35 5 0
                                    

"aneh.." gumam Miyuki. "Keliatan ga sih? Keliatan kan?" tanya Reina berulang-ulang. "Ga begitu jelas, tapi yang pasti, iya, warna pupilnya matanya beda sebelah." jawab Miyu, setelah memandang mata Hira dengan lebih jeli.

Setelah beberapa saat hantu-hantu ini heboh akan hal itu, Hira akhirnya berbicara. "Ah.. mata kananku bukan mata asliku." ucapnya. Hantu-hantu itu diam seketika, membeku di hadapan Hira. "..maksudmu?" Mereka berdua memiringkan kepalanya ke sebelah kiri, bertanya-tanya. "Aku mengalami kecelakaan, lalu aku kehilangan mata kananku." jelas Hira. "Oh! Transplantasi mata?" tanya Miyu memastikan. Hira mengangguk. "Sejak itu kau jadi bisa melihat hantu?" tanya Reina. Hira kembali mengangguk, "un."

"tutup mata kananmu." ucap Reina tiba-tiba. "Untuk?" Hira kurang mengerti maksudnya. Sebelum Reina sempat menjawab, Hira kembali berucap, "ah, aku mengerti."

Hira menutup mata sebelah kanannya dengan tangan kanannya.

Kedua hantu itu menghilang dari pandangannya.

"oh-" gumamnya.

"kau tidak bisa melihat kami ya?" Reina muncul di hadapannya, meskipun Hira masih menutup mata kanannya. Hira sontak terkejut dengan kemunculan Reina, hal itu juga sekaligus membuat Hira bingung. "Eh-?"

Hira membuka kembali mata kanannya, lalu Miyu yang duduk di samping Reina pun terlihat kembali. "Kenapa-"

"Reina memang suka menampakkan wujudnya, jadi kadang ia bisa dilihat dengan mata manusia biasa." Jelas Miyuki. "Kau harusnya melihat betapa lucunya wajahmu saat terkejut." Miyuki tertawa cukup keras, tapi tidak sekeras tawa Reina. Hira menggeleng-gelengkan kepalanya dengan melihat kelakuan kedua hantu ini.

"Jadi kalian bisa menampakkan diri?" tanya Hira.

Ternyata benar-benar mirip dengan apa yang dikatakan di acara-acara paranormal di TV, pikirnya.

"Tentu saja, kami bisa. Tapi itu benar benar membuat kami lelah dan perlu diam di tempat kami mati untuk beristirahat. " jelas Reina. Hira terdiam sesaat lalu sesuatu terlintas di pikirannya. "Ah jadi selama ini siswi perempuan yang katanya suka berjalan-jalan di taman belakang sekolah dan sering hilang secara misterius itu.. " Hira menatap Reina. "Un!" Reina menganggukkan kepalanya sekuat tenaga, senyuman terlukis di wajahnya.

"Dia memang suka iseng sih-" Miyuki menatap Reina tajam. "Oh iya, seperti yang kamu ketahui, kami juga bisa terbang, dan itu sama-sama menghabiskan tenaga. Miyuki lebih suka terbang kesana kemari, sedangkan aku menampakkan diri, begitu. " Reina mengekspos kebiasaan Miyu tanpa izinnya. "Sepertinya itu tidak perlu diceritakan... " gumam Miyu, pipinya sedikit merona.

"Jadi omong-omong, matamu milik siapa?" Miyu menarik kembali percakapan mereka pada topik inti. "Tidak tahu.. " jawab Hira singkat. Miyu dan Reina terkejut dengan begitu dramatis.

"Bukan sesuatu yang parah.. " tambah Hira, karena tidak nyaman akan reaksi berlebihan mereka. "Tapi kecelakaan itu merenggut mata kananmu.. " ucap Reina dengan suara lirih seperti sedang berbelasungkawa.

Kecelakaanmu malah merenggut nyawamu, Rei.

"Kalian?" tanya Hira. "Aku tertabkrak truk, seperti yang kau ketahui. " jawab Reina, lalu menoleh ke Miyu.

Miyu diam sesaat lalu tersenyum pahit.
"Aku-"

"KYAAAAAA!!!" Pekikan suara perempuan melolong dan memecah keheningan sore itu membuat Miyu bungkam seketika. Lalu dilanjut dengan suara hantaman benda ke atas tanah. "Ah.., apa terjadi sesuatu?" Reina menatap pintu keluar dari area kolam. "Berisik ya.. Padahal biasanya kalau berisik jam segini bakal diusir satpam kan?" gumam Miyu.

Hira berdiri, lalu membuka pintu itu, diikuti dengan dua hantu perempuan tepat di belakangnya.

Pemandangan yang awalnya mereka lihat hanya jendela yang berderet dan pemandangan putih dan jingga karena salju yang masih berserakan dan sinar surya yang mulai tenggelam. Setelah Hira melangkah sekali lagi dan merubah sudut pandangnya, ia melihat tubuh yang hancur ada di lapangan dengan berlumuran darah.

".......ah," kaki Hira seketika menjadi lemas, jujur saja ia belum pernah melihat darah sebanyak itu dalam hidupnya. Bahkan saat ia kecelakaan, darah tidak keluar sebegitu banyak.

"Hira kau harus pergi sekarang sepertinya..." gumam Miyuki. "Tidak, jangan pergi. Jika kau pergi kau akan dicurigai. " ucap Reina. Perdebatan dua hantu dibelakangnya terdengar samar. Yang dapat Hira dengar saat ini hanya detak jantungnya yang kian cepat dan keras.

Hira menutup matanya.
Bernapas.
Bernapas.
Atur napasmu.

Tidak begitu lama, suara sirine terdengar mendekat ke arah SMA Higashi.

Yang membuat Hira dan kedua hantu perempuan ini mematung di tempat adalah. Arwah lelaki itu sudah keluar dari tubuhnya. Arwah lelaki itu bersikeras menarik jasadnya yang sudah hancur, mencoba mendorong para perawat yang mengangkat jasadnya.

"Kenapa mereka tidak dapat merasakan lelaki itu?" gumam Hira. "Karena kau berbeda, Hira. Kau bisa melihat kami. Kau masih dapat merasakan sentuhan kami walaupun hanya seperti kapas." jawab Miyu dalam bisikan.

Mereka menyaksikan pemandangan yang begitu pilu, hantu yang baru saja lahir kembali di dunia yang begitu berbeda berjuang sekuat tenaga untuk mendapatkan jasadnya. Sirine ambulan tidak berubah menjadi lebih hening, para guru berdiri di sekitar ambulans dalam keadaan diam.

Semua itu seperti terjadi dalam keadaan slow motion.

Lalu tampak seorang bapak yang tidak dikenal, masuk ke dalam lapangan sekolah, ekspresinya begitu sedih dan marah. Seperti nyawanya sudah dicabut. Mungkin karena nyawa buah hatinya yang dicabut.

Tiba-tiba pandangan Hira menghitam.
"Jangan lihat." bisik Reina.

"Katakan padaku apa yang telah terjadi." ucap kepala sekolah. Sedih, marah, pusing, semua tercampur aduk dalam ekspresi yang terlukis di wajah penuh kerutan karena dirinya yang semakin menua. Tapi rasa lelah dan kecewa lebih mendominasi cara ia berbicara.

Hira melihat sekelilingnya dalam diam, kedua hantu itu sudah tidak ada. Ada 2 orang perempuan, dan 1 orang laki-laki. "Hanya tinggal kalian yang ada di sekolah ini, beritahu aku apa yang kalian lakukan saat Sora terjatuh." ulang kepala sekolah, entah untuk keberapa kalinya.

Ekspresi siswa itu bingung dan kosong, sedangkan ekspresi kedua siswi itu penuh dengan trauma. Napas mereka juga tidak beraturan. Hanya Hira yang memasang ekspresi wajah datar walaupun ia benar-benar tidak sedikitpun mengerti tentang apa yang terjadi.

"Kami.. Kami sedang piket.. " jawab siswa itu, ia berbicara seakan ia telah marathon jauh, terbata-bata dengan nafas tak beraturan. Sementara kedua siswi itu tidak berhenti menangis. "Kami piket.. Ia duduk di jendela.. Lalu entah meraih apa ia terjatuh... " jelas siswa itu. "Apa itu benar? " tanya kepala sekolah, ia melirik ke kedua siswi yang belum berhenti menangis. "Hana, Noriko, apa itu benar?" tanya kepala sekolah kembali setelah menunggu beberapa saat. Akhirnya kedua siswi itu mengangguk sembari sesenggukan.

"Lalu bagaimana denganmu, Hirasaki? Apa yang sedang kau lakukan?" Tatapan kepala sekolah terarah padanya.

"Aku... "
"kau tidak bawa kunci, kau menunggu orang tuamu pulang ke rumah lalu mengabarimu." bisik Reina.

"Aku menunggu orang tuaku mengabariku jika mereka sudah sampai di rumah, aku lupa membawa kunci rumah jadi aku memutuskan untuk menunggu di sekolah sebentar."

"Kenapa di kolam renang?" tanya kepala sekolah lagi.

"Aku mengikuti kucing liar," bisik Reina lagi.
"Aku mengikuti kucing liar." jawab Hira.

"Rei?"
"Iya," bisik Reina lagi.
Lalu Hira mengangguk.

Setelah itu, kepala sekolah menyuruh mereka pulang ke rumah masing-masing dan merahasiakan hal ini terlebih dahulu. Hira menatap hantu Sora yang sedang duduk bersandar pada dinding dengan rambut dan pakaian yang begitu berantakan.

Ia kasihan. Tapi ia tidak boleh melakukan apapun untuk saat ini.

Kanzaki Sora dari kelas 10-4, hantu itu Hira tinggalkan duduk di lapangan yang ditutupi salju tipis sendirian.

SeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang