Di bab ini ada imaginary cast versi penulis. Jangan lupa tekan tanda bintang untuk Gweny dan Virgo, ya ^_^
***
"Yah, yah ... ini kenapa?" gumam Gweny. Ia merasakan kayuhan yang begitu ringan, tetapi tidak menarik kedua roda sepedanya untuk terus berputar.
Kaki kiri Gweny menapak aspal, lalu menunduk untuk melihat apa yang terjadi pada kayuhan. Merasa tidak ada yang rusak, ia pun turun dari sadel dan minggir. Gweny menurunkan standar, lalu jongkok untuk memutar kayuhannya.
"Haah, ada-ada aja, sih!" gerutunya ketika hal yang sama terjadi.
Bagaimana ia bisa segera sampai ke sekolah jika kedua rodanya saja tidak bisa berputar ketika dikayuh? Gweny berpikir beberapa saat, lalu mendapatkan satu cara yang begitu saja terlintas. Tangan kanannya mengambil sebuah batu untuk memukul bagian gear rantai. Entah kenapa, ia merasa de vaju ketika melakukannya.
Gadis itu menghentikan gerakan ketika sebuah motor sport biru metalik berhenti tepat di depannya. Ia pun mendongak dan melihat seorang cowok tengah membuka helm full face-nya. Rambut hitam ikal yang mulai terlihat panjang sedikit acak-acakan.
"Kenapa sepeda lo?"
Gweny menatap kayuhan sepedanya dan menjawab, "Loss gear atau apalah, gue enggak paham."
Cowok itu pun mengedarkan pandangan ke sisi kanan-kiri jalan untuk mencari bengkel. Namun, jarak tempat tersebut tidak terjangkau oleh pandangannya. "Bareng gue aja, yuk!" ajaknya kemudian.
"Hah?" Gweny mendongak.
"Keburu siang ini."
"Bentar!" sahutnya, lalu memutar kayuhan sepeda. Ia berharap usahanya tidak sia-sia dan ternyata memang berhasil. "Eh, ini udah bisa!"
Devan melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul setengah tujuh. "Kalau sepeda lo rusak lagi di jalan gimana?"
"Yee, lo jangan ngomong jorok gitu, dong!" Gweny berdiri dan mengambil tas ranselnya di keranjang sepeda. Dalam kamus pribadinya, kata "jorok" juga berarti hal negatif yang belum tentu terjadi dan sebaiknya tidak diucapkan.
"Jangan keras kepala, deh, lo! Buruan naik! Sepeda lo masukin bengkel di pinggir jalan aja nanti biar bener-bener sehat."
Gadis itu berpikir sesaat untuk memperhitungkan usulan tersebut, lalu menurut. Bagaimanapun juga, ucapan Devan ada benarnya. Ia tidak ingin ambil risiko telat di pelajaran pertama, yaitu Matematika.
"Devan, pelan-pelan, dong! Sepeda gue takut lepas, nih!" Meskipun mereka tidak sedang melintas di jalan raya—yang pastinya bising, apalagi jam pergi kantor seperti ini—, Gweny tetap berteriak untuk memastikan cowok tersebut mendengarnya. Ia duduk di jok belakang dengan tangan kiri memegang stang sepeda.
Devan terkekeh kecil ketika menangkap kalimat kedua Gweny. Ia pun sedikit memelankan laju motornya hingga tiba di bengkel yang jaraknya hanya sekitar setengah kilometer dari SMA Bintang Nusa. Mereka tiba di sekolahan ketika jarum jam berada di angka sembilan.
"Dev, makasih, ya?" Gweny tersenyum tulus setelah kedua kakinya menapak tanah.
"Sama-sama," jawabnya, lalu mengegas motor untuk masuk di barisan parkir.
Ketika gadis berambut cokelat gelap itu tiba di kelas, Franda tengah asyik mengobrol bersama dua temannya mengelilingi meja guru sambil memainkan penghapus whiteboard.
"Gwen!" seru Hilda yang berdiri menghadap pintu dan berada di sisi kiri Franda.
"Assalamu'alaikum." Gweny menyahut seruan Hilda sambil berjalan mendekat. Ia menyalami ketiganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Time
Teen FictionKesabaran Gweny habis hanya karena satu orang di kelasnya, yaitu Virgo. Banyak teman-teman Gweny yang menjadi korban ke-playboy-an Virgo. Sebagai pribadi yang memiliki empati tinggi dan tanggung jawab sebagai ketua kelas, Gweny tidak bisa diam saja...