Jilid 40/50

1.8K 21 0
                                    

Tiba-tiba terdengar suara lantang dan nyaring, "Seorang isteri harus dalam keadaan apa pun juga ikut dengan suaminya! Seorang kekasih harus setia dan ikut ke mana juga kekasihnya pergi. Seorang laki-laki sejati harus tidak lari dari pada pertanggungan jawabnya dan tidak mengingkari perasaan hatinya sendiri!"

Dua orang sakti itu terkejut dan tampak dua sosok bayangan berkelebat cepat sekali, tahu-tahu Suma Han dan Bu-tek Siauw-jin telah berdiri di depan Bun Beng yang masih duduk bersila di atas tanah.

"Ahhh, engkau bisa membebaskan diri dari ikatanmu?" Bu-tek Siauw-jin bertanya heran dan agaknya baru kakek ini teringat kepada pemuda yang diculiknya.

"Ah, engkau terluka hebat, nyawamu terancam maut!" Suma Han berseru kaget.

Gak Bun Beng sudah menjatuhkan diri berlutut di depan kedua orang itu. "Harap Suma-taihiap sudi memaafkan saya yang mengganggu, dan terima kasih saya aturkan kepada Bu-tek Siauw-jin Locian-pwe yang telah menolong saya."

"Engkau... Gak Bun Beng!" Kini Suma Han berseru setelah mengenal wajah pemuda itu di bawah cuaca yang masih remang-remang.

"Ha-ha-ha, sudah tahu namaku Siauw-jin (Manusia Hina) masih menyebut locianpwe (orang tua gagah) pula. Engkau ini mengangkat atau membanting?"

Bun Beng tak dapat membantah kata-kata kakek sinting itu, maka dia diam saja, dan kakek itu melanjutkan kata-katanya, kini ditujukan kepada Suma Han.

"Tahukah engkau mengapa aku menolongnya, Pendekar Siluman? Setelah engkau ceritakan padaku bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah isterimu, maka aku menolong pemuda ini karena pemuda ini telah menyelamatkan puterimu. Tadinya aku tidak tahu bahwa dara itu puterimu. Hemm, sungguh kebetulan sekali."

"Milana? Mengapa dia?" Suma Han bertanya kepada Bun Beng.

Bun Beng lalu menceritakan semua pengalamannya. Betapa di dalam hutan ia melihat Milana menjadi tawanan Wan Keng In dan Thian Tok Lama yang memimpin pasukan menghancurkan Thian-liong-pang. Betapa ia telah berhasil pula mengembalikan pedang Hok-mo-kiam kepada Milana untuk diserahkan kepada Pendekar Super Sakti.

"Sukur bahwa puteri Taihiap telah dapat saya bujuk supaya melarikan diri membawa Hok-mo-kiam. Saya menahan mereka agar tidak melakukan pengejaran. Akan tetapi mereka itu lihai sekali, terutama Wan Keng In dengan Lam-mo-kiam di tangannya, dan Thian Tok Lama. Akhirnya saya roboh dan sebelum tertolong oleh Locianpwe ini, Wan Keng In telah memukul saya dengan pukulan beracun."

"He-heh-heh, agaknya dia telah memukulmu dengan Toat-beng-ci-tok, dan siapa yang menderita pukulan ini, dalam waktu dua puluh empat jam akan tewas. Bocah setan itu telah memiliki kepandaian tinggi dan tenaganya pun hebat. Nyawamu terancam, Gak Bun Beng," kata Bu-tek Siauw-jin setelah memeriksa sebentar.

"Tidak, dia harus diobati sampai sembuh. Jasanya terhadapku sudah terlampau besar sehingga aku rela mengorbankan nyawaku untuknya. Dia telah menyelamatkan Milana, telah mengembalikan Hok-mo-kiam, dan... dan terutama sekali ucapannya tadi telah membuka mata batinku, telah mendatangkan ketegasan dalam hatiku hingga lenyaplah segala duka nestapa yang tolol selama ini. Bu-tek Siauw-jin, kau harus membantuku mengobati sampai sembuh, kalau tidak, aku akan menuntut engkau yang lancang berani mengambil keponakan dan muridku sebagai muridmu," kata Suma Han.

"Wah-wah, ini namanya pemerasan. Apa boleh buat, aku memang suka kepada anak ini. Dan kalau kuingat bisik-bisiknya dengan dara itu di atas pohon."

Bun Beng terbelalak dan seperti melotot kepada kakek itu yang tertawa dan sudah duduk bersila di depannya, menempelkan kedua tangan pada dada Bun Beng dan berkata, "Kau kerahkan Im-kang di punggungnya, Pendekar Siluman. Aku tahu cara mengobati pukulan Toat-beng-ci-tok dari suheng-ku yang amat keji ini."

Suma Han sudah bersila pula di belakang Bun Beng, menempelkan tangan kirinya dan mengerahkan Im-kang. Mula-mula keadaan Bun Beng tersiksa bukan main. Hawa yang amat dingin menyerangnya dari belakang, seolah-olah membuat seluruh darah di tubuhnya membeku dan hawa yang panas dan mengeluarkan bau amis menyerangnya dari depan. Kadang-kadang keadaan tubuhnya seperti separuh dibakar dan separuh direndam es, lalu kedua hawa itu berputar-putar di seluruh tubuhnya, membuat dia hampir pingsan. Akan tetapi lambat laun terjadi hal yang aneh, kedua hawa itu seolah-olah menghentikan pertandingan mereka, bersatu dan menimbulkan rasa hangat yang amat nyaman. Rasa nyaman ini mendesak rasa nyeri dari dada dan leher, dan tak dapat ditahannya lagi, Bun Beng memuntahkan darah hitam tiga kali. Baiknya dia masih teringat untuk miringkan mukanya sehingga darah hitam yang keluar dari mulut tidak sampai mengenai tubuh kakek yang bersila di depannya.

Ternyata pengobatan yang hanya dilakukan kurang lebih dua jam itu telah berhasil baik. Kakek itu dan Suma Han melepaskan tangan dan keduanya duduk bersila untuk memulihkan tenaga masing-masing. Bun Beng maklum akan keadaan dirinya yang telah tertolong, maka dia tetap berlutut di depan mereka tanpa berani bergerak menanti sampai mereka menyelesaikan pemulihan tenaga mereka yang makan waktu kurang lebih dua jam.

Matahari telah naik tinggi ketika akhirnya kedua orang sakti itu membuka mata. Melihat betapa Bun Beng masih berlutut di depan mereka, Suma Han diam-diam kagum sekali. Tidak disangkanya bahwa putera Si Datuk Sesat Gak Liat ini telah menjadi seorang yang benar-benar patut dipuji. Seorang pemuda yang tampan, gagah, dan berbudi agung, juga seorang yang ingat akan budi orang. Dia teringat akan Kwi Hong dan memang ada niat di hatinya untuk menjodohkan keponakannya itu dengan pemuda ini. Namun dia teringat akan ucapan Bu-tek Siauw-jin tentang bisik-bisik antara puterinya, Milana, dengan Bun Beng, maka hatinya menjadi bimbang.

"Bangkitlah, Bun Beng. Engkau telah sembuh," katanya perlahan.

Bun Beng memberi hormat kepada mereka. "Pertolongan Ji-wi seolah-olah telah memberi nyawa baru kepada saya, tak tahu bagaimana saya harus membalas budi yang amat besar itu."

"Ha-ha-ha-ha, untuk membalas, engkau harus menerima dan mempelajari ilmu kami berdua sekarang juga. Kalau engkau tidak mau atau tidak bisa, kami terpaksa akan minta kembali nyawa yang kau bilang kami berikan kepadamu tadi."

Ucapan ini hanya merupakan kelakar saja dari Si Kakek Sinting, akan tetapi Bun Beng menerima dengan sungguh-sungguh. "Teecu sanggup menerimanya dan memenuhi syaratnya."

Suma Han dan Bu-tek Siauw-jin saling pandang dan keduanya mengangguk. Mereka berdua semalam suntuk telah berdebat tentang kebatinan, mengemukakan pegangan masing-masing. Suma Han telah mengeluarkan ilmu-ilmunya yang berdasarkan Im dan Yang, sedangkan Bu-tek Siauw-jin menandinginya dengan Ilmu Tunggal, yaitu yang mempersatukan dua tenaga bertentangan itu sehingga menjadi satu, tidak seperti Suma Han yang mempergunakan kedua-duanya.

Kini mereka telah merasakan sendiri betapa tenaga sinkang mereka yang berdasarkan ilmu-ilmu itu, ketika dipergunakan untuk menyembuhkan Bun Beng ternyata dapat digabungkan menjadi satu! Biar pun tidak saling mengutarakan isi hati dengan kata-kata, keduanya sudah maklum bahwa pemuda ini memiliki bakat yang luar biasa, memiliki tenaga sinkang yang hebat dan agaknya hanya pemuda inilah yang sanggup menerima gabungan ilmu mereka!

"Bun Beng, kami berdua telah sepakat untuk menurunkan inti tenaga kami kepadamu. Tentu saja gabungan inti tenaga sakti kami itu baru akan dapat dipergunakan dengan hasil baik dalam sebuah gerakan ilmu silat yang tinggi. Karena itu, coba kau mainkan ilmu silat tertinggi yang kau miliki."

Bun Beng masih muda, akan tetapi dia telah mempelajari bermacam ilmu silat tinggi di samping ilmu-ilmu silat dari Siauw-lim-pai. Baginya, ilmu silat tertinggi yang pernah dipelajarinya adalah ilmu silat yang dia 'curi' dari tempat persembunyian Ketua Thian-liong-pang, yaitu Ilmu Silat Lo-thian-kiam-sut. Ilmu itu adalah ilmu yang dicurinya dari Ketua Thian-liong-pang yang ternyata adalah isteri Pendekar Super Sakti ini. Kalau sampai diketahui oleh pendekar ini, apakah tidak berbahaya baginya?

Tentu ia dianggap pencuri! Tetapi jika tidak dimainkannya, berarti ia menyembunyikan sesuatu dan membohong kepada dua orang gurunya yang baru ini! Dia mengambil keputusan nekat. Dia tidak sengaja mencuri! Pula, Ilmu Lo-thian-kiam-sut itu mirip dengan Ilmu Sam-po-cin-keng yang ia temukan di dalam goa bersama Sepasang Pedang Iblis, dan ia mempelajarinya tanpa sengaja mencuri!

"Ilmu itu adalah ilmu pedang, akan tetapi teecu tidak mempunyai pedang," jawabnya lirih.

"Kau boleh memakai tongkatku ini!" kata Suma Han.

Bun Beng menerima tongkat itu dengan jari-jari gemetar. Betapa dia tidak akan terharu, bangga, dan gembira hatinya? Dia diperbolehkan menggunakan senjata Pendekar Super Sakti! Setelah menerima tongkat butut itu, dengan penuh keharuan dia mencium tongkat itu, lalu memberi hormat kepada kedua orang itu dan mulailah dia meloncat bangun dan mainkan Ilmu Pedang Lo-thian-kiam-sut. Gerakannya gesit dan ringan bukan main sehingga bagi pandang mata biasa, tubuhnya lenyap terbungkus gulungan sinar yang dibentuk oleh tongkat itu. Angin yang berdesir menyambar dari gerakan tongkat membuktikan betapa sinkang dari pemuda itu sudah amat kuat.

Suma Han dan Bu-tek Siauw-jin memandang dan melongo. Kadang-kadang mereka saling pandang, kadang-kadang menarik napas panjang dan menggelengkan kepala saking kagumnya. Bun Beng bersilat sebaik mungkin, dengan penuh ketekunan. Ketika selesai, dia meloncat turun dari jurus terakhir yang dihabiskan dengan gerak meloncat tinggi sambil memutar pedang yang diwakili tongkat itu, tongkat yang ternyata cocok sekali digunakan sebagai pedang, kemudian dengan hormat menyerahkan tongkat kembali kepada pemiliknya. Napasnya biasa saja, hanya mukanya menjadi merah sekali karena pengerahan tenaga yang cukup melelahkan.

"Ha-ha-ha, dan orang seperti engkau ini kuambil sebagai murid? Ha-ha-ha, aku benar-benar Siauw-jin yang tidak memandang orang! Bocah, ilmu kepandaianmu ini, ilmu pedang aneh yang baru kau perlihatkan, kiranya sudah cukup untuk membuat aku orang tua menjadi mati kutu!"

Bun Beng menjura, "Harap Locianpwe memaafkan teecu, tidak menertawakan teecu yang bodoh dan teecu mohon petunjuk."

"Ahhh, aku tidak main-main. Ilmu pedangmu tadi hebat, kalau ditambah gabungan inti tenaga sakti kami... wah... agaknya suheng-ku Cui-beng Koai-ong sendiri harus tunduk kepadamu!"

"Gak Bun Beng, dari mana kau peroleh ilmu pedang tadi?" Tiba-tiba terdengar suara Suma Han, suaranya tegas dan pandang matanya membuat Bun Beng mengkirik karena seolah-olah dia merasa betapa sinar mata pendekar itu menembus jantungnya!

"Maafkan, teecu mendapatkannya secara tidak sengaja, dari sebuah kitab dan ilmu ini bernama Lo-thian Kiam-sut, hampir sama dasarnya dengan Ilmu Sam-po-cin-keng yang pernah teecu dapatkan pula dalam sebuah goa. Akan tetapi, Ilmu Lo-thian Kiam-sut ini teecu pelajari secara sembunyi dan... dan... mencuri..."

Bu-tek Siauw-jin tertawa bergelak, namun Suma Han kecewa sekali dan dia berkata, "Mencuri? Dari siapa?"

"Dari Ketua Thian-liong-pang."

"Heh...?!" Kedua orang sakti itu terbelalak dan bahkan Bu-tek Siauw-jin sendiri kaget karena tidak menyangka sama sekali.

Bun Beng sudah menjatuhkan diri berlutut dan tanpa menyembunyikan sesuatu dia lalu menceritakan semua pengalamannya sampai dia mempelajari ilmu yang luar biasa, ilmu yang oleh Nirahai sendiri tidak dapat dimainkan itu. Mendengar ini, kembali Bu-tek Siauw-jin tertawa kagum, sedangkan Suma Han menghela napas panjang dan berkata, "Dia tersesat, mencuri ilmu-ilmu orang lain, sedangkan ilmu tertinggi tidak dapat dipelajarinya, bahkan terjatuh ke tangan orang lain. Ini namanya pembalasan! Gak Bun Beng, tahukah engkau, bahwa setelah engkau memiliki Ilmu Pedang Lo-thian Kiam-sut ini, sebetulnya engkau terhitung sute-ku (adik seperguruanku) sendiri? Melihat dasar gerakanmu aku yakin bahwa kitab itu adalah peninggalan Suhu Koai-lojin."

"Ahhhh...!" Bun Beng terbelalak penuh kaget dan kagum. "Teecu... teecu... mana berani...?"

Suma Han tersenyum. Dia merasa makin suka kepada Bun Beng. Jelas bahwa pemuda ini memiliki watak baik, dan ternyata memiliki kepandaian yang hebat pula, hal yang tidaklah mengherankan kalau wataknya demikian sederhana dan merendah.

"Tidak mengapalah, Bun Beng. Tidak ada bedanya apakah engkau menjadi sute-ku, ataukah muridku, ataukah hanya sahabat saja. Apa artinya segala sebutan kosong? Sekarang yang penting, engkau harus benar-benar mengerahkan seluruh ketekunan dan semangatmu, mencurahkan seluruh perhatian untuk menerima gabungan inti tenaga sakti dari kami berdua, hal yang tak mungkin ditemukan oleh orang lain di dunia ini."

Mulailah kedua orang sakti itu melatih Bun Beng. Pendekar Super Sakti menurunkan Hwi-yang Sinkang dan Swat-im Sinkang, dua inti tenaga panas dan tenaga dingin, sedangkan Kakek Bu-tek Siauw-jin menurunkan sinkang dari Pulau Neraka yang telah merubah warna muka semua tokoh Pulau Neraka! Karena pada diri Bun Beng sudah terdapat tenaga sinkang yang mukjizat dari jamur-jamur berwarna yang dimakannya ketika dia berada di dalam goa di bawah tanah tempat persembunyian Ketua Thian-liong-pang, maka Ilmu Tenaga Sakti Inti Bumi yang mukjizat dari Bu-tek Siauw-jin ini tidak mempengaruhi warna mukanya.

Bun Beng yang amat tekun, cerdas dan memang berbakat luar biasa sekali itu, melatih diri siang malam tanpa pernah mengaso dan hanya membutuhkan waktu tiga hari saja untuk mewarisi ilmu gabungan dari dua orang manusia sakti itu! Melihat hasil ini, makin kagumlah Suma Han dan dia lalu memberi petunjuk kepada Bun Beng bagaimana untuk memanfaatkan Ilmu Pedang Lo-thian Kiam-sut itu sebagai ilmu tangan kosong atau dengan menggunakan senjata lain. Biar pun Suma Han sendiri tidak pernah mempelajari ilmu ini, namun karena dasarnya sama dengan ilmu-ilmu yang ia pelajari dari Pulau Es, peninggalan Koai-lojin, ditambah pengetahuannya yang luas akan ilmu silat, dia dapat memberi petunjuk yang amat berharga itu.

Pada hari ke empat, saat Bun Beng sedang tekun berlatih silat dengan tangan kosong, menggunakan tenaga sakti sehingga terdengar suara bercuitan akibat menyambarnya hawa pukulannya yang mengerikan, Suma Han yang berdiri agak jauh bersama Bu-tek Siauw-jin, berkata,

"Dia telah memperoleh kemajuan yang luar biasa."

"Ha-ha-ha, tidak mungkin ada lawannya lagi!" Bu-tek Siauw-jin mengelus jenggotnya, menyesal mengapa pemuda sehebat itu bukan menjadi murid tunggalnya. Dia pun telah mengajarkan Tenaga Sakti Inti Bumi kepada Kwi Hong, namun dara itu tidak dapat menggabungkannya dengan dua tenaga Im-yang dari pamannya, juga bakat dara itu kalah jauh kalau dibandingkan dengan Bun Beng.

"Bu-tek Siauw-jin, sekarang aku hendak pergi."

Kakek itu menoleh ke kiri, memandang wajah pendekar besar yang kini tidaklah keruh dan berduka lagi, bahkan dari sepasang mata yang tajam luar biasa membuat dia tidak berani lama-lama menentangnya itu keluar sinar yang penuh harapan dan gairah hidup yang besar!

"Ke mana kalau aku boleh bertanya? Siapa tahu, kita dapat saling berjumpa pula. Perkenalanku denganmu ini amat menyenangkan dan amat menguntungkan, dan mau rasanya aku menganggap kau sebagai guru karena engkaulah yang telah membuka mata batinku ketika menghadapi teka-teki Maharya, Suma-taihiap."

Suma Han menarik napas panjang. "Hanya kebetulan saja, dan ternyata sifatmu yang polos sederhana itu malah lebih mudah menerima penerangan kebenaran sehingga aku tertinggal jauh. Telah kukatakan, ucapan pemuda yang menjadi murid kita itulah yang membuat aku berterima kasih sekali, yang membuka mataku, menyadarkan aku betapa tololnya selama belasan tahun ini aku telah menempuh hidup. Karena ucapannya itulah aku harus segera pergi menyusul mereka."

"Lulu dan Puteri Nirahai?" kakek itu bertanya.

Suma Han mengangguk. "Persoalan yang rumit dan sukar takkan dapat dipecahkan oleh pikiran yang penuh dengan pengetahuan lama, oleh pikiran yang hanya dapat melamun dan merasa diri terlalu pandai, terlalu bersih. Hanya pikiran yang sederhana, tidak melayang-layang di angkasa khayal, yang dapat menghadapi kenyataan saja yang akan dapat menyelami dan memecahkan serta mengatasi persoalan, seperti yang diucapkan Bun Beng empat hari yang lalu itu. Aku hendak menyusul mereka sekarang juga. Harap kau orang tua yang baik suka mencari Kwi Hong dan suruh dia kembali ke Pulau Es yang akan kubangun kembali bersama mereka."

Bu-tek Siauw-jin mengangguk-angguk dan tertawa. "Engkau masih belum setua aku, Suma-taihiap, segalanya masih belum terlambat. Selamat berjuang dan sampai jumpa pula. Ingin aku bertemu kembali denganmu kelak, di Pulau Es, di samping mereka yang kau cinta."

Akan tetapi tubuh Suma Han telah berkelebat lenyap dari depan kakek itu yang masih tertawa-tawa dan mengangguk-angguk. Sudah puluhan tahun kakek ini tidak pernah mempedulikan dunia ramai, hidup seperti orang sinting dan tidak sudi mempedulikan dirinya sendiri, apa lagi orang lain. Kini bertemu dengan Suma Han, dia tertarik sekali, merasa suka sekali dan kagum sehingga perasaan ini membangkitkan gairah hidupnya kembali.

Bun Beng berhenti berlatih, cepat menghampiri Bu-tek Siauw-jin dan berkata,

"Kemanakah perginya Suma-taihiap tadi, Locianpwe?"

Biar pun dia tadi berlatih tekun, namun pendengarannya cukup tajam untuk mendengar suara berkelebatnya tubuh pendekar itu. Dia tetap menyebut Locianpwe kepada Bu-tek Siauw-jin dan taihiap kepada Suma Han, karena kedua orang sakti ini, yang hanya menurunkan tenaga inti mereka, tidak mau dianggap guru.

"Dia sudah pergi menyusul kedua orang yang dicintanya. Ha-ha-ha, sungguh kasihan sekali dia, merana selama belasan tahun. Dengan bekal pengertiannya yang baru tentang hidup dan pandangan hidup, tentu dia akan dapat berbahagia bersama mereka itu. Sekarang kita pun harus pergi, Bun Beng."

"Ke mana, Locianpwe?"

"Kau bantu aku mencari Kwi Hong ke kota raja. Entah ke mana perginya bocah nakal itu!"

Menurutkan kata hatinya, Bun Beng lebih ingin mencari Milana, akan tetapi karena dia pun tidak tahu ke mana perginya Milana, dan kemungkinan besar masih berada di kota raja, maka kebetulan sekali kalau kakek ini hendak mengajaknya ke kota raja. Tentu saja dia tidak berani menolak setelah mendengar penuturan kakek itu bahwa Kwi Hong adalah muridnya!

Berangkatlah kakek dan pemuda itu dengan gerakan cepat sekali, menuju ke kota raja. Dengan bekal kepandaiannya yang hebat dengan mudah Bun Beng bisa mengimbangi gerakan kaki Bu-tek Siauw-jin yang amat cepat larinya.

Akan tetapi, ketika Bun Beng dan Bu-tek Siauw-jin tiba di kota raja, keadaan di sana sudah sepi. Para pimpinan pemberontak yang dipimpin oleh Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, Koksu yang memberontak itu, telah melarikan diri setelah komplotan yang hendak membunuh Kaisar digagalkan oleh Lulu dan Nirahai. Kini bahkan kedua orang wanita perkasa itu diserahi pimpinan barisan urtuk melakukan pengejaran dan membasmi pasukan-pasukan pemberontak yang sudah dikumpulkan di perbatasan utara.

Bu-tek Siauw-jin yang ugal-ugalan itu masih tidak mau terima. Dia menyelundup ke dalam istana mencari-cari, bahkan memasuki bekas istana Koksu, memeriksa bekas kamar tahanan kalau-kalau murid-nya masih 'terselip' di situ, namun sia-sia belaka karena Kwi Hong tidak dapat ditemukan, bahkan tidak ada seorang pun yang tahu ke mana perginya gadis itu.

Kesempatan itu dipergunakan pula oleh Bun Beng untuk mencari dan menyelidiki tentang Milana, dara yang dicintanya. Akan tetapi juga tidak ada orang yang dapat menerangkan ke mana adanya dara itu, bahkan tidak ada yang mengenalnya. Sebaliknya, hampir semua orang tahu bahwa kini Puteri Nirahai telah kembali ke istana, dan bahwa kini puteri perkasa itu memimpin pasukan besar untuk mengejar dan membasmi pemberontak. Mendengar ini, Bun Beng menduga bahwa tentu dara itu ikut bersama ibunya untuk membantu. Maka dia pun mengajak Bu-tek Siauw-jin untuk melakukan pengejaran ke utara.

"Teecu tahu di mana berkumpulnya kaki tangan pemberontak Koksu itu. Siapa tahu Kwi Hong juga ikut ke sana untuk menonton keramaian membasmi pemberontak," kata Bun Beng.

Kakek itu menggeleng kepala. "Celaka tiga belas Si Koksu dan Si Maharya gila! Ulah mereka mendatangkan perang dan bunuh-membunuh, saling menyembelih antara manusia itu kau katakan tontonan? Benar-benar dunia sudah tua, ataukah manusianya yang tolol semua? Hayolah!" Mereka kembali meninggalkan kota raja menuju ke utara.

Apakah yang telah terjadi dengan Milana? Seperti telah diceritakan di bagian depan, dara itu tidak ikut bersama dengan ibunya untuk mengejar pemberontak ke utara, melainkan ditinggalkan di kota raja. Tadinya Puteri Nirahai menyuruh puterinya itu mencari Pendekar Super Sakti untuk menyerahkan kembali Hok-mo-kiam, akan tetapi ketika dia menerima tugas berat dari Kaisar untuk membasmi pemberontak yang dia tahu dipimpin oleh banyak orang sakti, terpaksa dia meminjam Hok-mo-kiam dari tangan anaknya.

"Biarlah pedang ini kupinjam lebih dulu untuk menghadapi lawan-lawan tangguh itu," pesannya kepada Milana. "Engkau tunggu saja di sini, kalau bertemu dengan ayahmu, ceritakan semuanya dan minta bantuannya untuk menghadapi para pemberontak yang lihai. Juga, kalau engkau bertemu dengan Gak Bun Beng lagi, suruh dia membantu kami di utara. Kami membutuhkan bantuan banyak orang pandai untuk menghadapi para pimpinan pemberontak yang merupakan gabungan orang-orang sakti dari Mongol, Nepal, dan orang Han sendiri."

Setelah menjadi seorang panglima kembali, kini berubah sikap Nirahai, yang terpenting baginya pada saat itu adalah tugasnya. Maka sama sekali terlupalah urusan pribadi, sehingga dia tidak malu-malu untuk memesan Milana minta bantuan Suma Han. Semua demi tugas kerajaan, dan memang beginilah sifat seorang panglima yang baik.

Akan tetapi, nasib buruk menimpa diri Milana. Hati dara ini sudah diliputi kegembiraan besar, bukan hanya kegembiraan kalau dia teringat kepada Gak Bun Beng, pemuda yang dicintanya dan yang juga mencintanya, akan tetapi juga karena adanya harapan yang timbul di hatinya tentang ayah dan bundanya. Kalau mereka itu dapat bersatu kembali, alangkah bahagianya hidup ini, apa lagi di sana ada... Bun Beng!

Dua hari Milana menanti di kota raja. Sebagai seorang cucu Sri Baginda Kaisar yang diakui, apa lagi sebagai puteri dari Panglima Puteri Nirahai, dia amat dihormat dan mendapatkan sebuah kamar yang indah di lingkungan istana, bagian puteri. Namun, darah petualangannya sebagai seorang bekas puteri Ketua Thian-liong-pang, yang sudah biasa bebas merdeka di alam terbuka, tentu saja Milana tidak dapat tahan lama tinggal di lingkungan tertutup itu. Segera dia telah mengenakan pakaian ringkasnya lagi sebagai seorang pendekar, dan melayang keluar dari lingkungan istana bagian puteri itu untuk ke luar dan melakukan penyelidikan kalau-kalau dapat berjumpa dengan ayahnya atau dengan Bun Beng.

Akan tetapi, bukan Pendekar Super Sakti atau Gak Bun Beng yang dijumpai ketika pada sore hari itu dia menyelinap keluar dari istana, melainkan seorang yang amat dibenci dan ditakutinya. Wan Keng In! Baru saja Milana meloncat turun dari atas pagar tembok, tiba-tiba tampak dua sosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu pemuda tampan itu berdiri dengan senyum mengejek di depannya, dan di sebelah pemuda itu berdiri seorang kakek yang amat mengerikan, kakek kurus kering seperti mayat hidup, yang matanya seperti mata boneka tidak bergerak sama sekali. Kakek ini bukan lain adalah Cui-beng Koai-ong!

"Sayur di gunung garam di laut, kalau sudah jodoh pasti akan bertemu menjadi satu, menjadi masakan yang lezat! Ha-ha-ha-ha, adik Milana yang manis, kekasihku yang cantik, calon isteriku tercinta. Dengan penuh rindu aku datang hendak menjemputmu di dalam istana, kiranya engkau telah tidak sabar lagi dan keluar menyambutku. Terima kasih!"

"Manusia iblis! Hayo pergi dari sini! Kalau tidak, akan kukerahkan semua pengawal untuk membunuhmu!" Milana mengancam, namun jantungnya berdebar tegang dan penuh rasa ngeri.

"Hemm, sudah kudengar berita bahwa ibumu, Ketua Thian-liong-pang itu, ternyata adalah Puteri Nirahai dan kini menjadi panglima. Kebetulan sekali, lebih cocok kau menjadi isteriku, engkau cucu Kaisar, dan aku... calon raja di Pulau Neraka. Marilah manis." Tangan Wan Keng In meraih hendak menangkap pinggang ramping dara itu.

Tentu saja Milana tidak sudi membiarkan tubuhnya dipeluk. Dia mencelat ke kanan sambil menggerakkan tangan kiri yang tadi diam-diam sudah mempersiapkan segenggam Siang-tok-ciam (Jarum Racun Wangi). Sinar merah menyambar ke arah dada dan perut Wan Keng In dan agaknya pemuda ini tidak tahu bahwa dirinya diserang, karena dia tidak mengelak, tidak pula menangkis. Hal ini menggirangkan hati Milana karena dia merasa yakin bahwa tentu akan mengenai sasaran dan merobohkan lawannya. Kegirangannya menjadikan kelengahan. Dara ini menjerit ketika pemuda ini melanjutkan tubrukannya, tidak peduli sama sekali akan jarum-jarum yang menembus pakaian mengenai dada dan perutnya, tahu-tahu pinggang Milana telah dipeluknya dan di lain saat tubuh Milana telah menjadi lemas karena ditotoknya!

Sambil tertawa, Wan Keng In mencabut jarum-jarum yang menancap di bajunya, sama sekali tidak melukai kulitnya yang kebal, kemudian memondong tubuh Milana dan dibawanya lari bersama gurunya yang sejak tadi diam saja tidak mengeluarkan suara.

"Haiii! Berhenti...!" Dua orang penjaga istana, pengawal yang menjaga di luar tembok, datang berlari setelah mendengar teriakan Milana. Ketika mereka melihat siapa yang dipondong dan dibawa lari, mereka terkejut dan marah sekali. Ada penjahat menculik cucu Kaisar yang baru dan cantik, puteri dari Panglima Nirahai!

Mereka berdua melupakan keadaan bahwa orang yang dapat menculik puteri itu tentu memiliki ilmu kepandaian hebat. Dengan tombak di tangan mereka berteriak dan mengejar. Wan Keng In dan gurunya belum lari jauh. Karena dua orang pengawal itu melihat Si Kakek berlari di sebelah belakang, otomatis mereka mengerjakan tombak mereka, menusuk ke punggung kakek itu yang agaknya tidak mempedulikan sama sekali.

"Crot! Crot!"

Dua batang tombak itu menusuk ke punggung, agaknya menembus ke dalam, akan tetapi kakek itu tidak roboh, bahkan tiba-tiba tombak itu meluncur ke belakang seperti anak panah, gagang tombak menembus dada dua orang pengawal itu yang roboh seketika, berkelojotan dengan sinar mata penuh keheranan dan kekagetan. Mereka mati dalam keadaan terheran-heran melihat orang yang telah mereka tusuk dan tembus punggungnya itu tidak apa-apa, malah mereka sendiri yang menjadi korban senjata masing-masing.

"Jahanam, lepaskan aku!" Milana meronta-ronta, akan tetapi Keng In hanya tertawa-tawa saja, seolah-olah dia merasa senang sekali dara itu meronta dan menggeliat dalam pondongannya, membuat dia merasa betul bahwa yang dipondongnya adalah benar-benar dara yang dicintanya, yang membuatnya tergila-gila, dara yang hidupnya dan yang selamanya akan menjadi sisihannya, menjadi permaisurinya di Pulau Neraka!

Beberapa orang pengawal terkejut sekali menyaksikan peristiwa itu dari jauh. Mereka segera membunyikan tanda bahaya, sebagian melakukan pengejaran yang sia-sia, sebagian lagi segera melaporkan kepada panglima pengawal di dalam istana. Panglima itu terkejut, terpaksa dengan gemetar melaporkan penculikan atas diri Puteri Milana ini kepada Kaisar.

Tentu saja Kaisar menjadi marah. Baru saja dia mendapatkan kembali puterinya bersama cucunya, dan kini selagi puterinya itu melaksanakan tugas berat membasmi pemberontak, cucunya diculik orang! Dengan suara keras Kaisar memerintahkan kepada panglimanya untuk mengerahkan pasukannya melakukan pengejaran dan membebaskan kembali cucunya. Akan tetapi sebagai Kaisar yang berpengalaman dia pun maklum bahwa penculik itu tentulah bukan orang biasa, dan sewaktu puterinya yang lihai, dan juga Lulu, pergi memimpin pasukan, kiranya di istana tidak ada orang yang boleh diandalkan memiliki kepandaian tinggi menghadapi penculik itu. Maka segera ditambahkannya,

"Cari Pendekar Super Sakti, Tocu Pulau Es. Kalau dia bisa mengembalikan cucu kami, akan kami ampunkan semua dosanya. Umumkan hari ini!"

Panglima mundur dan sibuk melaksanakan perintah Kaisar itu. Akan tetapi mana mungkin mengejar penculik-penculik yang berkepandaian setinggi yang dimiliki Wan Keng In dan gurunya. Sia-sia saja para pasukan pengawal mencari ke sana ke mari. Juga sia-sia saja mereka mencari Pendekar Super Sakti, karena ketika pendekar ini selesai melatih Bun Beng dan datang ke kota raja, dia mendengar akan tugas membasmi pemberotak yang dilakukan Nirahai dan Lulu, maka dia bergegas menyusul ke utara!

Demikianlah, tentu saja sia-sia Bun Beng mencari Milana, dan peristiwa itu memang dirahasiakan oleh Kaisar yang diam-diam berusaha keras untuk dapat membebaskan cucunya kembali dari tangan para penculiknya agar tidak sampai terdengar oleh Puteri Nirahai, puterinya yang keras hati ini. Kalau sampai terdengar oleh Puteri Nirahai, siapa tahu akan akibatnya. Mungkin saja puterinya itu akan meninggalkan tugasnya membasmi pemberontak.....

SEPASANG PEDANG IBLIS (seri ke 7 Bu Kek Siansu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang