23

4K 463 146
                                    

.
.
.

Tangan yang terbebas dari jarum itu terasa dingin, mengalahkan dinginnya udara Seoul yang mulai memasuki penghujung tahun. Namun kedua tangan milik sang kakak mencoba menghangatkannya dengan menggenggam telapak tangan itu erat. Yoongi di sana, masih menunggu sang adik untuk bangun dan berbicara padanya.

Yoongi berkali-kali mengusap sudut matanya yang kembali mengeluarkan air mata setiap kali melihat kedua mata indah di hadapannya masih saja terpejam. Ia tidak pernah secengeng itu, namun sekarang berbeda. Memorinya kembali mengingat pertengkaran kecil yang terjadi dengan ayahnya tadi malam.

"Ayah bilang semua baik-baik saja!" teriaknya di hadapan sang ayah. "Jangan bilang kalian semua membohongiku!"

Jaeho terdiam, menunduk tidak berani menatap kedua mata Yoongi yang menatapnya kecewa.

"Benarkan? Ayah, kumohon"

Suaranya tercekat, tidak mampu menahan isakan yang sejak tadi tertahan.

"Bagaimana hasilnya, ayah? Kumohon katakan yang sebenarnya."

"10%, Yoon. Hanya 10% dan Jimin ingin menunda operasinya sampai konsermu selesai."

Tangis itu kembali terdengan bersamaan dengan wajah yang ia benamkan di atas selimut sang adik.

"Kenapa kau menghukumku seperti ini, Jim?"

.
.
.

Sore harinya, ketika lembayung senja mulai muncul di ufuk Barat, kedua mata seindah langit malam bertabur bintang itu kembali terbuka, menyambut perasaan lega dari orang-orang yang mengelilingi dirinya. Tak ayal, senyum di wajah pucat itu terbit layaknya bulan.

"Aku sudah bangun," bisiknya pelan di tengah ketidakmampuan dirinya untuk banyak bicara. Ia hanya ingin kembali melihat senyum di antara rasa khawatir yang begitu jelas terlihat.

Chaeryoung, Jaeho, Taehyung, dan Dr. Kim berdiri mengelilinginya, bertanya banyak hal. Ia hanya menjawab semua pertanyaan dengan anggukan dan gelengan, sedangkan kedua matanya berpusat pada sang kakak yang tengah duduk di sofa, menundukkan kepalanya dalam.

"Yoongi hyung?" panggilnya lirih, mencoba menarik atensi sang kakak.

Namun Yoongi tidak bergeming. Ia masih duduk diam di kursinya, tidak bergerak sedikit pun, tidak juga mengalihkan pandangannya dari lantai. Hal itu membuat Jimin memasang wajah kecewanya. Ketakutan yang sempat menghilang, tiba-tiba muncul kembali ke permukaan. Ia takut Yoongi akan membencinya untuk yang kedua kali.

Jaeho akhirnya mencoba mengalihkan atensi Jimin dengan mengusap puncak kepalanya lembut seraya berkata, "Kakakmu masih panik, Jim. Kau juga lebih baik kembali beristirahat."

Tidak, Jimin tidak ingin beristirahat ketika sang kakak enggan hanya untuk menyahuti panggilannya. Jimin harus berbicara pada Yoongi.

"Hyung—"

"Lakukan operasi itu, Jim!" suara rendah itu akhirnya terdengar. Kepalanya kini ia tengokan ke arah Jimin yang masih memperhatikannya. Kedua pasang netra itu akhirnya bertemu, saling menyelami satu sama lain.

Jimin masih diam, tidak menanggapi Yoongi yang kini mulai mendekat. Kakaknya tampak kacau dengan, lingkar hitam di bawah matanya yang nampak jelas. Yoongi jelas tidak tidur semalaman.

Kini dirinya bersimpuh di samping Jimin, dengan menggenggam tangan itu erat. "Kumohon, Jim. Aku tidak bisa kehilanganmu," ujarnya seraya berusaha meredam tangisan dalam genggaman tangannya.

FéeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang