16 : Surat dari Irene

601 65 11
                                    

•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•••

Jonatan Christie POV

Aku merogoh dompetku yang berada di saku dan mengambil fotoku dan Irene saat pertama kali kita jadian.

Ku tempelkan foto ini di halaman terakhir, dimana aku menuliskan sesuatu untuknya. Segera ku mengambil ranselnya dan memasukkan Joo story ini ke ransel miliknya. Lalu aku menaruhkan kembali seperti semua.

Irene menguap dan ia berhasil terbangun dari tidurnya. Aku terkejut, hampir saja ketahuan. "Udah sampe ya Jo?" Tanya Irene.

Aku mengangguk, "Iya, barusan aja sampai." Kataku bohong. Padahal mobil yang membawa kita berdua sudah berada di parkiran sejak 1,5 jam yang lalu.

"Ya Tuhan, udah jam 10 aja!" Pekiknya. Aku terkekeh melihat ekspresi terkejutnya.

"Aku turun ya Jo? Makasih banyak udah mau nganterin." Katanya lembut.

Ah, ini nih yang buat gue melted.

Aku mengangguk. "This is a pleasure. Maaf ya gak bisa nganterin kamu sampai kamar." Kataku.

"Gapapa kok, aku bisa sendiri. Kamu hati-hati ya balik ke Pelatnas. Jangan ngebut, kamu buk—"

"—Bukan kucing yang nyawanya sembilan? Iya iya, bawel banget kamu." Aku memotong pembicaraannya. Irene pun terkekeh. Lalu ia membuka pintu mobil.

Ia mengurungkan niatnya untuk keluar dari mobilku. "Ada yang ketinggalan?" Tanyaku memastikannya.

Irene menatapku dalam. Tiba-tiba ia mendekat dan memelukku. "Terima kasih sudah menjadi sosok yang ku cinta setelah ayah." Lirihnya dalam pelukan ini.

Aku terpaku diam dan tersenyum tipis mendengarnya. Lalu, Irene segera melepas pelukannya.

Ia membuka resleting ransel bagian depan. Dan mengeluarkan secarik kertas. "Aku taruh disini, kamu bacanya nanti aja ya pas udah sampai di Pelatnas. Aku pamit dulu Jo." Ia menaruh kertas itu di dashboard mobilku dan ia keluar dari mobil ini.

Aku turut keluar dari mobil dan menariknya dalam dekapanku. "Sebentar aja. Please." Lirihku.

Aku memejamkan mata dan menikmati hangatnya pelukannya. Irene diam tak berkutik.

Cukup lama aku memeluknya, aku melepaskannya dari dekapanku. "Kamu jaga diri ya." Katanya dengan senyuman manisnya.

Aku mengangguk. Lalu, aku memegang kedua pipinya dan mendekatkan bibirku pada dahinya.

Faith • Jonatan ChristieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang