Bab 5. Rahasia

78 6 6
                                        

Gweny mengaga lebar mendengar satu pertanyaan yang baru saja keluar dari mulut Virgo. Ia menatap penuh selidik tepat ke iris mata bronze itu. Setelah dua hari dibuat penasaran karena Virgo menunda-nunda pertanyannya, kini ia justru ingin tahu lebih dalam. Sebuah pertanyaan besar melingkupi batinnya.

Virgo mendorong pelan wajah Gweny menggunakan telapak tangannya. "Heh, jangan bengong! Lo kesambet, gue ribet."

"Ah! Lo ...." Gadis kuncir kuda itu menangkis lengan Virgo. "Tangan lo banyak kumannya. Sembarangan pegang-pegang muka gue. Lagian siapa suruh nemuin lo di belakang lab kimia begini?"

Virgo menahan tawa karena melihat Gweny cemberut. "Jawab gue cepetan!"

"Lo yang jawab pertanyaan gue dulu." Gweny melemparkan tatapan menantang. "Kenapa lo nanya rubik itu?"

Virgo tidak segera menjawab. Ia menggaruk alis kanannya sambil berpikir untuk mencari alasan palsu yang dapat diterima Gweny. Kedua matanya beralih menatap pohon akasia setinggi lima meter yang dibelakangi gadis itu. Sebenarnya, inilah alasannya menunda bertanya-Gweny akan balik tanya.

"Rubik itu ... lo nyuri, ya?" Ia melirik Gweny yang seketika melotot.

"Sembarangan lo ngomong! Udah, ah! Gue mau balik." Gadis itu memutar badan sembilan puluh derajat ke kiri, tetapi Virgo segera mencekal pergelangan tangan kanannya. Ia pun mendongak.

"Apa gue perlu berlutut dan minta lo jadi pacar gue?" Virgo menatapnya menggoda.

"Ha! Gila, lo? Enggak nyambung, Oon," sahut Gweny sambil menghempaskan cekalan itu.

Begitu terlepas, ia meninggalkan Virgo begitu saja dan berjalan menuju kelas. Jam istirahat hampir selesai dan dirinya belum sempat makan. Ini semua gara-gara Virgo tentunya.

Gweny berjalan menyusuri koridor lantai satu sambil mengumpulkan rambut panjangnya untuk diikat. Rasanya begitu gerah setelah mereka berdua bicara. Ia perlu sesuatu yang bisa mendinginkan suhu tubuhnya. Sebuah nama pun muncul di kepalanya. Segera ia mengirim pesan pada orang itu untuk membawakannya susu kedelai.

"Hei!" teriaknya sebelum berhasil mengetik satu huruf pun. Ia merasakan seseorang menarik kuncir kudanya. Hanya satu orang yang selama ini berani melakukan itu padanya.

Ia menoleh ke kiri dan melihat sosok cowok setinggi 183 centimeter berjalan melewatinya dengan wajah tanpa dosa. Cowok itu tidak menghiraukan teriakannya dan terus bergerak ke depan. Wajahnya memerah menahan kesal ketika melihat sebuah benda lentur putih tengah diangkat tinggi-tinggi oleh Virgo.

"Virgo!" geramnya tertahan. Ingin berteriak kesal saat ini juga, tetapi sadar bahwa ia sedang berdiri di depan perpustakaan. Akhirnya, ia hanya menatap punggung tegap itu dan berjalan beberapa meter di belakangnya.

Begitu langkahnya tiba di pintu kelas, Gweny menghela napas pendek karena melihat kursi Franda masih kosong. Masih ada sisa waktu tiga menit dan dirinya sudah tidak ada mood untuk memakan sesuatu. Ia pun memutuskan duduk dan menenggelamkan wajahnya ke lipatan lengan di atas meja. Sementara itu, sosok Virgo belum terlihat karena mampir ke kelas IPS di mana pacar barunya berada.

Gweny mengangkat kepala saat sesuatu yang dingin terespon oleh indra peraba lengannya. Dahinya mengernyit ketika melihat sebotol susu kedelai ada di hadapannya. Ia menoleh dan mengikuti gerak sosok yang meletakkan minuman itu.

"Apa nih?" Gweny memutar badan ke kanan.

"Makanan buat lo," sahut cowok itu cuek dan tanpa menatap Gweny.

Mata gadis itu menyipit curiga. Jari telunjuknya mengarah ke wajah cowok blasteran Indonesia-Jerman itu. "Lo enggak lagi nyogok gue buat jawab pertanyaan enggak bermutu lo tadi, kan?"

Our TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang