.
.
.Dokter Kim tersenyum ke arah Jimin seraya mengusap kepalanya pelan. Ia baru mengenal Jimin, tapi anak itu sudah membuatnya terpukau dengan kebaikannya. Mereka baru saja menyelesaikan sesi pemeriksaan perihal kelainan yang Jimin miliki, dan lagi-lagi dirinya harus berdecak kagum kala hatinya juga ikut terluka dengan apa yang telah terjadi pada Jimin.
"Kenapa kau tidak mau memberitahu siapa pun tentang ini?" salah satu pertanyaan yang paling ingin ditanyakan semua orang.
"Aku, tidak suka melihat Taehyung menangis. Jadi daripada meminta tolong untuk suatu hal yang membuat orang lain bersedih, lebih baik aku menganggapnya anugerah. Lagi pula, banyak orang di luar sana yang lebih tidak beruntung dariku, aku hanya merasa tidak pantas untuk berkeluh kesah," jawabnya terlampau pelan dengan binar mata yang sendu.
Jimin itu anak yang baik, terlalu baik karena dia selalu menempatkan kepentingan orang lain di atas dirinya sendiri. Tuhan benar-benar menciptakan malaikat tanpa sayap. Ia hanya lupa memberikan sedikit rasa sakit di tubuh anak itu.
"Bagaimana?" tanya Park Jaeho, ayah Jimin yang kini sudah berjalan ke sudut ruangan bersama Dokter Kim.
"Jimin memang memiliki Congenital Analgesia, atau tidak mampu merasakan rasa sakit. Saya cukup terkejut karena Jimin bisa mengatasi ini sejak kecil. Tidak sedikit penderita yang bahkan meninggal karena luka kecil yang tidak ia sadari. Namun, Tuhan memang menyayangi Jimin."
"Lalu, apa dia akan baik-baik saja?"
Dokter Kim menghela napas, membuat tubuh Tuan Park menegang. "Kita harus melakukan pemeriksaan secara berkala, untuk mencegah hal buruk terjadi. Trauma di kepalanya cukup fatal. Aku akan mempersiapkan untuk pemeriksaan besok."
Pria itu tidak menjawab, hanya memandangi sang anak dan istrinya yang tengah berbicara.
"Untuk sekarang, jagalah keluargamu," ujar Dokter Kim berusaha menenangkan.
.
.
."Hyung, sekarang semua anak di sekolah tahu kalau kita bersaudara," ujar Taehyung dengan semangat.
Jimin sendiri masih terbaring di kasur yang sama, memandangi sang adik yang begitu dirindukannya, "Benarkah? Bagaimana bisa?"
"Aku yang memberitahu teman-temanku, lalu beritanya langsung menyebar. Dasar para tukang gosip!"
Sang kakak terdiam mendengar penuturan adiknya yang masih sibuk mengupas apel. Rasa khawatir tiba-tiba datang di hatinya. "Lalu, kau tidak apa-apa?" tanyanya ragu, membuat tangan Taehyung berhenti dan matanya langsung menatap kedua manik teduh itu.
"Huh?"
"Kau tidak apa-apa jika semua orang tahu aku kakakmu?"
Hening.
Taehyung berusaha menyerap apa yang baru saja dikatakan Jimin, seakan telinganya salah mendengar. "Tentu saja tidak! Kau itu salah satu murid yang paling membanggakan. Jangan bicara yang aneh-aneh, hyung!"
Jimin tersenyum puas mendengar jawaban Taehyung. Hatinya benar-benar lega. Kehadiran Taehyung bersama senyum manisnya, membuat dunia Jimin kembali cerah. "Hyung, apa kau bahagia sekarang?"
"Kau dan ibu kembali di sini, bagaimana bisa aku tidak bahagia?"
Senyum itu menghangatkan, seperti udara di musim panas. Namun di luar sedang hujan, menimbulkan hawa dingin di salah satu ruangan rumah sakit itu.
"Maksud anda?" getir lirih terdengar dari sebuah pertanyaan yang baru saja terlontar dari bibir yang mulai bergetar.
"Trauma di kepala Jimin bukanlah hal kecil. Pembengkakan telah terjadi dengan cukup fatal. Kurasa, sebelum ini Jimin sering kali mendapat trauma yang sama dan kecelakaan kemarin memperburuk keadaan kepalanya. Kami harus segera melakukan operasi kembali untuk mengetahuinya lebih jelas."
KAMU SEDANG MEMBACA
Fée
Fanfiction"Do you know when the fairy dies? When people neglect and stop believing him." Park Jimin x Min Yoongi x Kim Taehyung Brothership catastrophile101