Sudana Bagian 1

71.8K 710 42
                                    

Setahun sudah berlalu sejak Pak Sudana memutuskan untuk tinggal bersama dengan Dimas, merajut hari-hari kebersamaannya berdua. Dengan penuh kesabaran Pak Sudana mendampingi Dimas di hari-hari yang dilaluinya bersama. Bukan hal yang mudah karena usaha Dimas melupakan Ujang terkadang membuat Pak Sudana harus menarik napas, menahan kesabarannya. Tapi rasa sayangnya pada Dimas yang terus tumbuh dan berkembang membuatnya mampu bertahan.

Dimas sendiri berusaha keras untuk bisa menjalani hari-harinya yang baru yang dilaluinya bersama Pak Sudana sekarang. Masa-masa awal ketika mereka berdua atau lebih tepatnya Dimas yang memutuskan untuk pindah dan kemudian mengontrak sebuah pavilion kecil, bukanlah masa-masa yang penuh dengan kelancaran. Ada masa-masa dimana Dimas tiba-tiba teringat akan kenangannya bersama Ujang dan itu terkadang membawa kadar emosi dalam dirinya naik. Dimas bukan tak bersyukur ada Pak Sudana yang sekarang mendampinginya , Dimas sangat berterima kasih dan begitu mengagumi kesabaran yang dimiliki oleh orang yang kini selalu ada disampingnya setiap saat.

Kehidupan di kantor pun berjalan dengan sangat baik. Seperti dulu waktu berhubungan dengan Ujang, tak ada seorang pun dikantor yang mengetahui hubungan mereka. Pergi dan pulang ke kantor tidak pernah bersamaan. Apalagi Pak Sudana yang sekarang sudah menjadi ketua keamanan di kantor Dimas dan kerjanya pun mengikuti shift yang ada.

Satu-satunya orang yang mengetahui dimana Pak Sudana tinggal adalah Yoga, anak muda yang bekerja sebagai satpam di kantor yang sama dengan Dimas dan Pak Sudana bekerja. Anak buah Pak Sudana. Bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan bahwa Yoga akan membocorkan rahasia hubungan mereka berdua karena Pak Sudana sangat percaya pada anak buahnya yang satu ini. Yoga adalah didikan dan orang kepercayaan Pak Sudana, anak didik yang mampu mengemban apa pun tugas yang diberikan oleh Pak Sudana baik itu untuk urusan kantor ataupun bukan.

Terkadang Yoga datang ke tempat tinggal Dimas dan Pak Sudana untuk bertemu dengan Pak Sudana, melaporkan hal-hal yang telah selesai dikerjakannya jika memang ada tugas yang harus diselesaikan. Dimas sendiri jarang ikut duduk bersama jika Yoga datang, bukan karena dia tidak suka Yoga tapi Dimas menghargai wilayah pribadi Pak Sudana yang menurutnya itu adalah hak Pak Sudana. Belajar dari pengalaman bersama Ujang yang membuat hubungannya kandas karena berusaha menolong menyelesaikan masalahnya, Dimas kini lebih banyak menjauh jika hal itu tidak berhubungan dengan dirinya.

Dimas setelah kembali mendapat promosi ditempat kerjanya sebagai direktur muda di kantornya yang sekarang setelah Pak Tri atasannya sepenuhnya dipindah ke luar pulau, tetap menempati ruangannya di lantai tiga. Hanya saja kini dia tak sendirian menghuni lantai tiga. Dia di lantai tiga sekarang bersama dengan Finance & Accounting Managernya dan juga HRD Managernya. Dimas memutuskan kedua managernya itu untuk pindah menemaninya di lantai tiga.

Sementara itu proyek gedung di sebelah kantornya telah memasuki masa-masa selesai, menurut perkiraan dari Project Managernya tinggal memakan waktu sekitar 6 bulan lagi, setelah itu semua akan pindah ke kantor baru tersebut termasuk kantor utamanya. Semua adalah kesepakatan dengan prinsipalnya dari Jepang bahwa semua harus ada dalam satu gedung untuk memudahkan komunikasi dan juga konsolidasi kerja.

Siang itu hari Minggu seperti biasa Dimas menghabiskan waktunya di pavilion yang dikontraknya. Pak Sudana sendiri hari itu dinas masuk pagi, Dimas melarang Pak Sudana untuk mengambil hari libur pada hari Minggu supaya orang-orang di kantor tidak curiga. Kekhawatiran yang berlebihan menurut Pak Sudana tapi karena rasa sayangnya Pak Sudana lebih banyak menurut dan tidak mau berdebat.

Teras pavilion adalah tempat favorit Dimas di sore pada saat libur atau di malam hari menjelang tidur, tempat dia duduk menikmati secangkir kopi sambil terkadang membaca buku atau sekedar bermain game di telepon tangannya.

Jarak dari teras pavilion ke gerbang utama cukup jauh, ada sekitar 500 meter. Paviliun ini sendiri bagian dari rumah tua yang jarang ditempati oleh yang punya karena yang punya rumah dan pavilion itu adalah seorang ibu yang sudah tua dan lebih banyak menghabiskan waktunya di luar negeri tinggal bersama anak satu-satunya. Terkadang tiga bulan sekali yang punya rumah pulang, Bu Panji ini sangat sayang pada Dimas dan Pak Sudana, sepertinya dia mengerti hubungan yang terjadi antara Dimas dan Pak Sudana tapi ibu ini tak pernah membahasnya. Setiap kali dia pulang dari luar negeri, dia selalu mengundang Dimas dan Pak Sudana untuk makan malam di rumah hampir setiap hari. Dia senang Dimas dan Pak Sudana tinggal di paviliunnya selain rumahnya ada yang menjaga, dia juga menitipkan kunci rumahnya kepada Dimas untuk dicheck sesekali jika dia sedang di luar negeri, yang mana Dimas dan Pak Sudana seminggu atau dua minggu sekali mengecheck ke dalam rumah dan membereskan serta membersihkan rumah tersebut. Pada kepulangannya terakhir Bu Panji mengatakan kepada Dimas dan Pak Sudana bahwa kemungkinan dia baru akan kembali lagi ke tanah air setahun lagi, dia mengatakan kepada Dimas dan Pak Sudana pada saat makan malam bahwa menantunya meminta dia untuk pulang ke Indonesia setahun sekali saja karena khawatir akan umur yang sudah tua dan juga kesehatannya. Bu Panji juga mengatakan pada Dimas untuk tidak perlu lagi memperpanjang kontrak pavilion, mereka berdua boleh tinggal di pavilion sampai kapan pun. Tentunya kabar ini disambut gembira oleh Dimas dan Pak Sudana karena sesungguhnya mereka sudah menganggap pavilion itu seperti layaknya rumah sendiri. Kecintaan Dimas dan Pak Sudana pada pavilion dan rumah utama dilihat dan dirasa oleh Bu Panji, inilah yang menyebabkan Bu Panji memutuskan untuk membebaskan biaya kontrak kepada mereka berdua.

Dimas sedang duduk di teras pavilion menikmati kopi yang baru saja dibuatnya sambil menunggu Pak Sudana pulang. Biasanya kalau masuk pagi di hari Minggu, Pak Sudana sampai di pavilion jelang maghrib. Entah kenapa ada perasaan tidak nyaman saat dia duduk di kursi kesayangannya di teras pavilion sore itu. Beberapa kali dia melihat seseorang lewat didepan pintu gerbang utama. Seseorang yang memakai topi yang dibenamkan begitu dalam sehingga menghalangi mukanya. Walau jarak yang cukup jauh itu dari teras ke gerbang, Dimas dapat mengenali topi yang sama yang bolak balik lewat. Perasaannya tidak enak seperti ada orang yang sengaja mengintai dan ingin dilihat oleh orang yang diintainya.

Dimas kemudian memutuskan untuk menelepon Pak Sudana dari telepon tangannya. Tiga kali panggilan tak dijawab, mungkin sedang di motor dalam perjalanan pulang, pikir Dimas dalam hati, dia terus berdoa agar Pak Sudana segera tiba.

Doanya terkabul, tak lama kemudian tampak motor berhenti didepan pintu gerbang lalu setelah itu mendorong membuka pintu gerbang. Dilihatnya Pak Sudana menaiki motornya kembali mengarah masuk ke halaman lalu berhenti ditempat biasanya dia memarkirkan motornya setelah itu menutup dan mengunci pintu gerbang.

Pak Sudana berjalan ke teras.

"Udah mandi, 'yang?"

"Belum, bang, lagi ngopi dan nunggu abang."

"Kok mukanya agak pucat, kamu sakit, 'yang?"

"Eenng-ggaak. Masa sih?"

Pak Sudana kemudian memegang dahi dan leher Dimas dengan tangannya. Dirasakannya badan Dimas biasa saja tidak panas ataupun dingin.

"Angin kali. Di kantor udah mendung, bentar lagi kayaknya kesini tuh mendungnya. Bakalan hujan kayaknya. Ayo masuk, 'yang."

Dimas kemudian bergegas mengikuti Pak Sudana masuk ke dalam pavilion setelah masuk sebelum dia menutup pintu, dia melihat lagi ke gerbang. Tampak seseorang berdiri didepan gerbang, kali ini orang tersebut menatap ke arahnya. Dimas bergidik, buru buru didorongnya pintu dan dikuncinya.

"Mau mandi bareng nggak, 'yang?"

"Iyaa, bang, sebentar, aku nyusul."


SUDANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang