"Jika kau mau menepati perjanjian ini, aku akan menemanimu mengunjungi rumah orang tuamu." ucap Hira, menatap datar ke arah Sora yang sedang menendang-nendang tumpukan sisa salju yang nyaris mencair di lapangan. "Perjanjian apa?" tanya Sora, memasukkan tangannya ke dalam saku celananya.
"Ikuti permintaanku selama perjalanan nanti." jawab Hira. "Apa-apaan.." Sora menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal. "Itu jika kau mau pergi ke rumah orang tuamu. Jika tidak, ya tidak usah." Hita berbalik, melangkahkan kaki jenjangnya ke arah gerbang sekolah.
"Tunggu!"
Hira berbalik, menatap ke arah Sora. "Aku tidak bilang aku tidak setuju." ucap Sora.
Reina hanya duduk diam diatas tiang listrik itu seperti biasanya, mencuri-curi pandang sesaat ke arah dua orang yang berdiri di lapangan.
"Aku pulang-" Hira membuka pintu rumahnya sembari melangkah masuk, ia membungkukkan tubuhnya untuk meraih kedua sepatunya dan melepasnya. "Selamat datang," jawab Ame, adiknya, tanpa menunjukkan keberadaannya. "Ibu mana?" tanya Hira. "Belanja." jawab adiknya. Hira segera melangkahkan kakinya untuk mendaki tangga menuju kamarnya.
Sesampainya di kamar, ia menaruh tasnya di sebelah lemari, lalu menghempaskan tubuhnya ke atas kasur.
Ini tidak sesuai ekspetasinya.
Jadi hantu yang ia temui, mempunyai urusan yang masih harus mereka selesaikan di dunia ini.
Apa itu sebabnya mereka tidak pergi ke alam baka?
Karena mereka memiliki urusan yang belum diselesaikan?
Lalu bagaimana jika urusan mereka selesai?
Apa mereka akan.."Kak, ada yoghurt, mau?" tanya Ame yang muncul di ambang pintu kamar Hira secara tiba-tiba.
"Mau." jawab Hira, setengah bangkit dari tidurnya.
"Di kulkas,"
"Um.. Tolong ambilin.."
Ame terdiam sebentar mendengar permintaan kakaknya, lalu ia berbalik pergi.Tidak lama kemudian Ame kembali sambil membawa segelas yoghurt. "Nih." ucapnya dengan wajah datar yang polos. "Makasih," jawab Hira.
Sambil bersandar ke dinding, Hira meneguk yoghurt yang baru saja adiknya berikan.
Pertama, ia akan mengantarkan Miyuki, karena rumahnya yang paling jauh. Lalu Sora, karena Sora bilang rumahnya tidak terlalu jauh dari sekolah. Ketiga, Reina, karena rumahnya searah dengan rumah Hira. Keempat, ia harus les.
Ah.. Les..
Mengingatkannya pada apa yang terjadi pada malam itu.Yang sudah terjadi, biarkanlah terjadi.
"Hira! Pagi!" Miyuki menyapanya dengan penuh senyuman, Reina juga sudah ada disana. "Hari ini aku ada les, jadi aku akan tidak dapat mengantarkan kalian lama-lama." ucap Hira, memperoleh anggukan dari dua hantu itu sebagai jawaban.
"Ayo, Miyuki." ajak Hira.
Hira membonceng Miyuki menuju rumahnya, melewati jalan yang tidak ia kenal dan hanya terpaku atas petunjuk Miyuki. Saat melewati sebuah minimarket, pegangan Miyuki di pinggang Hira mendadak menjadi lebih erat. "Ah, minimarket ini, aku sering membeli es krim disini." Miyuki tersenyum mengingatnya.
Kedua tangan Hira refleks menekan pedal rem.
"Eh, ada apa?" tanya Miyuki. "Sebentar." Hira memakirkan sepedanya di depan minimarket itu. "Apa hantu bisa makan?" tanya Hira, ia sadar betapa bodohnya pertanyaan itu terdengar. "Tidak, tapi kami bisa merasakan rasa. Setahuku kami bisa mengambil semacam 'arwah' dari suatu benda dan menggunakan atau mengonsumsinya. Contohnya seperti ini." Miyuki menunjuk jepit rambut yang ia gunakan. Hira mengangguk setelah mendengar penjelasan Miyuki, lalu segera menghilang ke dalam minimarket.
Hira kembali dengan sebuah es krim di tangannya. "Untukmu. " ucap Hira. "Eh... " Miyuki menatap es krim yang ada di genggaman tangan Hira. "Aku ingin melihatmu mengambil arwah benda ini, ambillah." lanjut Hira. Miyuki tersenyum, lalu menyentuh es krim itu. Posisi tangannya sama seperti akan mengambil es krim itu, tapi saat ia menariknya, Hira dapat melihat bayangan es krim tersebut di genggaman tangan Miyuki.
"Keren, kan? Itadakimasu!" Miyuki tersenyum sambil memakan es krim tersebut.
Hira merasa terkesan dengan apa yang baru ia lihat, terutama warna mata Miyuki yang tampak lebih tegas saat melakukannya.
Mata merah muda Miyuki tampak lebih hidup."sampai."
"disini?" tanya Hira.
"iya, disini aja."Miyuki turun dari boncengan sepeda Hira lalu berjalan mendekati rumah bercat abu. Hira hanya diam sambil menopang dagu, menatap Miyuki yang menengok ke arah rumah itu perlahan-lahan.
Miyuki memasuki rumah itu beberapa saat, Hira tidak mengatakan apa-apa dan terus menunggunya. Lalu Miyuki pun keluar tanpa mengatakan apa-apa, hanya senyuman yang terukir di wajahnya.Hira dan Miyuki kembali ke sekolah, kali ini giliran Sora. Dengan membisikkan 'terima kasih' pada Hira, Miyuki segera berjalan menuju Reina.
"Aku tidak minta apapun, hanya saja, jangan sentuh keluargamu." ucap Hira. Sora baru saja ingin menanyakan alasannya, namun ternyata ia cukup pintar untuk mengetahuinya.
Rumah Sora benar-benar tidak terlalu jauh, sesampainya disana, Sora segera meninggalkan Hira.
Saat itu Hira berpikir, bukankah itu sulit?
Menahan keinginan mereka untuk menyentuh keluarganya walaupun mereka sangat merindukannya?"Ayo," suara Sora yang muncul tiba-tiba mengagetkan Hira. "Sudah? Cepat sekali," ucap Hira. "Sudah, aku hanya ingin memastikan ayahku tidak lupa makan dan adikku setidaknya sedikit membantunya, ternyata keluarga bibiku juga ada di dalam untuk mengurusnya, jadi aku tidak begitu khawatir." jelas Sora.
Diluar dugaan, Sora memiliki hati yang lembut dibalik sikapnya yang kasar.
Sora dan Hira kembali ke sekolah, lalu sekarang giliran Reina.
"Kamu ga capek?" tanya Reina, Hira menggeleng. "Banyak berhenti di tengah jalan kok, ga capek." jelasnya.
Reina mengangguk-angguk, "Maaf ya kita minta yang aneh-aneh.""Ga apa-apa, setidaknya aku masih bisa membantu kalian." jawab Hira. Di belakang Hira, Reina tersenyum.
"Kalau kita melewati rumahmu, beritahu aku ya." ucap Reina.
"Untuk apa?"
"Aku hanya ingin tau."Begitu mereka melewati rumah Hira, Hira memelankan laju sepedanya, tapi tidak berhenti. "Ini, sebelah kiri." ucap Hira. "Ohh, ternyata itu kau, sepertinya kita pernah bertemu deh, rumahku tinggal 2 blok lagi." komentar Reina.
"Jadi.. Dimana rumahmu?" tanya Hira. Reina turun dari boncengan sepeda Hira, lalu menatap sebuah rumah dengan cat putih.
Di depannya, terdapat papan 'dijual'.
Hira ingat, saat ia tanpa sengaj amendengar ibu-ibu tetangga yang bergosip tiap pagi, katanya keluarga Shimizu pindah ke luar negeri setelah kematian putrinya.Jadi..?
Reina hanya diam di hadapan rumah itu, tidak mengatakan apapun, ia berdiri disana sejajar dengan papan tanda rumah itu dijual.
Hira ingin menanyakan marga Reina saat itu juga, tapi sadar bahwa waktunya tidak tepat.
"Oh, mereka sudah pindah ya," ucap Reina, nada bicaranya tidak berubah sehingga Hira sulit untuk menebak perasaannya. Tapi, bukan berarti ia tidak tahu perasaan Reina sekarang.
"Setelah ini Hira ada les ya?" tanya Reina, tanpa bergerak maupun menoleh ke arah Hira. "iya." jawab Hira. "Jam berapa masuk lesnya?" tanya Reina lagi.
"Sekitar jam 4,""Wah, itu kan sebentar lagi, sepertinya kau harus pergi sekarang." ucap Reina. "Tempat lesnya tidak terlalu jauh dari sini, kok." balas Hira.
"Aku menyarankanmu untuk pergi les sekarang."
"Lalu kamu?"
"Aku bisa pulang sendiri, aku hapal jalannya." Reina berbalik, menatap Hira sambil tersenyum.Demi membantunya, Hira meninggalkan Reina di depan rumah itu sendirian.
"Kalau begitu, aku les dulu ya," Hira bersiap mengayuh sepedanya."Iya, hati-hati."
KAMU SEDANG MEMBACA
See
RandomSetelah kecelakaan itu, Hirasaki bisa melihat apa yang tidak terlihat.