Nirahai menyerang ke arah kedua mata, sedangkan Thian Tok Lama tetap mempergunakan Ilmu Pukulan Hek-in-hwi-hong-ciang yang biar pun tidak dapat melukai lawan, namun sedikitnya pukulan ini dapat membuat lawan terlempar. Dan setelah dia mengerahkan pukulan-pukulannya ke arah pusar, Cui-beng Koai-ong ternyata tak berani sembarangan menerima pukulan ampuh itu.
Dikeroyok empat orang yang demikian saktinya, betapa pun lihai, Cui-beng Koai-ong kewalahan juga, akan tetapi dia tertawa-tawa, "Heh-heh-heh, banyak orang hebat!"
Maharya yang menyaksikan kehebatan kakek telanjang itu menjadi penasaran dan ia membentak, "Manusia telanjang tak tahu malu! Lihat aku siapa!"
"Heh-heh, kau orang berkulit hitam berhidung seperti kakatua, heh-heh!" Cui-beng Koai-ong dengan berani memandang muka dan menentang mata Maharya.
"Engkau merasa kakimu lumpuh, rebahlah!"
"Heh-heh-heh, otakmu miring, ya?"
Maharya kaget setengah mati ketika merasa betapa ilmu sihirnya sama sekali tidak mempan terhadap mayat hidup itu dan merasa betapa getaran ilmu sihirnya membalik, seolah-olah terbentur pada benteng yang aneh dan kuat!
Cui-beng Koai-ong terdesak hebat. Anehnya, kalau Ketua Thian-liong-pang bekerja sama dengan pimpinan pemerintah menghadapi kakek ini, adalah orang-orang Thian-liong-pang sendiri bertempur melawan pasukan yang dipimpin oleh para panglima! Betapa pun lihai orang-orang Thian-liong-pang, dikeroyok ratusan orang pasukan itu, mereka mandi keringat dan terdesak.
Tiba-tiba dari atas gubuk melayang turun Milana yang terus mengamuk. Hebat tentu saja gerakan dara ini dan sebentar saja belasan orang anak buah pasukan berikut dua orang panglima roboh oleh sambaran pedangnya. Pertandingan makin hebat dan kacau balau.
"Aku ikut...! Ha-ha-ha, Twa-suheng, aku ikut, jangan borong sendiri ahhh!" Tiba-tiba muncul seorang kakek berkaki telanjang yang mukanya lucu, berwarna kuning. Dia ini bukan lain adalah Kwi-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek, tokoh Pulau Nereka yang suka merantau. Begitu masuk, dia lalu secara ngawur menerjang, membantu twa-suheng-nya dan disambut oleh Thian Tok Lama.
Pendeta Lama ini maklum bahwa orang yang menjadi sute dari mayat hidup tentu lihai sekali, maka datang-datang dia memapakinya dengan pukulan Hek-in-hwi-hong-ciang yang mengeluarkan uap hitam!
"Wah berbahaya..." Kwi-bun Lo-mo tertawa, cepat mengelak dan menggunakan ilmu memindahkan tenaga. Sambil mengelak dia menghantam dari samping, seolah-olah memindahkan atau memutar tenaga lawan untuk menghantam pemiliknya sendiri, ditambah tenaganya sendiri.
"Omitohud...!" Thian Tok Lama sempat menarik kembali tangannya dan mencelat mundur, kalau tidak tentu lengannya akan patah oleh tenaga dahsyat, campuran dari tenaganya sendiri yang meliuk ditambah tenaga lawan baru ini.
Kwi-bun Lo-mo tertawa-tawa, akan tetapi dia segera menjadi sibuk sekali setelah Thian Tok Lama menjalankan pukulan. Memang tingkatnya masih kalah oleh pendeta Lama itu, hanya karena kakek ini memang mempunyai banyak ilmu aneh, maka dia masih mampu mempertahankan dirinya.
"Wah-wah-wah, ada pesta besar! Sam-te engkau tak akan menang melawan Si Gundul itu. Berikan kepadaku!" Tiba-tiba muncul seorang kakek lagi yang mukanya pucat seperti muka Si Mayat Hidup, akan tetapi begitu dia datang dan menangkis pukulan Thian Tok Lama, pendeta Lama ini terjengkang dan terhuyung-huyung ke belakang.
Melihat ini, Maharya cepat menubruk maju dan menghadapi kakek yang baru tiba ini. Kakek ini bentuk tubuh dan mukanya serupa benar dengan Kwi-bun Lo-mo, akan tetapi mukanya selalu tertawa, matanya lebar sekali dan rambutnya riap-riapan.
"Tua bangka gila, siapa kau?" Maharya membentak sambil melintangkan senjatanya bulan sabit.
"Ha-ha-ha-ha! Aku siapa dan engkau siapa? Tak tahulah aku perbedaannya, kecuali bahwa engkau jangkung dan aku pendek, bahwa namamu Maharya dan aku disebut Bu-tek Siauw-jin (Orang Rendah), tidak seperti kau yang tinggi. Ha-ha-ha!" Kakek itu tertawa-tawa.
Dia adalah orang aneh dari Pulau Neraka yang baru sekarang ini muncul, seperti halnya Cui-beng Koai-ong. Dia adalah sute dari Si Mayat Hidup, dan ji-suheng (kakak seperguruan kedua) dari Kwi-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek. Ilmu kepandaian Bu-tek Siauw-jin ini luar biasa sekali, bahkan twa-suheng-nya sendiri segan menghadapi sute-nya ini yang biar pun tingkatnya masih kalah sedikit, namun ditutup oleh aneka macam kepandaian ilmu aneh-aneh yang dimilikinya. Sifatnya seperti Ngo Bouw Ek Si Muka Kuning, akan tetapi dia jauh lebih lihai!
Kini pasukan pemerintah mulai mengeroyok orang aneh ini, membantu pimpinan mereka yang benar-benar baru sekali ini menghadapi lawan berat. Biar pun pasukan itu seperti sekumpulan nyamuk melawan api menghadapi orang-orang aneh Pulau Neraka, namun jumlah mereka yang banyak membuat Cui-beng Koai-ong dan kedua orang sute-nya kewalahan juga, apa lagi lawan-lawan mereka juga bukanlah orang-orang sembarangan. Cui-beng Koai-ong dikeroyok dua oleh Nirahai dan Bhong Ji Kun, keadaan mereka seimbang, Ngo Bouw Ek kewalahan melawan Thian Tok Lama yang lebih lihai, sedangkan Bu-tek Siauw-jin mendapat lawan yang tangguh dalam diri Maharya. Kalau mereka masih diganggu oleh ratusan orang pasukan, tentu saja mereka menjadi repot juga!
"Aihhh, Sucouw mengapa nekat membentur kekuatan yang jauh lebih besar? Sucouw nakal sekali, tidak menurut omongan teecu!" Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan muncullah seorang pemuda tampan.
Melihat munculnya seorang pemuda tampan yang dengan tenang berjalan menuju ke medan pertandingan antara orang-orang sakti itu, beberapa orang prajurit segera mengepungnya. Akan tetapi pemuda ini melangkah terus seolah-olah tidak melihat atau tidak mempedulikan mereka, matanya tetap memandang ke arah Cui-beng Koai-ong yang sedang repot dikeroyok dua oleh Ketua Thian-liong-pang dan Bhong Ji Kun.
Menyaksikan sikap yang angkuh ini, para prajurit menjadi marah dan berbareng mereka menerjang maju. Enam orang banyaknya yang mengepung pemuda itu menggerakkan senjata, menyerangnya dari enam penjuru.
"Singggg... sratttt!" Tampak sinar kilat berkelebat menyilaukan mata dan... enam orang itu dengan pinggang hampir putus terbabat pedang yang menjadi sinar kilat tadi. Kini tampak pemuda itu dengan mata masih memandang Cui-beng Koai-ong, memasukkan kembali pedangnya yang bersinar kilat, melanjutkan langkah seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa. Para prajurit lainnya memandang dengan mata terbelalak penuh kemarahan akan tetapi juga gentar!
Pada saat itu, terdengar bentakan nyaring Thian Tok Lama dan sekali ini dia berhasil memukul lawannya. Kwi-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek, tokoh Pulau Neraka yang bermuka kuning, yang semenjak tadi memang sudah terdesak biar pun dia masih tertawa-tawa, sekali ini tidak dapat mengelak atau manangkis, bahkan tidak sempat menggunakan ilmu memindahkan tenaga, dadanya terpukul Hek-in-hwi-hong-ciang hingga tubuhnya terpental, bergulingan dan dari mulutnya terpancur darah segar.
"Eh, Sam-te, kau terluka?" Bu-tek Siauw-jin yang melihat ini loncat mendekat, langsung menghampiri dan tidak mempedulikan lagi Maharya yang mengejarnya.
"Heh-heh-heh, ji-suheng, aku... aku hendak pamit... mendahuluimu..." Kwi-bun Lo-mo terengah-engah, akan tetapi masih tersenyum lebar.
"Wuuuttt!" Senjata bulan sabit di tangan Maharya menyambar dan cepat sekali Bu-tek Siauw-jin menggulingkan diri, mengelak lalu melanjutkan pembicaraannya dengan Kwi-bun Lo-mo yang sudah menggeletak dengan napas empas-empis.
"Wah, kau licik, mau pergi dulu, membiarkan aku Si Tua Bangka melanjutkan hukuman di dunia, ya?"
"Heh-heh, Ji-suheng. Kau... kau pesan apa...?"
"Pesan tempat! Kau pesankan untukku satu tempat yang baik, ya?" Kembali Bu-tek Siauw-jin mengelak dan balas dengan sodokan tangan ke arah perut Maharya yang membuat Maharya cepat meloncat ke belakang.
"Di dalam neraka, mana ada tempat yang baik? Heh-heh... akan kupesankan untukmu, Ji-suheng... dekat aku..., heh-heh-heh..." Dan terputuslah kata-kata kakek muka kuning yang jenaka itu, berbareng dengan nyawanya yang melayang.
"Aihhhh... Sam-sute, jangan lupa lho...!" Pada saat itu, Maharya sudah menerjang lagi, marah bukan main melihat betapa lawannya melayaninya sambil omong-omong seenaknya dengan orang lain yang mau mati!
"Siuuuutttt... wessss...!" Senjatanya menyambar dan tiba-tiba tubuh pendek itu lenyap dan ketika ia berdongak, dari atas menyambar sebuah benda hitam yang segera meledak ketika menyentuh tanah di dekat Maharya!
Maharya sudah cepat meloncat, akan tetapi betisnya masih terkena api yang panas sekali, membuat dia makin marah. Akan tetapi, sambil tertawa-tawa Bu-tek Siauw-jin sudah menaburi jenazah Kwi-bun Lo-mo dengan obat bubuk putih, kemudian meledakkan senjata rahasia dan... jenazah itu terbakar, menyala-nyala tinggi sehingga terciumlah bau sangit yang memenuhi tempat pertandingan itu.
"Sucouw, mari kita pergi saja!" Pemuda tampan itu kini sudah berada dekat suhu-nya yang masih dikeroyok dua.
"Aihhhh! Orang baru enak-enak bercanda, kau ganggu saja!" Kakek telanjang itu mengomel.
Akan tetapi pemuda itu yang bukan lain adalah Wan Keng In, putera Majikan Pulau Neraka yang menjadi muridnya, telah menyambar tangannya kemudian mengajak suhu-nya melompat jauh. Nirahai dan Bhong Ji Kun hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba pemuda itu melemparkan sesuatu ke atas tanah dan... asap hitam membubung tinggi, membentuk tirai yang gelap dan mengeluarkan bau yang memuakkan, membuat Nirahai dan Bhong Ji Kun terpaksa mundur lagi.....
KAMU SEDANG MEMBACA
SEPASANG PEDANG IBLIS (seri ke 7 Bu Kek Siansu)
AçãoMerupakan seri ke 7 dari Bu Kek Siansu Jilid 1-50 Tamat