03 - Berlanjutnya Perang

5.3K 630 86
                                    

Seharusnya Hinata tidak percaya. Seharusnya Hinata bisa mengandalkan dirinya sendiri. Uchiha itu penipu, ya, seharusnya ia paham.

Kelopak mata sayunya terbuka saat langit mulai berwarna jingga. Sandarannya masih saja empuk, bahkan lebih empuk dari pertama.

Mengucek matanya beberapa kali, Hinata lihat stasiun sudah mulai ramai oleh orang-orang pekerja kantoran.

Eh?

Hinata mengecek jam di pergelangan tangannya. Pukul enam sore. Mampus, pasti ibunya akan marah-marah.

"Kenapa kau tak..." Hinata ternganga, sejak kapan tubuh Sasuke jadi tambun seperti saat ini, "..membangunkanku." gumamnya pelan.

Laki-laki itu memberi Hinata senyuman. Keripik kentang di tangannya sudah habis, ia siap akan membuka bungkus baru sebelum menyapa Hinata, "Halo gadis cantik."

Hinata bergidik dan pergi begitu saja. Sasuke sialan. Awas saja jika mereka kembali bertemu, Hinata akan balas dengan sesuatu yang lebih lagi.

Menggerutu sepanjang jalan, Hinata keluar dari stasiun dan kembali ke halte bus depan sekolahnya. Andai saja ada bus jurusan ke rumahnya, Hinata tidak akan menyusahkan kakaknya.

"Nii-san, bisa jemput aku. Aku sendirian dan ketinggalan kereta." Hinata berbicara dengan ponselnya yang tersambung dengan Neji.

"Baiklah. Aku akan menunggu di mini market depan sekolah." selesai, Hinata menyimpan kembali ponselnya.

Berbeda dengan siang hari, keadaan sekolah di malam hari nampak lebih menyeramkan dari pada rumah sakit. Gelap dan sunyi. Hinata bergidik lagi lalu berlari menyebrang jalan untuk masuk ke dalam mini market.

Sementara di stasiun, Sasuke celingukan tidak menemukan Hinata dimana-mana. Orang gendut yang tadi ia suruh menjaga Hinata sebentar juga sudah tidak ada.

Sial. Baru di tinggal sebentar untuk buang air kecil saja Hinata sudah kabur. Sekarang tinggal Sasuke sendirian. Padahal tadi ia sengaja tidak membangunkan Hinata agar bisa membuat gadis itu bergantung padanya.

Tapi lagi-lagi sial. Hinata kembali mengerjainya.

"Awas kau, Hyuuga." geramnya.

.
.
×××
.
.

Shikamaru menatap malas gadis yang tengah tiduran di atas ranjang miliknya. Mereka tetangga, jadi setiap kali Hikari marah-marah pasti Hinata akan kabur ke kamarnya. Sudah dari dulu selalu seperti itu.

Hinata bukan tamu, tentu saja. Karena ia selalu masuk ke dalam kediaman Nara dengan memanjat dinding menggunakan tangga lalu masuk lewat jendela kamar Shikamaru.

"Kau tahu ini kamar laki-laki, Hinata?"

Menoleh malas, Hinata duduk, "Kalau kau menggerai rambutmu, aku tidak percaya kau laki-laki, Shika-chin."

Shikamaru mendekat, "Paling tidak gunakan bra saat kau sedang bersamaku, kita sudah sama-sama besar. Aku punya sesuatu yang tidak mungkin bisa kutahan jika terus-terusan kau suguhi."

Hinata berdecih dan mendorong tubuh Shikamaru menggunakan kakinya. Tidak peduli, ia kembali tertidur memeluk guling milik Shikamaru, "Aku sudah bilang pada Yoshino baa-san akan tidur disini malam ini. Jadi, keluarlah." gadis itu mengusir Shikamaru dengan kakinya.

Dasar.

Hinata tidak pernah berubah. Sejak dulu selalu menjadikan Kiba dan Shikamaru seperti babu. Tidak masalah sebenarnya, karena Hinata juga sering mereka jadikan babu dulu. Yah, inti dari pertemanan mereka awet hingga saat ini memang karena babu membabukan.

Tidak mau kalah, Shikamaru juga ikut tiduran. Menarik selimut dan memeluk guling yang sama dengan Hinata.

"Kyaa... Apa yang kau lakukan. Bagaimana jika aku hamil?!"

Masa Bodo.

Shikamaru tidak memperdulikan teriakan Hinata yang langsung loncat dari atas tempat tidurnya. Ia hanya libur beberapa bulan disini dan harus kembali lagi ke Canada jika liburnya telah habis. Jadi ia harus puas-puaskan diri untuk tidur nyaman di ranjangnya sendiri.

Menghentak kaki kesal, Hinata keluar lewat jendela kamar Shikamaru lalu mengendap-endap hingga memanjat kain seprai yang sudah ia ikat untuk masuk ke kamarnya sendiri.

Jujur saja, hanya Hiashi yang sanggup mendengar semua ocehan sang nyonya Hyuuga jika sedang marah. Hinata dan Hanabi lebih baik kabur dari pada pekak telinga.

Bruk.

Hinata loncat terlalu jauh hingga mendarat dengan tidak pas. Lututnya lecet dan sikunya juga, "Sial." makinya parau.

Mengabaikan rasa sakitnya, Hinata mematikan lampu lalu berlari menuju ranjangnya. Menutup tubuhnya dan tidur.

.
.
×××
.
.

Pagi-pagi sekali Hinata sudah sampai di kantin sekolah. Kantin masih belum buka dan Hinata sanggup untuk menungguinya hingga buka.

Ia sengaja bangun cepat. Mandi cepat-cepat dan meminjam motor pekerja kebun rumahnya. Dengan hanya bermodal helm, Hinata sampai di sekolah dengan selamat. Motor butut milik pekerja kebunnya ia parkirkan dengan rapi di pojok paling pinggir.

Dari pada mendengar Hikari ngomel sepanjang pagi, Hinata lebih baik kabur.

Uang sakunya masih cukup untuk makan di kantin, jadi sambil menidurkan kepalanya, ia menunggu hingga makanan yang ia pesan datang.

Shino yang kebetulan adalah anak dari penjaga kantin mendekati Hinata. Menoel-noel bahu gadis itu hingga bangun.

"Ada apa, Shino-kun. Mana makananku?" raut malas yang Shikamaru sekali, Hinata keluarkan saat tahu tangan Shino kosong dari makanan.

"Kudengar kau berkelahi dengan Sasuke-senpai ya?"

Hinata bersidekap, mata ngantuknya nampak jelas sekali, "Hng." hanya itu jawaban yang ia berikan.

"Kau harus hati-hati, Hinata. Kau tahu dia itu monster."

Hinata mengangguk dua kali dan tidur lagi. Jika Sasuke adalah monster, maka Hinata adalah induk monsternya. Diam-diam ia menyeringai. Pagi ini ia sudah menyempatkan diri untuk mengerjai senior tidak tahu diri itu karena sudah meninggalkannya di stasiun.

Di kediaman Uchiha, Sasuke yang baru saja siap mandi, bersin beberapa kali dan membuat hidungnya tak nyaman.

Shino menepuk bahu Hinata beberapa kali, "Jangan libatkan aku jika terjadi apa-apa padamu, Hinata."

Hinata membuat tanda OK dengan jarinya. Dan ia kembali tidur di meja kantin.

.
.
×××
.
.

Sasuke menatap jijik pada benda yang ia temukan di lacinya. Sebuah test pack yang ada dua garis merahnya. Lengkap dengan kertas bertulisan :

Aku hamil anakmu, Sasuke-kun.
Bertanggung jawablah.

Sasuke meremas kertas tersebut geram. Naruto yang sejak tadi mencuri pandang juga tidak percaya dengan apa yang Sasuke dapatkan.

Jangankan itu-ituan, berciuman saja Sasuke hampir mati dibuatnya. Pemuda itu jijik dengan bibir perempuan, Naruto tahu itu.

Tapi ini. Si bungsu Uchiha menghamili anak orang?

Naruto menggeleng dramatis, "Aku tidak menyangka, Sasuke."

"Bukan aku."

"Jelas-jelas disitu tertulis namamu."

Sasuke berdiri dan langsung meninju perut Naruto, "Kubilang bukan aku, ya bukan aku." katanya mendesis.

"Oy, teme. Kau pikir aku ini samsakmu."

"Memang, kan?" tanpa rasa kasihan, Sasuke berlalu. Pagi-pagi begini sudah ada saja yang membuatnya meradang.

:
:
:

++ TBC ++

:
:
:

See You
Hildegard Moe

ANTAGONIS [SasuHina]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang