Bab 4. Peringatan Pertama

75 7 4
                                    

Happy watching and reading

***

Gweny memiringkan kepalanya yang bebas dari helm untuk lebih dekat pada telinga Devan. Membuat poninya yang di atas alis semakin terbelah karena angin. "Jangan bilang lo enggak tau!"

Butuh beberapa menit baginya untuk mendengar jawaban dari mulut Devan. "Enggak tau."

"Gue enggak percaya. Lo sama Virgo udah deket dari SMP dan kayak kembar, tapi beda. Enggak mungkin dia enggak cerita apa-apa ke lo." Gweny tidak bisa menerima kalimat tersebut begitu saja.

Gadis itu menatap bahu Devan dan berharap mendapat jawaban yang diharapkan. Namun, tidak ada satu kata pun yang terdengar setelah lima menit berlalu.

"Devan, jawab, ih!" Ia memukul bahu kanan cowok tersebut.

"Kenapa nanya gue?" Devan memelankan laju motornya dan sedikit menepi.

"Ya lo kan deket sama dia."

"Kenapa nanya itu?"

Gweny mengatupkan bibir rapat-rapat dan memutar otak untuk mencari jawaban yang tepat tanpa mengundang curiga. Bagaimanapun juga, Devan belum boleh tahu rencananya secepat ini. Sibuk mencari alasan membuatnya tidak sadar bahwa Devan sudah membelokkan laju motor ke kiri setelah melewati beberapa pertigaan dan satu perempatan menuju rumah.

Devan sengaja tidak membuka suara untuk menuntut jawaban dari gadis di belakangnya. Ia menghentikan motor tepat di depan gerbang tinggi berwarna putih.

"Makasih, ya?" Gweny menepuk pundak Devan sembari tersenyum, lalu turun.

Cowok itu mengangguk dan melambaikan tangannya sebagai jawaban. Kemudian, memutar arah menuju perempatan lagi dan belok kiri ke arah rumahnya.

Gweny merasa telah meninggalkan sesuatu yang penting ketika kakinya menapak halaman rumah yang sedang disapu oleh Bi Sumi. Ia menekuk lengan di depan dada dan kedua ujung jari telunjuknya saling mengetuk; sementara otaknya berusaha mengingat sesuatu.

"Ah, iya! Sepeda gu—aduh!" Ia tidak memperhatikan jalan dan akibatnya tersandung kaki sendiri.

"Non!" Bi Sumi yang melihat langsung melepas sapu begitu saja dan berlari menghampiri gadis itu.

Gweny dengan sigap menahan berat badannya menggunakan kedua lengan. Namun, ubin tanah liat yang membuat halaman rumahnya bernuansa rustik beradu dengan lutut kanan dan meninggalkan goresan merah.

"Ssh ... eh, enggak apa-apa, Bi!" ucapnya ketika wanita berusia empat puluh tujuh tahun itu akan membantunya berdiri.

Bi Sumi menunduk untuk melihat lukanya. Ia memegang lengan kanan Gweny dan berkata, "Bibi obatin dulu, yuk, Non!"

"Eeh! Enggak usah, Bi. Bi Sumi terusin aja nyapunya. Kata Eyang Putri, pamali kalau nyapunya enggak tuntas." Gweny menarik lengannya, lalu berjalan masuk ke rumah.

Mila—neneknya yang keturunan orang Solo—memang sering menasihati Gweny tentang ini-itu yang kurang baik. Seperti dulu ketika ia lapar, tetapi terlalu lelah untuk ke ruang makan. Ada camilan yang memang disimpan di kamar untuk stok, maka ia memakannya sambil tiduran. Kemudian, Mila—jika melihat—akan menasihati untuk tidak melakukannya karena akan menimbulkan kemalasan. Gweny menurut, tetapi juga penasaran.

Akhirnya, rasa penasaran Gweny terpercahkan ketika dengan sengaja mencari artikel tentang itu. Makan sambil tiduran membuat asam lambung naik dan memperlambat sistem kerja pencernaan. Ah, ia tahu itu! Pantas saja setelah itu perutnya terasa begah. Sejak itu, ia pun menuruti semua nasihat-nasihat Eyang Putri meskipun alasannya tidak ilmiah.

Our TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang