18

5K 578 98
                                    

.
.
.

Sosok anggun itu duduk di sana, di sebuah ruang baca yang mengarah langsung ke halaman belakang yang luas. Tangan kanannya memegang cangkir teh yang baru saja diminum olehnya. Sedangkan matanya menatap ke arah matahari yang terlihat mulai tenggelam. Gurat tua itu tegas, tidak terbaca walau sinar matahari mengenai wajah cantiknya.

Suara pintu yang terbuka di belakangnya, membuat dirinya menjadi awas akan apa yang ia dengar setelah itu. Tangannya dengan perlahan menaruh kembali cangkir tehnya di meja tak jauh darinya, menimbulkan bunyi kling pelan kala ia melakukannya.

"Nyonya, mereka telah tiba."

Helaan napas terdengar, seakan mengeluarkan pergulatan batin atas apa yang ia putuskan beberapa hari yang lalu. Kepalanya mengangguk tanda mengerti, dan pelayan yang tadi mengabarinya pun segera keluar dari ruangan itu. Selepasnya, kedua mata tua itu menatap sebuah foto yang terpajang di salah satu sudut dinding, menampilkan sesosok pria yang berpose dengan gagahnya.

"Maafkan aku, sayang. Tapi kurasa ini yang terbaik untuk anak dan cucu-cucu kita."

.
.
.

Sudah lima belas menit ke-enam orang itu saling berdiam diri di tengah atmosfir yang sangat menegangkan. Chaeryoung sempat membuka pembicaraan tadi, namun ibunya nampak ingin memerhatikan kedua cucu yang tidak pernah ia temui tengah duduk diam di hadapannya.

Yoongi dan Jimin sendiri sedari tadi melirik diam-diam ke arah neneknya, tidak kuasa menghadapi aura seorang Kim Jin-ah. Sang nenek terlalu mendominasi di ruangan tersebut, menciutkan keberanian orang-orang yang berhadapan dengan dirinya.

"Taehyung," panggil Jin-ah tanpa mengalihkan perhatiannya pada Yoongi dan Jimin.

"Ya, nek?" jawab Taehyung canggung karena sedari tadi berada di suasana yang tidak baik.

"Bawa kakak-kakakmu ke kamar mereka. Nenek ingin bicara dengan orang tua kalian."

Taehyung kemudian mengangguk patuh dan segera beranjak dari tempat duduknya, diikuti oleh kedua kakaknya yang kemudian mengikuti dirinya untuk segera meninggalkan ruangan itu. Ketiga saudara itu masih dirundung kebingungan kala pintu di belakang mereka tertutup rapat, seakan tidak diijinkan untuk mendengar apa pun.

"Ayo, hyung. Kurasa nenek benar-benar ingin berbicara serius dengan ayah dan ibu."

.
.
.

Dua jam telah berlalu dan kini ketiga anak Park itu memutuskan untuk diam di kamar Taehyung. Yoongi berada di sudut ruangan, bermain dengan piano yang Taehyung miliki di kamarnya. Sedangkan sang pemilik kamar tengah berbaring bersama kakaknya yang lain di tempat tidur, sambil menonton show yang mereka pilih secara acak.

Suara pintu yang diketuk mengalihkan perhatian mereka menuju pintu yang sedikit terbuka, menampilkan sesosok pria yang Taehyung kenal sebagai asisten sang nenek.

"Tuan muda, nyonya besar ingin bertemu," ujarnya sebelum membuka pintu kamar Taehyung lebar.

Sang nenek, yang terlihat sangat anggun dan berwibawa, memasuki kamar Taehyung dengan wajah datar. Ia menatap ketiga cucunya dengan tatapan yang sulit diartikan, membuat mereka bertiga tanpa sadar menahan napas. Kedua mata yang sejak tadi menyisir ruangan itu pun berhenti pada satu sosok yang tengah duduk membelakangi piano, mengundang langkah kaki tuanya untuk mendekat.

Yoongi masih terdiam menghela napas, tampak tegang untuk berhadapan langsung dengan nenek kandungnya untuk pertama kali. Namun ketika kedua mata tajam itu melembut, dengan satu tangan yang mengelus pipinya hangat, Yoongi dapat merasakan seberapa besar kesedihan yang sang nenek pendam selama ini.

FéeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang