31 4 0
                                    

Suara gesekan antara pensil dan kertas terdengar menggema memenuhi ruangan. Guru di depan menepuk-nepukkan penghapus papan tulis ke papannya dengan lembut setelah ia membersihkan seluruh papan tulis. "Baiklah, anak-anak, aku akan memberikan pekerjaan rumah berhubung besok libur." ucap guru itu sembari berbalik. Suara helaan nafas terdengar dari bagian belakang ruang kelas.

"Hirasaki-"

"Hirasaki-"

"Hirasaki-san!"

Hira mengalihkan pandangannya ke arah guru di depan, yang sebelumnya terpaku keluar jendela, ke halaman depan sekolah lebih tepatnya. "Bisa hadirkan pikiranmu disini dulu?" tanya sang guru, ia menyilangkan tangannya di depan dadanya. "Ya, bisa, maafkan aku.." jawab Hira. 

Sementara di halaman depan sekolah, seorang siswa berjalan-jalan sendirian. Rambut putih keperakannya nyaris serasi dengan salju yang masih sedikit menumpuk di atas tanah. 

Bel istirahat siang  terdengar, para murid berlomba untuk keluar kelas terlebih dahulu. Hira berjalan menuju lokernya lalu menuju kolam renang, seperti biasa. Reina sudah meninggalkan pesan di jendela, sama seperti saat perjanjian pertama.  Tapi di tengah perjalanan Hira, ia berhenti berjalan karena segerombolan murid sedang berdiri di sekitar papan pengumuman.

"Gila sih, parah banget emang."

"Mati aja tuh 33 anak."

Lalu percakapannya menjadi kurang jelas untuk disimak.

Dari sekian banyak murid yang berkumpul disana, beberapa diantaranya mulai memisahkan diri lalu kembali melakukan apapun yang sebelumnya mereka lakukan. Salah satu dari mereka adalah Ryu, ketua kelas 10-7, kelas Hira.

"Ryu, ada apa disana?" tanya Hira. 

"Ahh.. itu.. ada secarik kertas ditempel disana.. tulisannya.. 'Mulai hari ini, kelas 10-4 ditiadakan. Mohon jangan tanya dulu kenapa, jika keadaan sudah lebih terkendali, akan ada pengumuman lebih lanjut.'." jawab Ryu. 

Hira seketika mengingat kilas balik kejadian kemarin. "Tapi.. aku tidak tahu apa yang terjadi.." lanjut Ryu. "Ah begitukah? Terima kasih." ucap Hira.

"Apa kau sudah berinteraksi dengan Sora?" tanya Reina. Hira menggeleng. "Belum, sama sekali." jawabnya. Walaupun di lubuk hati Hira yang paling dalam, ia penasaran. "Semalam aku sudah memberinya peringatan tentang pergi meninggalkan sekolah. Dan tidak kusangka akhirnya nurut juga." Reina tertawa. "Peringatannya terlalu kejam. Bahkan saat aku menghentikanmu untuk pergi saja tidak sampai segitunya." Miyuki menggeleng-gelengkan kepala. "Ah ya, kan totalitas." ucap Reina dengan entengnya.

"Totalitas?" tanya Miyuki dan Hira bersamaan. "Begitulah," jawab Reina singkat. 

"Karena besok libur, bagaimana jika mengunjungi keluarga kalian besok?" tanya Hira. Miyuki dan Reina tidak merespon sedikitpun untuk beberapa detik. "AH?! Beneran? Kyaaaaaaaaaaaaa Hira baik banget~" teriak mereka berdua. "Kalian yang memintaku.. kan.." gumam Hira, tapi ia tidak mengeluh.

Entah mengapa saat melihat hantu-hantu ini tertawa dan tersenyum, mereka terasa lebih hidup dari manusia sekalipun. Terasa lebih hidup daripada Hira sendiri.

"Ah, memangnya Hira tidak punya pacar?" tanya Reina. "..kenapa tiba-tiba nanya begitu?" Miyuki mentap Reina dengan mimik wajah bingung. "Ya kali aja gitu, pas liburan mau kencan sama pacarnya." jelas Reina. "ya ga gitu jugaaa, ga sopan dek." Miyuki mencubit kedua pipi Reina lalu menariknya. "Aaawh-, sakwit.."

"Engga, aku ga punya." jawab Hira.

Tiba-tiba langit menjadi lebih gelap dari biasanya, mereka bertiga refleks mendongakkan kepala. "Ah.."

SeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang