24 - End

4.5K 485 213
                                    

*The last chapter, please kindly read the footnote okay ^^

Enjoy

.
.
.
If I could, I want to keep that smile forever
.
.
.

Kedua tangan pucat itu saling meremat satu sama lain, sesekali mengusap telapak tangannya yang terasa lembab dengan beberapa lembar tisu. Ia gugup, tentu saja. Konser ini bukan hanya konser biasa, tetapi konser penting kampus yang menghadirkan para musisi terbaik di Korea, investor, serta sponsor yang bisa menunjang karir mereka ke depannya.

"Yoon, keluargamu sudah datang," ujar Namjoon yang datang dari arah pintu. Ia menyadari sejak tadi Yoongi tengah merasa gugup, setidaknya ia ingin membantu sahabatnya itu.

"Ah, benarkah? Aku akan melihat mereka terlebih dahulu," tanggap Yoongi sambil berlalu, meninggalkan Namjoon yang mengambil alih kursi Yoongi.

Kakinya melangkah cepat, berusaha melewati orang-orang yang tengah sibuk di belakang panggung. Ia hanya ingin melihat keluarganya, hal itu sudah cukup. Tepat di samping panggung, tubuh itu berhenti. Matanya memindai tempat duduk penonton, mencoba mencari keluarganya. Untungnya presensi Jimin dan Taehyung begitu menarik perhatian, membuatnya mudah menemukan kedua adiknya itu. Keduanya tengah bercanda di tempat duduk masing-masing, sedangkan kedua orang tuanya tengah berbincang dengan orang tua Namjoon.

Yoongi terus memandangi kedua adiknya dengan senyum lebar, berharap mereka akan menyadarinya. Sampai akhirnya Taehyung melirik tepat ke arah di mana ia berdiri, membuat senyum kotak itu pun hadir.

"Hyung!" panggilnya keras, tidak mempedulikan keadaan di dalam venue yang sudah mulai penuh. Tangannya melambai penuh semangat.

Jimin yang ikut menyadari kehadirannya, ikut tersenyum dan melambai bersama sang adik. Hari itu, Jimin tampak sangat bersinar. Kebahagiaan terpancar dengan jelas di wajahnya.

"Yoongi sunbaenim waktunya stand by," seorang staf mengingatkannya untuk segera menuju backstage untuk bersiap-siap.

Ia pun mengangguk mengerti dan kembali melirik ke arah keluarganya. Kini ayah dan ibunya ikut melambaikan tangan. Dirinya pun membalas untuk terakhir kalinya sebelum kembali ke belakang panggung.

.
.
.

Ruangan itu hening, setelah sebelumnya riuh akan tepuk tangan, menyambut sang pemeran utama dalam konser malam itu. Yoongi, dalam spotlight, duduk di hadapan grand piano satu-satunya di atas panggung. Setelah sebelumnya penonton disuguhkan dengan mini orchestra, kini hanya ada Yoongi, untuk memainkan permainan solonya, sendirian. Dirinya bahkan tidak membutuhkan seorang page turner untuk membantunya. Semua notasi balok itu sudah tertanam lekat di kepalanya.

Embusan napas terdengar samar, mengiringi tuts pertama yang disentuhnya. Kemudian, jari-jari panjang itu mulai menari di atas indahnya warna hitam dan putih. Matanya terpejam seiring dengan tubuh dan pikiran yang dikuasai oleh ke-sepuluh jari yang tengah bergerak cepat, membuat tubuh itu bergerak ke kiri dan ke kanan mengikuti arah ke mana jarinya meraih nada.

Jarinya terus bergerak, sebelum akhirnya memelan dengan mata yang terbuka perlahan. Sang pemeran utama menoleh ke arah di mana keluarganya duduk, menyusuri empat manik yang menatapnya takjub, dan berhenti di sepasang mata berair. Ia kemudian tersenyum lembut pada sang adik, lalu kembali fokus dengan permainannya yang kian melembut, tidak seagresif sebelumnya. Yoongi terlihat damai, membuat siapa pun yang mendengar permainannya merasa hangat.

Jimin, di satu sisi, masih memperhatikan permainan sang kakak sampai lupa mengedipkan kedua kelopak mata yang sayu itu. 'Ini lagu untuknya' batinnya berkata. Walaupun kemampuan bermusiknya tidak sehebat sang kakak, tapi Jimin mengerti nada, dan ia bisa membacanya. Lagu Yoongi menceritakan keluarganya. Menceritakan badai yang terjadi sebelum akhirnya menemukan sang pelangi. Menemukan akhir indah di perjalanan hidupnya.

FéeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang