1

10.2K 808 91
                                    

.
.
.

Suasana hening tidak kunjung membuat hati ketiga anak yang tengah menunggu di koridor dengan interior yang kaku itu tenang. Ketiganya enggan bersuara sejak pertama kali menginjakan kaki di tempat itu. Tak ada satu pun dari mereka tau apa yang akan terjadi ketika pintu ruangan itu terbuka nanti. 

Hanya anak paling tua dapat memahami situasi apa yang terjadi di dalam. Dalam benaknya, berputar kenangan buruk yang terjadi dalam satu tahun belakangan ini. Sampai keadaan rumah yang sehari-hari dipenuhi oleh teriakan itu berpindah ke ruang sidang di hadapannya. Ia hanya bisa berharap jika tak akan ada yang berpisah setelah ini.

Yoongi, si sulung, melirik ke arah kedua adiknya yang duduk berdampingan. Adik pertamanya terlihat menggenggam erat tangan sang adik bungsu yang terlihat ketakutan, membuatnya merasa harus menenangkan adik paling bungsunya terlebih dahulu.

Belum sempat kakinya melangkah mendekat, pintu ruangan itu terbuka dengan begitu keras, membuat ketiga anak itu terkejut dan merasa panik dengan kebingungan yang memuncak. Sampai akhirnya sang adik bungsu mendapat tarikkan keras dari sang ibu yang menatap sang ayah sengit.

"Aku akan membawa Taehyung bersamaku!" teriak sang ibu dengan tangan menggenggam lengan si bungsu erat. Matanya menatap nyalang pada sang suami—mantan suami.

"Bawa saja anak sialan itu! Tapi ingat! Aku tidak mengizinkanmu untuk bertemu Yoongi dan Jimin sampai kapan pun." Kedua mata tegas itu tidak kalah menatap mantan istrinya sengit, seakan dirinya enggan goyah terhadap tuduhan yang telah dilontarkannya selama ini.

Yoongi tersadar kala mendengar jeritan Taehyung yang tak ingin dipisahkan dari adik pertamanya, Jimin. Sedangkan di satu sisi, sang adik terlalu bingung karena sentakan kuat yang ia dapat dari sang ayah.

"Ibu! Ibu akan pergi ke mana bersama Taehyung?" tanya Yoongi berlari ke arah sang ibu yang mulai melangkah menjauh, menghindari lengan sang ayah yang hendak menariknya.

Sang ibu yang tak kuasa melihat anaknya berlari, akhirnya berhenti sejenak dan membungkuk agar mensejajari tinggi anaknya yang berumur tiga belas tahun itu. "Yoongi, ayah dan ibu tidak bisa bersama lagi. Ibu harus memilih adikmu untuk ibu jaga. Ibu harap, kau juga menjaga Jimin dengan baik, ya?"

"Aku tidak mau! Aku ingin bersama ibu dan juga Taehyung!" teriak Yoongi tak terima mendengar penjelasan itu, apalagi melihat adik yang paling disayanginya menangis sangat keras.

"Yoongi! Lupakan mereka mulai dari sekarang!" tubuhnya ikut tersentak kala tangan kekar sang ayah menariknya ke belakang, menjauh dari sang ibu dan Taehyung.

"Ayah ... ibu dan Taehyung? Ibu—Jimin—" Jimin yang terlalu panik dengan keadaan yang tiba-tiba ini hanya bisa meracau tak jelas kala melihat sang ibu dan adiknya melangkah menjauh meninggalkan mereka. Tangisnya bahkan tidak lagi berarti karena kini keluarganya tak akan lagi sama.

.
.
.

Dalam keluarga dengan tiga anak, si sulung biasanya tidak dekat dengan anak kedua dan lebih memilih untuk memanjakan si bungsu. Begitupun hubungan Yoongi dan Jimin. Yoongi enggan untuk berdekatan dengan Jimin hanya karena perasaan cemburu seorang anak sulung yang terbiasa sendiri dan diikuti segala keinginannya, harus berbagi kasih sayang dan perhatian kedua orang tuanya pada sang adik yang baru saja lahir.

Namun, hal itu tidak berlaku pada Taehyung ketika adik bungsunya itu lahir. Perasaan cemburu itu menghilang begitu saja, padahal kelahiran Taehyung hanya berbeda satu tahun dari Jimin. Perasaan senang itu membuncah di dada. Dirinya bahkan menangis kala ia tidak izinkan untuk pergi ke rumah sakit. Ketika kedua netra berbinar itu bertatapan dengan sosok manis sang adik, ia tiba-tiba saja merasa menjadi seorang kakak yang harus bertanggung jawab. Kakak tertuanya itu lebih menyayangi Taehyung, dibandingkan dengan Jimin.

Berbeda dengan Jimin. Anak kedua keluarga Park itu menunjukan afeksi yang sangat tinggi pada sang kakak dan juga menunjukan kasih sayang yang sangat besar pada sang adik. Ia sangat mengidolakan Yoongi dengan segala pencapaiannya. Ia juga menyayangi Taehyung dan selalu berusaha menjadi kakak yang baik untuk sang adik. Jimin adalah tipikal anak kedua yang sangat penurut dan tak banyak bertingkah.

Sayangnya, hubungan dua saudara itu memburuk karena perceraian kedua orang tua yang hanya memikirkan ego mereka. Yoongi berubah menjadi pembangkang dan sangat kasar karena kehilangan Taehyung. Ia membenci sang ayah yang memisahkan dirinya dari ibu dan adik kesayangannya. Walaupun Jimin selalu berusaha hadir setiap kali dirinya merasa lelah, hal itu tak juga membuat hati Yoongi meluluh pada sang adik pertama. Ia tidak membenci Jimin. Hanya saja dirinya telah menetapkan Jimin sebagai rival-nya sejak adiknya itu lahir.

Tanpa sepengetahuan sang ayah, Yoongi diam-diam melacak keberadaan ibu dan adiknya, walau belum menemui hasil apa pun. Mereka berdua seakan ditelan bumi, menghilang begitu saja sejak bertahun-tahun yang lalu. Namun Yoongi sudah berjanji untuk tidak menyerah dalam melakukan pencariannya. Ia bertekad untuk menemukan keduanya dan meninggalkan kehidupannya yang memuakan.

Jimin, yang sudah terbiasa tidak dihiraukan oleh Yoongi, hanya bisa menjaga sang kakak bagaimanapun caranya. Ia sadar keluarganya sudah hancur, setidaknya dirinya harus berguna untuk tetap menjaga orang-orang yang disayanginya , agar tak lagi ada perpisahan.

"Hyung, kau tidak sarapan?" tanya Jimin ketika Yoongi melewati ruang makan yang hanya diisi sang adik itu.

Seperti hari-hari sebelumnya ajakan itu menguap bersama suasana sepi yang selalu menyapa. Yoongi hanya melenggang pergi tanpa menghiraukan sang adik. Mood-nya sedang tidak baik sejak kemarin, dan beradu mulut dengan Jimin adalah salah satu yang ingin dihindarinya. Walau sebenarnya Jimin tidak pernah membalas sedikit pun perkataan pedasnya.

Pemuda berambut coklat itu memasuki mobilnya yang sudah siap di halaman rumah. Dirinya sempat melirik ke arah kursi belakang, hanya untuk menemukan setumpuk kotak bekal makanan yang sudah tersedia—ulah sang adik yang sudah menjadi kebiasaan. Walau wajahnya nampak kesal, dalam hati ia berterima kasih karena dirinya tidak akan kesulitan mencari makanan di tengah jadwal kuliahnya yang padat.

Jimin, yang masih terduduk di atas kursinya, menghela napas pelan sebelum menaruh sumpit di samping mangkuk nasi. Napsu makannya hilang bersamaan dengan kepergian sang kakak. Alhasil, dirinya meninggalkan makanan yang sebenarnya baru habis sebagian.

"Bibi, aku berangkat!" teriaknya pada penjaga rumah yang selalu merawatnya. Hari ini penerimaan siswa baru, dan dirinya menjadi salah satu panitia. Setidaknya, pikirannya dapat sedikit teralihkan dengan kesibukan sekolahnya itu.    

.

.

.

TBC

.

.

CONGRATS FOR TAKING MOST OF THE TROPHIES BANGTANIE!!!

Love,

catastrophile101

01122018

((Republished))

11082020

FéeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang