ゼロ

103 9 0
                                    

Salju turun dengan perlahan, satu-persatu menumpuk dengan jelas di ambang jendela kamar pasien nomor 134. Suasana ruangan yang serba putih dan dilengkapi dengan pemandangan kota Saitama yang ditutupi salju menambah kesan monokrom dalam hidup, rasanya seperti semua warna telah hilang begitu saja.

Jam dinding berbingkai hitam yang terpampang di dinding berdetak secara konstan, dari detik ke menit, dari menit ke jam, membuat Hirasaki paham betul berapa lama ia telah menghabiskan waktu di kamar ini.
Dengan mata kanannya yang ditutupi perban dan tubuhnya yang begitu lemas, Hirasaki hanya dapat menatap jam dinding itu selama 2 minggu ia berada di rumah sakit ini tanpa beranjak dari ranjangnya.

Seandainya saja hari itu ia tidak keluar rumah dan tidak mencoba melakukan kebodohan, ia tidak akan berakhir seperti ini. Mungkin ia sedang duduk di kelasnya, mendengarkan lagu dari headset putih tercintanya sambil menggumamkan beberapa bait lirik. Jika saja kecelakaan itu tidak terjadi.

Sebenarnya kecelakaan itu tidak sepenuhnya Hirasaki yang salah, hanya saja pihak dari keluarga yang menabraknya bersikeras untuk melimpahkan kesalahannya kepada Hirasaki.

Hirasaki pulang dari tempat lesnya malam hari dengan menggunakan sepeda seperti biasa. Malam itu juga jalanan memang sudah mulai licin, Hirasaki sangat berhati-hati dalam mengayuh sepedanya, ia juga memperhatikan kecepatannya. Saat ia akan berbelok menuju komplek, tiba-tiba kendaraan bermotor itu menabraknya dengan begitu kencang. Tampaknya motor tersebut tidak dapat direm dan bannya tergelincir karena jalanan yang licin.

Itu adalah kecelakaan biasa, hanya saja akbiat motor berkecepatan tinggi, Hirasaki terhempas beberapa meter, tergesek aspal dan tersungkur menabrak tiang. Hasilnya, tangan kanan Hira patah, kaki kanannya dipenuhi luka gesek, dan tubuhnya memar-memar. Tapi yang paling parah adalah, mata kanannya tertancap pecahan kaca motor.
Tentu saja keluarga pelaku panik, biaya operasi mata itu tidak murah. Bahkan sangat sangat sangat mahal.

Hirasaki seperti biasanya melimpahkan semua kesalahan padanya, tidak peduli bahwa ia adalah korban. Walaupun pelaku hanya mengalami memar dan lecet ringan, keluarga pelaku menuntut balik biaya perbaikan motor, demi mendapatkan "baiklah anda tidak perlu membayar biaya operasinya".

Setelah beberapa saat kedua belah pihak berselisih pendapat tentang biaya, atas permintaan Hirasaki, ia membiarkan sang pelaku bebas.
Keluarga Hirasaki merupakan keluarga yag berada, biaya operasi mata Hirasaki pun dapat dibayar tanpa kendala. Bukan karena Hirasaki tahu keluarganya mampu, tapi ia tidak suka membuat ibunya kerepotan mendengarkan celoteh keluarga pelaku.

Setelah kurang dari satu minggu dirawat dan keadaan Hirasaki membaik, akhirnga operasi matanya pun dimulai. Seharusnya hari ini perban di mata sebelah kanannya sudah boleh dibuka.

Hirasaki hanya menunggu dengan sabar, kembali menatap jam dinding itu lagi, sampai jam menunjukkan angka 5. Dua orang masuk ke dalam kamar Hirasaki, setelah mengetuk pintu. Dokter Hirasaki dan ibunya. "Kau bereaksi dengan obatnya dengan baik, itu bagus. Kita bisa membukanya." ucap dokter sambil meraih perban.

Perban dilepas perlahan-lahan, sampai tidak tersisa lagi.

"Buka mata kananmu,
perlahan-lahan." Ucap dokter. Hirasaki mengangguk pelan, lalu mengikuti perintah dokter. Setelah ia membuka mata kanannya, ia melihat seseorang dihadapannya.

Yang tadi tidak ada.








Hira tidak mengatakan apapun, ia hanya menjawab pertanyaan dokter seperlunya, seperti warna yang ditunjukkan dokter, apakah penglihatannya jelas atau berbayang dan sebagainya.

Ia pikir itu hanya halusinasi, tapi orang itu tidak beranjak dari tempatnya setelah ibu maupun dokter pergi.

Bahkan sampai menjelang tengah malam, orang itu tidak bergerak. Ia hanya memandang Hira dengan tatapan kosong. Hira memutuskan untuk mengabaikannya dan menatap jam dinding itu seperti biasa.

Setelah beberapa saat, lampu dimatikan, dan orang itu berjalan mendekat. Entah berjalan atau tidak, yang jelas Hira tidak dapat mendengar suara langkahnya.

Setelah cukup dekat, Hira akhirnya menyadari,
Orang itu tidak bernapas.

SeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang