53 6 0
                                    

Hira terdiam sesaat, menatap handphone dengan layar menyala yang berada di genggamannya. Prasangka buruk seketika menyerangnya dengan cepat. Pertanyaan demi pertanyaan bermunculan di dalam kepalanya bertubi-tubi. Sampai di titik ia merasa begitu bodoh, duduk termenung diatas kasurnya, memikirkan sebuah pertanyaan.

Apakah hantu dapat menggunakan ponsel dan mengirim pesan?

Mungkin karena rasa paniknya yang belum hilang, Hira jadi terlalu terburu-buru dalam memikirkan jawaban. Mungkin saja pengirim pesan itu teman sekelasnya, atau teman se-klubnya, atau mungkin teman sekolahnya, atau bisa saja siapapun yang melihatnya berlari tadi. 

Tapi siapa?

Dengan perasaan lelah, cemas, dan panik yang masih memeluk tubuh Hira, akhirnya ia memutuskan untuk tidak menjawab pesan tersebut. Ia merebahkan badannya diatas kasur, menatap langit-langit kamarnya.

Jika seandainya aku akan selalu dapat melihat hantu, bukankah sebaiknya aku harus terbiasa berinteraksi dengan mereka?

Asalkan aku tidak mengganggu mereka, mungkin tidak apa kan?

Apa hantu bisa membahayakan atau menyakiti manusia yang masih hidup?

Pertanyaan itu terus bermunculan, mengisi kekosongan hati dan pikiran Hira dengan keraguan dan rasa keingintahuan. Hira menghela nafas dengan kasar, melepas genggaman tangannya dari handphone lalu menutup mata.

Mata.

Mata ini, mata sebelah kanan yang ia gunakan sekarang bukan miliknya. Karena mata sebelah kanan ini juga, ia memiliki banyak hal baru yang harus ia hadapi setiap harinya. Mata kanan ini.

Siapa pemiliknya?

Tanpa sadar, tidak peduli dengan segudang pertanyaan yang masih berkecamuk, Hira berhasil terlelap malam itu. Tidak menantikan esok, dan tidak ingin menetap di hari ini.

"Kak, mau tidur sampai kapan?" Adiknya duduk di kursi yang dihadapkan ke kasur Hira, menatap Hira yang masih berada di atas kasur.

"Ugh.. sekarang.. jam berapa?" tanya Hira, merentangkan kedua tangannya yang kaku. "Jam 8." jawab adiknya dengan wajah datar. "Sial-" Hira sesegera mungkin bangkit dari kasurnya. Hira  merasa sedikit kesal, tidak biasanya ia bangun sesiang ini.

"Kata ibu mungkin obatnya masih bekerja, jadi wajar kakak bangun jam segini." jelas adiknya. "Ibu pergi?"
"Iya,"

"ke supermarket?"
"Iya,"

Hira menggeleng-gelengkan kepalanya. "Air panas sudah siap." ucap adiknya lagi. "Ya, makasih." Hira segera mengambil handuknya lalu berjalan menuju kamar mandi. Begitu ia masuk ke dalam kamar mandi, uap yang berasal dari air panas menyapu wajahnnya dengan lembut. Hira menggantungkan handuknya di gantungan sebelah pintu, lalu menghadap wastafel. Ia mencuci wajahnya, lalu menatap pantulan dirinya di cermin.

Hira berjalan sendirian menuju sekolah seperti biasanya. Hantu perempuan yang menggunakan seragam musim panas masih berdiri di tempat yang kemarin, ia tampak seperti menunggu sesuatu atau mungkin seseorang datang. Tapi, Hira tidak peduli.

Tidak, ia mencoba untuk tidak peduli. Tidak seharusnya ia berurusan dengan makhluk seperti itu. Ia seharusnya mengabaikan mereka semua seperti seharusnya, seperti sebelum ia dapat melihat mereka. Dengan itu, tidak akan ada hal yang kembali berubah.

Walaupun Hira sudah bersikeras untuk tidak mempedulikan hantu, ia tidak dapat melepas pandangannya dari tiang yang diikat dengan pita putih itu.

Hantu perempuan yang biasanya berdiri di atas tiang itu sedang berada di bawah. Menyandar ke tiangnya, menatap satu-satu murid yang memasuki gerbang. Hira sedikit merinding, apalagi dengan sorotan mata yang begitu tajam dari hantu tersebut. Rasanya hantu itu dapat mengetahui apa yang ia sembunyikan.

SeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang