Jilid 22/50

1.7K 17 0
                                    

Tang Wi Siang kini menghadapi Si Gundul dari Pulau Neraka, menudingkan telunjuknya dan memaki. "Setan gundul! Kau datang dengan omongan manis, akan tetapi kenyataannya engkau curang, berani engkau lancang menyerang Pangcu kami dengan serangan gelap! Pangcu kami tadi sudah mengampuni nyawa tak berharga sutemu itu!" Dia menuding ke arah Chi Song yang duduk di kursi dengan muka cemberut dan kaki kanan diangkat-angkat karena masih nyeri. "Akan tetapi agaknya aku tidak akan dapat mengampunimu!"

Si Gundul itu tersenyum lebar dan menjura. "Aih, maaf, karena kami memang sengaja hendak mohon petunjuk Pangcu kalian, maka tadi aku sengaja menyerangnya. Pangcu-mu hebat bukan main, namun sayang, dia menghadapi seranganku dengan ilmu lain, bukan ilmu dari kami seperti ketika dia mengalahkan Sute. Kalau engkau hendak mewakili Pangcu-mu, silakan. Akan tetapi jangan marah kalau aku sampai kesalahan tangan!"

"Cihhh, sombongnya! Kau kira akan mampu mengalahkan Tang Wi Siang, kepala pelayan Pangcu Thian-liong-pang? Majulah dan terima kematianmu!"

Si Gendut Gundul cemberut dan tampaknya tidak puas. "Aih, celaka sekali! Hari ini aku benar-benar menerima penghinaan besar sekali. Jauh-jauh datang hanya dihadapkan seorang pelayan. Kalau tidak bisa menang, memang aku tidak layak hidup lagi! Kouwnio, terimalah seranganku!"

Tiba-tiba Si Gundul ini menerjang dengan gerakan yang cepat sekali. Sungguh tak disangka-sangka bahwa orang yang gendut pendek sehingga kelihatan seperti seekor katak itu memiliki gerakan kaki tangan amat cepat sehingga dilihat begitu saja, kedua pasang tangan dan kakinya seolah-olah telah menjadi masing-masing tiga pasang!

Namun, kalau hanya menghadapi kecepatan gerak, wanita setengah tua yang masih cantik dan bertubuh ramping itu sama sekali tidak gentar dan dalam hal ginkang, kiranya Si Gundul itu kini bertemu gurunya! Justru dalam hal ginkang inilah Wi Siang menerima gemblengan Nirahai karena memang dia mempunyai bakat. Oleh Ketua Thian-liong-pang yang sakti itu, Wi Siang diberi ilmu Yan-cu Sin-kun, ilmu silat yang mengandalkan ginkang sehingga tubuhnya dapat berkelebatan seperti seekor burung terbang, sesuai dengan nama ilmu itu, ialah Yan-cu Sin-kun (Ilmu Silat Sakti Burung Walet).

Maka keceliklah Kong To Tek ketika tiba-tiba bayangan lawannya berkelebat dan lenyap! Hanya ada angin bertiup melalui atas kepalanya ke belakang, maka cepat ia memutar tubuh dan benar saja, lawannya telah berada di belakangnya. Ia terkejut dan tidak mau lagi mengandalkan kecepatannya karena maklum bahwa lawannya adalah seorang ahli ginkang yang jauh lihai dari padanya.

Kini dia melakukan serangan dengan kaki tangannya, tidak mengandalkan kecepatan lagi, melainkan mengandalkan tenaga sinkang-nya. Baik hantaman tangan mau pun tendangan kakinya didahului angin yang mengeluarkan bunyi mencicit seperti sebatang golok atau pedang yang memecah angin! Hebat bukan main tenaga Si Gundul ini, Wi Siang juga maklum bahwa mungkin dia lebih cepat, juga ilmu silatnya lebih tinggi, namun belum tentu dia dapat menandingi kekuatan sinkang Si Gundul yang benar-benar kuat itu.

"Hehhh!"

Kong To Tek mengirim pukulan dengan tangan terbuka miring ke arah lambung kiri Wi Siang. Wanita ini cepat mengelak dengan menggeser kaki ke belakang, akan tetapi tangan kiri orang gundul itu sudah menonjok atau mendorong dengan telapak kanannya ke arah dada! Wi Siang kembali mengandalkan kecepatan mengelak dengan miringkan tubuh, akan tetapi angin pukulan yang menyerempet pundaknya masih saja membuat dia terhuyung ke samping. Marahlah wanita ini.

"Haiiikkk!" Ia mengeluarkan suara melengking.

Tubuhnya mencelat ke atas, melampaui kepala Si Gundul itu. Ketika Kong To Tek memutar tubuh, Wi Siang sudah membalas serangannya dengan pukulan Touw-sim ciang (Pukulan Menembus Jantung) yang bukan main ampuhnya.

"Hehhh!" Kembali Si Gundul membentak dan menangkis dengan lengannya.

"Dukk!" Tubuh Tang Wi Siang terhuyung, juga Si Gundul menjadi miring kuda-kudanya.

"Keparat!" Wi Siang membentak marah sekali dan kini ia mainkan ilmu silatnya dengan gerak cepat Yang-cu Sin-kun, mengirim pukulan Touw-sim-ciang yang kalau mengenai tubuh lawan dengan tepat, tentu akan merenggut nyawanya.

Menghadapi kecepatan yang luar biasa dari Wi Siang, Si Gundul kewalahan, apa lagi karena dia pun maklum kalau dadanya sampai terkena pukulan itu, kekebalannya takkan dapat melindunginya. Maka dia mulai terdesak hebat dan Bun Beng dapat melihat bahwa tak lama lagi Si Gundul itu akan roboh oleh 'pelayannya' yang benar-benar amat tangkas dan lihai itu.

Ketika Wi Siang yang sudah mendesak itu melancarkan pukulan-pukulan bertubi-tubi, tiba-tiba tubuh Si Gundul yang pendek itu merendah, seperti merangkak sehingga kedudukannya seperti seekor katak berkaki empat karena kedua tangannya menapak tanah, dan dari perutnya keluar suara melalui kerongkongan.

"Kok-kok-kok!"

Tiba-tiba dari mulut Si Gundul yang terbuka itu keluar uap tebal berwarna putih kehitaman, lingkaran-lingkaran uap yang menyerang ke atas ke arah tubuh Wi Siang! Wanita ini kaget sekali. Dia mengelak, akan tetapi celana pada betis kanannya terkena uap dan terasa olehnya betapa kulit betisnya panas, perih dan gatal-gatal yang luar biasa, membuat dia ingin sekali menggaruk.

Pada saat itu, kedua tangan Si Gundul yang menapak tanah itu tiba-tiba diangkat ke atas dan dua kali tangan itu digerakkan mendorong ke tubuh lawan dengan bunyi "kok-kok!" maka menyambarlah angin pukulan yang dahsyat bukan main ke arah Wi Siang! Wanita ini kembali menjadi kaget, mengelak dengan cara melempar tubuh ke belakang dan berjungkir-balik beberapa kali. Dia dapat menghindarkan pukulan maut itu, akan tetapi kembali Si Gundul telah menyerangnya dengan tubuh merangkak seperti katak, mulutnya terus-menerus menyemburkan uap kehitaman dan kerongkongannya mengeluarkan bunyi seperti katak besar.

Diserang seperti ini, Wi Siang menjadi repot. Dia mengandalkan ginkang-nya untuk melesat ke sana-sini, namun karena dia maklum akan bahayanya uap itu, dia tidak berani mendekat dan terpaksa harus mengelak terus tanpa dapat balas menyerang, sedangkan lawannya itu menyelingi semburan uapnya dengan pukulan-pukulan dari bawah yang mengandung tenaga mukjizat!

Bun Beng sendiri menjadi terkejut menyaksikan perubahan ini. Si Gundul itu benar-benar amat berbahaya, pikirnya dan dia tidak tega menyaksikan Wi Siang dengan muka gelisah harus meloncat ke sana ke mari menghindarkan diri dari uap-uap itu dan pukulan-pukulan maut yang dilancarkan oleh manusia seperti katak itu. Maka sekali lagi dia mencelat dari atas kursinya dan pada saat itu Wi Siang sedang meloncat pula ke atas menghindarkan sebuah pukulan.

Betapa pun cepat gerakan Wi Siang, namun bagi Bun Beng kelihatannya biasa saja. Ketika tubuhnya dekat dengan tubuh Wi Siang di udara, ia cepat menyambar lengan 'pembantunya' itu dan sekali sentak tubuh Wi Siang terlempar melayang ke tempatnya tadi di mana Wi Siang turun dan cepat-cepat merobek celana bagian betisnya. Ternyata kulit betisnya telah 'termakan' racun dalam uap tadi, kelihatan merah totol-totol. Cepat ia mengambil obat anti racun dan menggosok betisnya dengan obat itu. Namun rasa gatal, panas dan perih masih belum lenyap.

Ketika Kong To Tek melihat Si Ketua turun tangan sendiri, dia tidak mau membuang waktu. Ketika Bun Beng meloncat turun, ia sudah menyambut dengan serangan uap dari mulutnya. Tubuhnya merangkak maju dengan 'empat kaki', dari kerongkongannya keluar suara berkokok seperti katak buduk, dan uap kehitaman menyerang Bun Beng. Namun pemuda ini, mengingat akan niat orang-orang Pulau Neraka agar dikalahkan dengan ilmunya sendiri, cepat merendahkan diri seperti merangkak pula, mengerahkan seluruh tenaga sinkang-nya dan dia meniup ke arah uap yang melingkar-lingkar itu.

"Kok-kok-kok...!" Si Gendut berkokok.

"Wush-wushhh-wushhh!" Bun Beng meniup dan uap kehitaman itu segera terdorong, kembali ke arah penyerangnya!

Tentu saja Kong To Tek sudah memakai obat penolak racunnya sendiri maka uap itu tidak mempengaruhi kulit tubuhnya, namun dia menjadi gelagapan ketika uap-uap itu membuyar dan menghantam mukanya sendiri. Cepat ia mengangkat kedua tangannya, melakukan pukulan ke depan mendorong dengan tenaga mukjizat.

Bun Beng juga mendorongkan kedua tangannya, akan tetapi terkejutlah dia ketika mendapat kenyataan bahwa tenaga dorongan kakek gundul itu bukan mengandung sinkang sewajarnya dan selain amat kuat juga mengandung hawa beracun yang mukjizat pula. Tentu merupakan latihan sinkang yang disertai penggunaan racun yang banyak terdapat di Pulau Neraka, pikirnya. Maka ketika Bun Beng merasa betapa dorongan kakek itu dapat membahayakan, cepat ia membuang diri ke samping, menggunakan ilmu memindahkan tenaga. Ketika hawa dorongan lewat ia cepat membarengi dengan kibasan lengannya yang sudah menjadi berganda tenaganya itu ke arah muka Si Gendut Gundul.

"Kok-kok!" Si Kakek Gundul mengangkat mukanya sehingga pundaknya yang terkena hantaman ujung lengan baju Bun Beng.

"Plakkk!"

Kembali Bun Beng terkejut. Hantaman lengan bajunya yang disertai tenaga sinkang berganda itu ketika mengenai pundak lawan yang mengeluarkan bunyi seperti katak, terasa seperti membentur benteng baja dan membalik! Sementara itu, Si Kakek Gundul yang merasa terlindung oleh ilmu kataknya yang mukjizat, mempercepat bunyi berkokok di tenggorokannya dan siap menyerang lagi. Akan tetapi tiba-tiba Bun Beng berkelebat dan lenyap, tahu-tahu tubuh 'ketua' ini sudah melayang turun ke atas punggung lawan yang sedang merangkak sambil berkokok itu.

"Kok-kok-kok... ngekkkk! Brooottt!"

Kakek gundul itu yang tadinya mengeluarkan bunyi seperti katak, ketika kedua kaki Bun Beng menginjak punggung disertai tenaga sinkang yang membuat tubuhnya seperti menjadi laksaan kati beratnya, tak dapat menahan sehingga terdengar suara 'ngek!' dan tiba-tiba disambung suara memberobot amat keras dari tubuh belakangnya!

Kiranya Bun Beng dapat menaksir di mana letak kelemahan manusia yang berlagak katak ini, maka begitu punggung terinjak kuat, hawa sakti yang membuat kakek itu berkokok dan menghembuskan uap, terpencet keluar tanpa dapat ditahannya lagi dan hawa itu menerobos melalui mulut belakang. Terdengar suara di sana-sini dan semua orang menutupi hidungnya, kecuali orang-orang Pulau Neraka, karena hawa yang keluar dari 'mulut belakang' kakek itu benar-benar amat hebat... baunya! Akibat racun yang terkandung di dalamnya sehingga bau itu memenuhi ruangan tamu.

Kakek gundul itu sudah roboh menelungkup dalam keadaan pingsan, kini digotong oleh teman-temannya ke pinggir, sedangkan Bun Beng sudah meloncat kembali ke kursinya dan duduk dengan tenang. Diam-diam ia merasa girang sekali dan kini yakinlah dia bahwa penderitaannya selama setengah tahun di dalam tempat rahasia itu telah menyembuhkan luka-lukanya sama sekali, juga telah membuat dia memperoleh kemajuan yang amat hebat, baik dalam ginkang, sinkang, dan ilmu silat! Maka tenanglah hatinya karena kini dia merasa dapat menjaga diri terhadap siapa pun juga.

Chi Song terpincang-pincang menghampiri 'ketua' dan dengan kaki kanan berjinjit ia menjura. "Banyak terima kasih atas petunjuk yang diberikan oleh Thian-liong-pangcu. Biarlah kami kembali melaporkan semua peristiwa ini kepada To-cu kami."

Setelah memberi hormat sekali lagi, terpincang-pincang Chi Song memimpin tiga orang temannya yang menggotong tubuh suheng-nya yang masih pingsan. Tetapi baru saja mereka itu tiba di pintu ruangan, tampak berkelebat bayangan orang dan terdengar bentakan halus nyaring.

"Setan-setan Pulau Neraka berani mengacau di sini?"

Terdengar suara hiruk pikuk dan tiga orang yang menggotong tubuh Kong To Tek tadi terpelanting ke kanan kiri sehingga tubuh Si Gundul itu terlempar pula, akan tetapi malah membuatnya siuman dan ia mengeluh panjang. Chi Song yang melihat munculnya seorang dara yang amat cantik jelita dan yang datang-datang menerjang dan merobohkan orang-orangnya, menjadi kaget, apa lagi ketika dara itu telah menerjang maju dan menonjok ke arah dadanya dengan pukulan yang cepatnya sukar diikuti pandang mata. Dia mengelak, namun karena kakinya pincang dan gerakan dara itu cepat sekali, bahunya terkena pukulan dan ia terpelanting. Melihat betapa orang-orang Pulau Neraka itu telah bangkit kembali dan tidak tewas oleh pukulan-pukulannya dara itu menjadi marah.

"Srattt!" Dara itu sudah mencabut pedangnya akan tetapi tiba-tiba lengannya diraba orang dan tahu-tahu Bun Beng sudah berada di situ, menyentuh lengannya untuk mencegahnya turun tangan membunuh orang-orang Pulau Neraka.

Bun Beng terpaksa turun tangan mencegah ketika melihat betapa Milana, dara jelita itu, hendak melakukan pembunuhan-pembunuhan terhadap para tamu yang tentu dianggap oleh dara itu mengacau di Thian-liong-pang, apa lagi karena dara itu pernah bertanding dengan orang-orang Pulau Neraka ketika menggendongnya dahulu.

Melihat sentuhan pada lengannya, Milana menoleh.

"Ibu...!" Ia berkata dan menyarungkan pedangnya.

Kesempatan ini dipergunakan oleh lima orang Pulau Neraka untuk melarikan diri, pergi dari situ secepatnya.

Bun Beng cepat kembali ke kursinya dengan jantung berdebar. Milana telah muncul! Dia harus cepat-cepat pergi dari situ tanpa menimbulkan keributan, tetapi terlambat. Milana yang terheran-heran menyaksikan sikap ibunya, cepat menghampiri, memandang ke arah sepasang mata di balik lubang kerudung kepala itu dan tiba-tiba ia berseru hampir menjerit.

"Engkau... engkau bukan Ibuku!" Dara ini menjadi pucat mukanya, dan semua tokoh Thian-liong-pang mencelat bangun dari tempat duduknya masing-masing.

"Jubah itu jubah Ibuku, dan kerudung itu pun sebuah di antara kerudung Ibuku. Akan tetapi engkau bukan Ibuku! Siapa engkau? Dan... ohhh... di mana Ibu? Kau apakan dia...?"

Milana mencabut pedangnya dan terdengarlah suara berdesing ketika para tokoh Thian-liong-pang mencabut senjata masing-masing. Bahkan Tang Wi Siang lalu mengeluarkan suara bersuit keras sebagai tanda bahaya dan segera tempat itu dikurung oleh puluhan orang anggota Thian-liong-pang yang masih bingung dan tidak mengerti mengapa Tang-kouwnio memberi tanda bahaya sedangkan tamu-tamu dari Pulau Neraka telah dikalahkan dan telah melarikan diri keluar dari Thian-liong-pang. Lebih-lebih lagi kaget dan heran hati mereka ketika melihat Milana dan para tokoh itu dengan senjata di tangan mengurung Sang Ketua sendiri!

"Buka kerudungmu!" Milana membentak lagi.

"Hayo perlihatkan mukamu, manusia bosan hidup yang berani memalsukan Pangcu kami!" Tang Wi Siang membentak dan barulah para anak buah Thian-liong-pang dapat mengerti dengan hati penuh kaget dan heran bahwa orang yang berkerudung seperti Ketua mereka itu kiranya adalah orang palsu!

"Nona, maafkan aku...!" Bun Beng berkata sambil melepaskan kerudung yang menutupi kepalanya.

"Kau...?!" Milana berseru kaget sekali.

Dia girang melihat Bun Beng yang disangkanya tentu telah mati oleh luka-lukanya biar pun ketika terjatuh dari menara ditolong oleh Pendekar Super Sakti, kini masih hidup! Dahulu ibunya cepat-cepat menyambarnya dan membawanya pergi ketika melihat betapa Bun Beng yang terjatuh itu disambar oleh Pendekar Super Sakti.

"Aku tdak mau bertemu dengannya di sini. Tidak mau!" Ibunya berbisik penuh duka dan marah ketika Milana berusaha menahan ibunya agar suka bertemu dengan ayah kandungnya itu, dan ibunya terus membawanya lari secepat kilat tanpa diketahui oleh Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es itu.

Dan kini, Bun Beng berada di situ bahkan menyamar sebagai ibunya! Di samping rasa girang yang amat besar ini, timbul kekhawatirannya dan ia bertanya, "Engkau...? Bagai mana ini...? Di mana Ibu?"

"Maaf, Nona. Ibumu pingsan ketika berlatih silat di tempat rahasia di bawah sana. Karena ingin membebaskan diri, terpaksa aku memakai kerudung dan jubah ini..., maafkan aku..."

Akan tetapi Milana sudah tidak menjawab lagi dan dia meloncat hendak mencari ibunya yang pingsan di tempat rahasia. Dia sudah tahu akan tempat rahasia itu dan sudah tahu jalannya sungguh pun dia dan siapa pun juga dilarang dan tidak pernah pergi ke sana. Sementara itu, para tokoh Thian-liong-pang yang kini mengenal Bun Beng menjadi marah dan segera menyerangnya, karena dia dianggap sebagai musuh Thian-liong-pang, seorang pengacau dan bekas tahanan yang dapat lolos.

Tentu saja hanya Sai-cu Lo-mo yang tidak bergerak dan memandang bengong kepada cucu keponakannya itu. Selain dia tidak mau membunuh cucu keponakan, satu-satunya keturunannya biar pun hanya cucu luar, juga dia kagum bukan main, teringat betapa tadi Bun Beng dapat mengalahkan tokoh-tokoh lihai dari Pulau Neraka secara demikian mudahnya! Padahal, hanya kurang lebih setahun yang lalu, pemuda itu masih belum sedemikian hebat ilmu kepandaiannya!

Lui-hong Sin-ciang Chie Kang yang menggunakan pukulan badainya, Tang Wi Siang yang bersenjata pedang, dan dua orang tokoh lain yang bersenjata golok sudah menerjang Bun Beng dengan serangan-serangan maut yang amat dahsyat. Bun Beng yang menghadapi pengeroyokan ini cepat menggerakkan kaki tangannya, berkelebat ke sana-sini dan tangannya bergerak menangkis atau mendorong dan... empat orang pengeroyok itu terjengkang semuanya, ada yang terguling, ada pula yang terhuyung seperti pohon-pohon disapu angin ribut!

Bun Beng terkejut sendiri melihat akibat tangkisan dan dorongannya. Dia gunakan kesempatan ini untuk loncat ke atas, melalui kepala orang-orang yang mengepungnya, menendangi senjata-senjata yang ditujukan ke arahnya dan terus melesat ke luar dari ruangan itu melalui jendela.

"Kejar!" Tang Wi Siang berseru dan mereka bergerak mengejar keluar.

"Berhenti! Tahan senjata!" terdengar seruan melengking disusul masuknya seorang wanita berkerudung yang bukan lain adalah Ketua Thian-liong-pang sendiri, bersama Milana yang menggandeng tangan ibunya. "Jangan kejar dia, biarkan dia pergi... ahhh...!" Nirahai terhuyung dan cepat dibimbing oleh puterinya menuju ke kursinya.

Semua tokoh Thian-liong-pang menghentikan gerakan mereka, menghadap Ketua mereka dan memandang penuh kekhawatiran karena melihat tanda-tanda bahwa Ketua mereka mengalami luka dan kelihatan lemah.

"Jangan memusuhinya! Betapa pun dia telah menimbulkan kekacauan, harus kalian akui bahwa di telah menyelamatkan nama baik Thian-liong-pang sehingga kita tidak sampai mengalami penghinaan dari Pulau Neraka!"

Bun Beng yang sudah berada di luar, ketika mendengar ucapan Ketua Thian-liong-pang itu, merasa malu sendiri. Dia lalu meloncat kembali memasuki ruangan itu, menjura di depan Nirahai sambil berkata,

"Teecu mohon maaf sebesarnya telah berlaku lancang, berani memalsukan Locianpwe karena keadaan terpaksa. Teecu tidak mempunyai niat buruk kecuali ingin bebas dari dalam... neraka di bawah sana."

Nirahai tersenyum di balik kerudungnya. "Tidak apa, Bun Beng. Semua kesalahanmu kulupakan, mengingat engkau telah membela nama baikku dan nama baik Thian-liong-pang. Bahkan untuk jasamu itu, aku akan menghadiahkan apa pun yang kau minta. Ajukanlah permintaanmu, kalau engkau suka, dan aku akan berusaha memenuhinya."

Berdebar jantung Bun Beng mendengar ini. Dia telah dapat melenyapkan rasa permusuhan dari hati wanita aneh ini, Ibu Milana. Hal itu saja sudah merupakan suatu hadiah yang amat besar artinya baginya. Akan tetapi ia teringat akan keadaan para tokoh kang-ouw yang terculik, terutama sekali teringat akan Ang-lojin atau Ang Thian Pa, Ketua Bu-tong-pai, ayah dari Ang Siok Bi. Maka segera ia berkata,

"Terima kasih atas kepercayaan dan kebaikan hati Locianpwe. Sebenarnya teecu tidak menginginkan sesuatu untuk teecu sendiri, melainkan... jika Locianpwe tak keberatan, teecu mohon sudilah Locianpwe membebaskan para tokoh kang-ouw yang menjadi tamu di sini."

Kembali Nirahai tersenyum di balik kerudungnya. "Permintaanmu cukup pantas, bahkan cocok dengan keinginan hatiku sediri. Aku sudah bosan mempelajari ilmu lain yang pada hakekatnya sama dasarnya, dan sekarang tinggal beberapa saja yang masih menjadi tamu kami. Wi Siang, bebaskan mereka dan biarkan mereka pulang sekarang juga, masing-masing beri kuda dan perbekalan secukupnya. Bun Beng, bangkitlah dan saksikanlah sendiri terpenuhinya permintaanmu."

Dengan hati girang bukan main Bun Beng bangkit dan berdiri, tak lama kemudian dia sudah keluar lagi mengiringkan lima orang 'tamu', di antaranya Ang Thian Pa. Mereka ini adalah orang-orang yang selalu memperlihatkan sifat menentang sehingga masih belum dibebaskan oleh Thian-liong-pang. Akan tetapi setelah kini mereka dibebaskan, bahkan disertai perlengkapan dan kuda, mereka merasa lega dan berterima kasih kepada Ketua Thian-liong-pang yang selama ini memperlakukan mereka dengan baik sungguh pun mereka itu merupakan tamu yang terpaksa!

Seorang demi seorang menjura dengan hormat kepada Nirahai sambil berpamit dan mengucapkan terima kasih. Ketika tiba giliran Ang Thian Pa sebagai orang terakhir, kakek ini menjura dan berkata, "Selama berbulan-bulan saya menerima kebaikan Thian-liong-pangcu, mudah-mudahan di lain kesempatan Bu-tong-pai dapat membalas kebaikan-kebaikan itu."

"Kami yang minta maaf kepadamu, Ang-lojin," kata Nirahai.

Tiba-tiba Ang Thian Pa melihat Bun Beng dan mukanya berubah merah, alisnya berkerut dan dia berkata kepada pemuda itu, "Dahulu kusangka seorang taihiap yang budiman, berani menentang kejahatan dan membela yang tertindas. Kiranya engkau adalah seorang di antara tokoh Thian-liong-pang agaknya. Hemm, benar-benar aku telah salah lihat...!" Ia menghela napas panjang penuh kekecewaan dan penasaran.

Wajah Bun Beng menjadi merah sekali, akan tetapi dia tidak berkata apa-apa.

"Ang-lojin, memang engkau telah salah lihat dan salah menduga. Gak Bun Beng bukanlah orang Thian-liong-pang dan ketahuilah bahwa atas permintaannyalah maka saat ini engkau kami bebaskan."

Kakek itu terkejut, lalu menghampiri Bun Beng dan menjura penuh hormat. "Ahhh, maafkanlah mataku yang benar-benar telah lamur, Taihiap. Dan untuk menebus kebodohanku yang tak dapat menghargai kebaikan orang, biarlah kusampaikan apa-apa yang menjadi idaman hatiku semenjak aku berada di sini. Yaitu... jika kiranya Taihiap belum berkeluarga dan sudi menerima, aku... ingin menyerahkan puteri tunggalku sebagai jodoh Taihiap!"

Hampir saja Bun Beng mencelat dari tempat ia berdiri saking kagetnya mendengar ini. Mukanya menjadi makin merah dan terbayanglah wajah Siok Bi yang cantik manis. Dia dijodohkan dengan dara yang manis itu! Begitu saja! Akan tetapi, sambil menahan debaran jantungnya dia balas menjura dan berkata,

"Ang-locianpwe... banyak terima kasih atas kebaikan Locianpwe... akan tetapi soal itu... hemm... soal jodoh... ehhh, belum terpikir olehku, karenanya, bukan aku menolak, hanya... tak mungkin aku dapat menerima hal yang amat penting bagi hidupku itu. Aku akan menganggap saja bahwa tadi Locianpwe tidak pernah bicara apa-apa tentang perjodohan."

Kakek itu menghela napas panjang. "Memang anakku tidak cukup berharga untuk seorang seperti engkau, Taihiap. Hanya aku masih menaruh harapan besar, kalau memang berjodoh kelak tentu akan terjadi. Aku dan anakku akan selalu menanti kunjunganmu, Taihiap." Setelah berkata demikian, sekali lagi kakek itu menjura kepada Nirahai lalu meninggalkan ruangan itu.

"Aku pun mohon diri, Locianpwe. Nona Milana, selamat tinggal. Banyak terima kasih atas semua kebaikan Locianpwe dan nona yang telah dilimpahkan kepada diriku, semoga kelak aku dapat membalas itu semua." Tergesa-gesa Bun Beng meloncat keluar dari tempat itu karena dia merasa tidak enak sekali akan 'pinangan' Ketua Bu-tong-pai tadi yang disampaikan di depan banyak orang, terutama di depan Milana!

Nirahai yang masih belum sembuh benar akibat salah latihan segera membubarkan anak buahnya dan masuk ke dalam ruangan dalam digandeng oleh Milana yang merasa khawatir akan keadaan ibunya.

Bubarlah para anggota Thian-liong-pang dan mereka membicarakan Bun Beng dengan penuh kagum dan keheranan. Terutama sekali Sai-cu Lo-mo, termenung dengan hati tegang dan penuh kegembiraan saat mendapat kenyataan betapa cucu keponakannya telah menjadi seorang yang amat lihai, dan betapa Ketuanya suka mengampunkan pemuda itu.

Timbul pula pikirannya bahwa mengingat akan perlindungan dan pembelaan Milana terhadap cucu keponakannya itu seperti yang ia dengar dari para anak buah Thian-liong-pang yang melakukan pengejaran terhadap Bun Beng yang dipimpin oleh kedua orang saudara kembar Su Kak Liong dan Su Kak Houw, alangkah baiknya kalau cucu luarnya itu dijodohkan dengan puteri Pangcu! Biar pun dengan hati takut-takut dan berdebar tegang, beberapa hari kemudian dia memberanikan hatinya menghadap Nirahai menyampaikan niatnya itu, yaitu meminang Milana untuk cucu keponakannya Gak Bun Beng!

Sampai lama Ketua Thian-liong-pang itu tidak bergerak dari kursinya, sedangkan Sai-cu Lo-mo yang menanti jawaban duduk menundukkan muka dengan hati berdebar. Dia tidak dapat menduga apa yang akan menjadi jawaban Sang Ketua yang wataknya aneh sekali itu, bahkan dia tidak akan merasa heran kalau sebagai jawaban, wanita berkerudung itu melancarkan serangan dan membunuhnya! Akhirnya terdengar wanita itu menjawab, suaranya halus akan tetapi dingin, membuat Sai-cu Lo-mo yang mendengarnya terasa sakit seperti tertusuk dan menjadi beku.

"Sai-cu Lo-mo, sudah kau pikir masak-masak pinanganmu ini? Kalau mengingat akan dirimu, dan akan keponakanmu, mendiang Bhok Kim, seorang di antara Kang-lam Sam-eng tokoh Siauw-lim-pai yang terkenal, memang tidak mengecewakan dan patut dipertimbangkan pinanganmu itu. Akan tetapi, apakah kau sengaja atau pura-pura lupa bahwa Gak Bun Beng adalah keturunan Si Setan Botak, datuk kaum sesat Gak Liat yang merupakan manusia iblis? Yang lebih dari itu pula, apakah kau pura-pura lupa bahwa Gak Bun Beng terlahir sebagai anak yang tidak syah, terlahir dari perbuatan keji, yaitu pemerkosaan yang dilakukan Gak Liat terhadap Bhok Khim? Dan engkau masih berani mengajukan lamaran untuk pemuda itu, melamar anakku?"

"Maafkan kelancangan saya, Pangcu..." Sai-cu Lo-mo berkata, suaranya gemetar, bukan karena takut, melainkan karena kedukaan hatinya. Bukan saja lamarannya ditolak, bahkan ia diingatkan akan keadaan Bun Beng yang dianggap hina dan rendah. Di dalam hatinya ia memberontak. Apakah kesalahan cucu keponakannya itu dalam hal pemerkosaan dan kelahiran tidak syah? Apa hubungannya dengan seorang ayah seperti Gak Liat? Akan tetapi, tentu saja dia tidak berani membantah.

Nirahai dapat mengerti kedukaan hati pembantunya ini, maka dia berkata lagi, "Lo-mo, engkau hanya mengenal aku sebagai Ketuamu, hanya mengenal aku sebagai puteri Kaisar. Kalau engkau tahu siapa Ayah puteriku, engkau akan berpikir seribu kali sebelum mengajukan lamaran itu. Nah, mundurlah!"

Jantung Sai-cu Lo-mo berdebar. Sering kali dia menduga-duga siapa sebenarnya suami Ketuanya ini. Dia memberi hormat dan mengundurkan diri keluar dari ruangan itu, dan hatinya terasa berat sekali. Sepanjang pengetahuannya, Puteri Nirahai yang dahulu amat terkenal itu belum pernah menikah! Akan tetapi dikabarkan secara bisik-bisik bahwa puteri itu melarikan diri dari istana bersama Pendekar Super Sakti! Apakah Milana puteri Pendekar Super Sakti dan Puteri Nirahai? Ia bergidik, ngeri memikirkan bahwa dia telah berani meminang anak dari Panglima Puteri Nirahai, puteri Kaisar, dan anak dari Ketua Pulau Es, Pendekar Siluman atau Pendekar Super Sakti! Tentu saja dia tidak akan berani melakukan pinangan itu sekiranya dia tahu bahwa Ketuanya masih merasa dirinya sebagai puteri Kaisar, dan sekiranya dia tahu bahwa Milana adalah puteri Pendekar Super Sakti!

Baik Nirahai sendiri mau pun Sai-cu Lo-mo tidak tahu bahwa percakapan mereka tadi terdengar oleh Milana. Dara ini tadinya hendak mengunjungi ibunya, dan dia berhenti mendengarkan dari luar ketika melihat Sai-cu Lo-mo menghadap ibunya. Ketika ia mendengar jawaban ibunya, Milana merasa jantungnya seperti ditusuk. Cepat-cepat dia meninggalkan tempat itu, kembali ke kamarnya dan menghapus beberapa titik air mata yang membasahi pipinya.

Dia menganggap ibunya terlalu menghina Bun Beng! Tidak ingatkah ibunya bahwa Gak Bun Beng tidak pernah minta untuk dilahirkan sebagai keturunan Gak Liat, sama seperti dia yang tidak pernah minta untuk dilahirkan sebagai puteri Pendekar Super Sakti dan cucu Kaisar? Mengapa ibunya masih juga memandang keturunan dan kedudukan, setelah kesengsaraannya yang dialami ibunya karena kedudukannya sebagai puteri Kaisar?

Milana tidak kecewa karena penolakan ibunya. Dia tidak terlalu ingin, bahkan tidak ada keinginan sama sekali menjadi isteri siapa pun juga, tidak ingin menjadi isteri Bun Beng. Juga dia tidak tahu apakah dia cinta kepada pemuda itu atau tidak. Yang jelas, dia suka kepada Bun Beng dan merasa kasihan kepadanya. Apa lagi kini ibunya sendiri menghina pemuda itu, dia merasa penasaran sekali dan rasa kasihan di dalam hatinya makin mendalam.

Melihat hati ibunya yang rela menderita dan memaksa memisahkan diri dari ayahnya, Pendekar Super Sakti, melihat sepak terjang Thian-liong-pang menculiki tokoh-tokoh kang-ouw sungguh pun kini usaha itu telah dihentikan ibunya dan semua tokoh telah dibebaskan, Milana merasa bosan tinggal di situ dan dia ingin sekali bertemu dengan Bun Beng, melakukan perjalanan bersama pemuda itu. Tiba-tiba ia teringat akan musuh-musuh Bun Beng, teringat pula betapa pedang Hok-mo-kiam terampas oleh Tan-siucai dan Maharya, teringat pedang Lam-mo-kiam yang terampas oleh putera Pulau Neraka. Betapa banyak tugas yang dihadapi Bun Beng. Akan senang sekali kalau ia dapat membantu pemuda itu.

Pada keesokan harinya, Nirahai tak melihat puterinya. Milana telah pergi dari situ tanpa pamit dan biar pun Nirahai menyebar anak buahnya untuk mencari, usahanya sia-sia belaka, Milana tetap lenyap tanpa memberi tahu ke mana perginya dan apa tujuannya. Nirahai hanya dapat menarik napas panjang dan menyesali sikapnya yang terlalu memanjakan anak itu. Hanya dia tidak khawatir karena maklum bahwa tingkat kepandaian puterinya itu sudah cukup tinggi sehingga takkan mudah diganggu orang jahat. Mengapa puterinya tidak berterus terang saja kalau ingin merantau? Tanpa pamit begini, sedikit banyak membuat dia tidak tenang.

SEPASANG PEDANG IBLIS (seri ke 7 Bu Kek Siansu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang