My Brother

6.9K 477 13
                                    

"Jangan bercanda!" Jin berteriak tidak percaya. "Apakah ayah serius akan meninggalkannya di sini?"

Tuan Kim menghela nafas berat dan meletakkan tangan kasarnya di bahu putranya. "Kami juga tak ingin, tapi dia membutuhkan biaya pengobatan. Kau tahu itu, kan?"

Jin menggigit bibirnya menahan emosi. Otangtua mereka akan meninggalkan mereka, hanya untuk perjalanan bisnis. Sejujurnya, jika itu hanya dirinya sendiri, Jin akan baik-baik saja. Tapi sekarang, mereka akan pergi-

"Hyung, tolong jangan marah," kata suara lembut dari belakangnya. Jin menghela napas dan berbalik untuk menghadapi adik laki-lakinya yang mengenakan kemeja lengan panjang dengan garis-garis biru dan putih. "Mereka harus bekerja"

"Lihat, Jimin saja tak keberatan," kata Nyonya Kim lirih dan berjalan ke arah putra bungsunya. "Berjanjilah padaku kau akan baik baik saja, oke? Eomma tidak ingin buru-buru kembali ke Korea"

Samar samar Jin menyadari bagaimana bibir bawah Jimin bergetar sebelum dia memberikan senyum lembut, senyum palsu yang hanya bisa disadari Jin.

"Aku akan berusaha"

Senyum Nyonya Kim bergetar sesaat sebelum dia berbalik ke arah pintu dengan suaminya, menyeret koper hitam besar bersamanya. Mereka melambaikan tangan sebelum keluar dari ruang apartemen, tuan Kim menutup pintu di belakangnya setelah memandang penuh maaf pada putra sulungnya.

Kedua anak laki-laki itu terdiam sesaat sebelum Jin menggeram pelan.

"Bukankah kau seharusnya beristirahat?" Tanya Jin, melihat adik laki-lakinya dengan tajam. "Atau apakah aku harus memaksamu duduk di kursi roda lagi?"

"Hyung, aku sudah 17 tahun, aku bukan bayi lagi" balas Jimin, menyilangkan kedua lengannya, matanya menantang.

"16" Jin mengoreksi. "Dan kau masih bayi bagiku. Lagipula, hanya ada kita berdua sekarang"

Jimin memutar bola matanya dan duduk di sofa, meletakkan tangan di antara kedua kakinya. "Aku ragu hyung bisa mengurusku. Maksudku, hyung kan bisa bergaul dengan teman gengmu. Lalu siapa yang akan mengurusku di rumah?"

Jin tampak berpikir "Uh ... mungkin tetangga kita?"

"Aku yakin yang ingin hyung lakukan adalah merayu putrinya," balas Jimin, sambil mengambil ponselnya. "Lagipula, dia membuatku serangan jantung"

"Tidak lucu, Jim!"

"Kenapa? Tidak bisa diajak bercanda?" Jimin menyeringai sambil melihat-lihat video miliknya. "Dan lagi, tak ada yang bisa hyung lakukan tentang hal itu. Karena akulah yang sekarat di sini."

Jantung Koroner. Sebenarnya, Jimin telah didiagnosis pada usia 12 tahun. Dia adalah anak yang cerdas, sama seperti Jin. Dia sudah memahami gejala penyakitnya, bahkan sebelum mereka membawanya ke dokter.

Jin masih mengingatnya, ketika Jimin mulai mengerang kesakitan, memegangi dadanya saat semua orang mengelilinginya dengan cemas. Dan hal pertama yang Jimin katakan adalah, "Sepertinya ada yang salah pada jantungku". Perkataan yang mengejutkan orangtuanya.

"Dengar, jangan bercanda tentang penyakitmu" Jin mengomel. "Bertahun-tahun aku menahan-"

"Kurang lebih 4 setengah tahun" Jimin menyela.

"Ya, ya, empat setengah tahun-"

"Kurang Lebih"

Jin mengangkat tangannya dengan kesal. "Baik, baik. Intinya adalah kau sedang sekarat dan jika kau mati, tak ada lagi yang bisa kuajak bicara di keluarga ini. Jangan lupa kalau keluarga kita mendapat 'Nilai F' dalam hal 'komunikasi yang baik antara orang tua dan anak.' "

Jimin sibuk menonton video di layar handphonenya. Memandangnya begitu serius, tanpa berkedip. Jin memiringkan kepalanya heran, lalu berjalan di belakang sofa dan mengintip. Itu adalah video lama Jimin ketika dia menari di sebuah pertunjukan sekolah.

"Berapa lama-" Jimin memulai. "Dokter bilang berapa lama lagi sisa waktuku?"

Tatapan mata Jin luluh dan dia mengacak-acak rambut lembut Jimin. "Sejak kunjungan pertama kita, dia mengatakan sekitar 5 tahun. Maksudku, aku tak begitu mengamati jalannya waktu, jadi aku tidak yakin."

Jimin melipat lututnya mendekati dada setelah ia melempar ponselnya di samping sofa. "Hyung, sisa waktuku bahkan tak sampai satu tahun lagi, dan aku benar-benar sangat merindukan masa lalu."

Jin menepuk pundak Jimin lembut. "Apa yang ingin kau lakukan?"

"Aku ingin menari ... untuk terakhir kalinya."

Jin terdiam sesaat, lalu sebuah ide melintas di kepalanya. Dia mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Namjoon. Setelah sambungan yang kedua,

'Halo, Hyung!'

Hei, Joonie. Orang tuaku pergi ke luar negeri- "

'Tunggu, bukankah adikmu sakit?'

Tepat, jadi aku bertanya-tanya apakah dia bisa tinggal bersama kita di asrama?

'... apakah dia bersekolah?'

Ani, belajar di rumah

'Aku lupa, berapa umurnya?'

Uh ... 95-liner

'Ah! Sama seperti TaeTae. Kukira kita memiliki tempat tidur cadangan.'

Umm, Joonie-

'whats up?'

Bisakah dia bergabung di grup kita?

'Apa? seperti, secara resmi? Bukankah dia-?'

Ya, ya. Tapi dia dulu penari.

'... apakah dia baik? Ah, maaf. Apakah dia baik-baik saja?'

Dia baik. Aku yakin dia dan Tae akan mudah akur.

'Jadi, kalian pindah kapan?'

Bagaimana dengan sekarang?

'Tunggu! dormnya masih-'

Jin menutup telepon dan tersenyum pada Jimin. "Jim, kemasi barangmu"

Jimin mendongak. "Kita mau kemana?"

"Pindah ke dorm Bangtan."

Mata Jimin melebar, "Maksudmu Dorm teman-teman idolmu? Hyung pasti bercanda!"

"Tidak" jawab Jin serius. "Bawa obat-obatanmu dan semuanya. Kita segera berangkat setelah berkemas. Aku akan memastikan keinginanmu menjadi kenyataan. Karena itu yang bisa aku lakukan untukmu, untuk saat ini."

.
.
.
TBC
.
.
.

Nb:
-cerita sudah kuterjemahkan sampai ending, jadi tinggal publish😊


~~~

Ini fanfic terjemah pertamaku, hope you like it 😊

Versi asli ditulis oleh skydancer0 dalam bahasa Inggris dengan judul yang sama.

Terimakasih untuk author yang mengizinkanku menerjemahkan karyanya.

See you next chapt!

LAST DANCE (Fanfic Terjemah) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang