5

5K 686 141
                                    

.
.
.

Biar cepet re-pub nya harus gimanaaa? Hehehe

.

.

.

Nyatanya Jimin menghiraukan larangan sang kakak yang tidak memperbolehkannya ke sekolah pagi tadi. Ia bahkan harus menghindari teriakan Bibi Jung demi keluar dari pintu utama kediaman keluarga Park itu untuk berangkat sekolah. Ia tak peduli dengan tangannya yang baru saja lepas dari selang infus. Dirinya tidak merasa sakit bahkan ia tidak mengingatnya sama sekali. Jimin hanya perlu melihat Taehyungnya hari ini.

Perasaannya sangat baik hari ini karena melihat Yoongi berada di kamarnya saat ia bangun tad, membuat bibirnya terus tertarik ke atas dengan manis. "Pagi, Sungwoon-ah!" panggil Jimin dengan ceria sesampainya di kelasnya dan mendapati sang sahabat yang kini berdecak di balik komik yang dibacanya.

"Kau tidak salah sarapan, Jim?" tanyanya malas pada Jimin yang kini duduk di hadapannya sambil berpangku tangan dan tersenyum lebar. Bibirnya terlihat kering dan pucat, membuat Sungwoo sedikit khawatir. 

Namun sahabatnya itu terlihat begitu ceria. "Tidak. Mood-ku hanya sedang dalam mode sangat baik!"

"Kalau begitu bantu aku menyelesaikan tugas Guru Kim galak itu!" ujarnya seraya mengeluarkan buku tulis yang kemudian ia lemparkan ke hadapan Jimin.

"Tak masalah!"

Sungwoon sebenarnya tidak terkejut dengan tingkah Jimin pagi itu. Sahabatnya itu memang senang sekali menebar senyum sampai ia takut jika bibirnya akan robek. Hanya saja pemandangan Jimin yang lebih bersinar dari biasanya, membuat hatinya menghangat. Karena sedikit banyak ia tahu luka di balik senyum itu.

.
.
.

Sekaleng Cola dingin tiba-tiba berada di hadapan Taehyung saat ia tengah menyantap makan siangnya. Ia pun mengangkat kepalanya untuk menemukan orang yang mengganggunya sejak awal masuk tengah mengumbar senyum kebanggaannya itu. Taehyung kembali memutar bola matanya, jengah. Namun sedetik kemudian ia mengingat apa yang sudah sang kakak kelas lakukan kemarin sore.

"Kepalamu tidak sakit?" tanyanya ragu tanpa menatap Jimin.

Jimin sedikit terkejut dengan Taehyung yang mengajaknya bicara terlebih dahulu. Untung saja ia tidak menyemburkan minuman di mulutnya. "Tidak! Tidak sakit sama sekali! Aku kan superhero,"  jawabnya cepat dengan cengiran lebar.

Taehyung berdecih menanggapi jawaban yang tidak masuk akal itu. Ia kembali menyantap makan siangnya, berusaha untuk tidak menghiraukan kehadiran sosok di hadapannya.

"Tae! Mau membeli—" ucapannya terpotong oleh suara ponsel yang berbunyi di saku celananya. "Halo, ayah!" jawab Jimin dengan bersemangat. "Ayah pulang? Baiklah, aku akan menyampaikannya pada Yoongi hyung. Sampai bertemu nanti malam!"

Jimin kembali berseri setelah mendengar berita kepulangan sang ayah. Wajar saja, sudah beberapa bulan ini ayahnya tidak kunjung pulang karena perjalanan bisnis. Ia sangat merindukannya. Dirinyapun kembali teringat pada Taehyung yang tak terganggu sama sekali.

"Ayah pulang, Tae! Mau ikut ke rumah?" tanyanya dengan tidak sadar. Matanya berbinar seakan dipenuhi oleh kelip harapan.

"Ayahmu yang pulang bukan ayahku," namun jawaban Taehyung kembali menyadarkannya. "Aku duluan, sunbaenim." Taehyung beranjak pergi setelah membereskan tray makanannya. Meninggalkan sekaleng Cola dan juga Jimin yang masih bergeming di tempat, tampak berpikir.

.
.
.

Yoongi hendak meninggalkan parkiran kampus dan langsung pulang ke rumah ketika ia memutuskan untuk membuka pesan masuk. Ia menghela napas ketika membaca isi pesan yang dikirimkan sang adik berjam-jam yang lalu.

'Hyung! Ayah pulang. Ayo makan malam bersama di rumah!'

Rasa kecewa itu masih belum menghilang dari dalam hatinya meski sang ayah sudah mencoba memperbaiki selama bertahun-tahun. Yoongi masih terlalu enggan untuk menatap wajah sang ayah secara langsung. Hatinya masih terlalu terluka dan hanya ada dua orang yang bisa menyembuhkannya, sang ibu dan Taehyung. Ia pun memutuskan untuk pergi ke tempat sahabatnya untuk makan malam bersama. Mungkin juga ditemani beberapa botol soju mengingat apa yang telah terjadi siang tadi.

Di tempat lain, Jimin tampak gusar di kursinya karena tak kunjung mendapat balasan dari sang kakak. Sudah bermenit-menit yang lalu Yoongi membaca pesannya, tapi ia tak kunjung pulang atau bahkan sekadar membalas.

"Di mana kakakmu, Jim?" tanya Jaeho, sang ayah, ketika ia baru saja duduk di meja makan. Wajahnya terlihat segar setelah mandi dan berganti pakaian menjadi lebih santai. Jimin memandang pria di hadapannya dengan tatapan bersalah seraya menelisik gurat halus yang mulai menghiasi wajah ayahnya yang tampan.

"E—eng ... Yoongi hyung tidak bisa pulang untuk makan malam, ayah. Ia sedang ada urusan di kampusnya," bohongnya. Jimin jelas tidak ingin mengecewakan pria yang sudah jauh-jauh pulang itu dengan kenyataan bahwa sang kakak masih enggan untuk bertemu. "Ayah masih bisa menemui hyung besok."

"Ayah besok pergi ke Jepang, Jim. Masih ada hal yang harus ayah selesaikan." Walau Jaeho mengucapkannya dengan senyum yang dimaksudkan untuk menenangkan anak keduanya, sesungguhnya hatinya juga ikut sakit mendengar kebohongan yang sengaja ditutupi.

Jimin mengangguk mengerti. Dalam hati, ia merasa sedikit kecewa karena waktunya dengan sang ayah sangatlah terbatas. Walau begitu, ia mengerti jika ayahnya juga tengah mengobati hati yang masih terluka.

"Jaga kesehatanmu, ayah! Jimin sayang ayah," ujarnya dengan senyuman. Berharap hal itu dapat menyenangkan hati ayahnya.

.

.

.

TBC

.

.

.

Love,

catastrophile101

231218

Re-pub

041120

FéeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang