31 7 0
                                    

Mata ungu itu lebih gelap dari biasanya, menatap ke bawah seperti hendak mencari mangsa. Cahaya lampu jalanan tidak memantulkan secercah cahaya di mata yang membuat itu tampak mati.

Atau tampak lebih mati.

"Tidak kuduga kau ikut juga, kaichou." gumamnya pada dirinya sendiri karena tidak ada siapapun di sekitarnya.

"Ah, untuk pertama kalianya aku melihatmu seberantakan itu." Ia menarik ujung bibir kirinya sedikit, menampakkan sebuah senyuman penuh makna terselubung.

Reina berdiri di tiang itu seperti biasanya, menatap lelaki yang daritadi sore tidak beranjak dari tempatnya. Reina menjatuhkan dirinya lalu berjalan mendekati lelaki itu. Pandangan lelaki itu terpaku ke bawah, seperti ada beban berat yang menahannya untuk menengadah. Tidak jauh di depan lelaki itu duduk, ada sedikit lapisan salju berwarna kecoklatan. Bau darah masih bisa tercium di sekitar situ.

"Sora," panggil Reina, dengan intonasi dan nada yang khas sama saat memanggil Hira pertama kalinya. Suara yang begitu kosong. Lelaki itu mendongak, setelah menunggu sesaat. Matanya terbelalak saat menatap sosok di depannya. "Ah... Kau? Ga mungkin.. Ah.. Aku mimpi hal aneh.. Kenapa sekarang aku bisa melihatmu juga? Sepertinya aku kecapekan, aku harus pulang.. " Sora bergumam.

Reina memicingkan matanya. Warna ungu di matanya tampak tenggelam oleh warna hitam.
"Ini rumahmu sekarang." ucapnya dengan dingin, suaranya lebih rendah dari suara yang biasa ia gunakan saat ia sedang mengobrol.
"Apa apaan.. "

"Ini rumahmu sekarang, kau sudah mati." ulang Reina. "ah... Aneh aneh saja.. Yang sudah mati kan kamu.. " Sora berdiri dari duduknya, lalu berjalan dengan kaki gemetaran menuju gerbang sekolah. "Kau gak bisa—" Reina berbalik lalu mencengkram bahu Sora. "LEPASKAN!" Bentak Sora sembari menepis tangan Reina.

"Menyedihkan." bisik Reina. "Menyedihkan!? apanya yang menyedihkan!?" Sora menarik kerah seragam Reina. "Sudah kubilang aku hanya lelah—" Sora menurunkan nada bicaranya. "Jika hanya lelah kenapa kau bisa melihatku?" Reina tersenyum.

Sora diam. Ia hanya diam karena alasan Reina ada benarnya. Setelah 'mimpi aneh' yang dialaminya.
Ya... Mimpi ia jatuh dari lantai 5 dan mati.

"Aku pulang."
"Aku tidak akan membiarkanmu pergi kemana-mana."
"Lebih baik kau pergi saja ke akhirat."
"Aku akan, jika aku bisa. Aku sedang mencoba menyelamatkanmu."
"PERGI AKU TIDAK BUTUH BANTUANMU!"

Reina hanya berdiri diam di tempat. Saat Sora melangkah kembali menuju gerbang sekolah, Reina mengikutinya. "Berhenti." ucap Sora, kekesalan terlukis di suaranya. Reina tidak berkomentar.

Lalu Sora berlari menuju gerbang. Ia cepat, tentu saja. Ia merupakan salah satu siswa yang paling cepat di kelas mereka. Tapi berbeda sekarang.

Reina muncul di hadapannya secara tiba-tiba, menghalanginya lagi. Dengan kesal,  Sora mendorong Reina sambil mencengkram kerah bajunya lalu mencekiknya.

Reina tidak berkata apapun.

Cengkraman Sora melemah, memastikan apa Reina sudah mati atau belum.

...walaupun sebenarnya mereka berdua sudah mati.

Reina mengedipkan matanya agar Sora tahu bahwa ia masih 'hidup'. Sora kembali mempererat cengkramannya sambil menggeram.

Malam sudah mulai larut, sebuah truk akan melintas di hadapan sekolah. Truk itu biasanya mengambil jalan pintas dari tempat proyek, dan memang sekitar jam segini ia akan melintas di depan sekolah.

"Tidak kuduga kau selemah ini-" ucap Reina tanpa kesulitan. "DIAM!" Sora mendengus. Saat truk itu melintas di hadapan mereka, Reina menarik Sora bersamanya ke tengah jalan.

"Apa kau sudah gila?!" Teriak Sora. "Tidak, aku hanya sudah mati." Jawab Reina dengan senyuman.

Hal terakhir yang dilihat Sora adalah cahaya dari lampu sorot mobil yang menyilaukannya.














Entah Sora harus senang atau sedih karena faktanya, walaupun truk itu menabrak mereka, mereka baik-baik saja. Itu cukup membuktikan bahwa perkataan Reina benar.

Dengan kesal, Sora mendorong Reina sekali lagi, membuat Reina terpental ke tiang tempat ia biasa bersemayam.

"Aku tidak peduli aku hanya ingin pulang." gumam Sora. "Jika kau pergi, kau akan menghilang." ucap Reina sambil merapihkan seragamnya.

Lalu Reina meninggalkannya sendirian.

"itu seperti adegan drama." Miyuki tertawa terbahak-bahak, ia duduk di atas dahan pohon, memperhatikan mereka daritadi. "Aku tau, keren kan?" balas Reina. "Dasar gila." Miyu memukulnya sambil tertawa.

"Terus dia gimana?" tanya Miyu. "Diamkan saja. " Jawab Reina dengan dingin. "Jangan gitu ih, dia adik kelas aku waktu SMP tau." ucap Miyuki.

"Hm.. Iyakah? Kalau begitu, tetap biarkan saja, biar dia yang memutuskan. Aku hanya akan berharap agar Hira tidak.... Ya sudahlah. " Reina tiba-tiba turun dari pohon. "Tidak apa?" tanya Miyuki. "Tidak apa-apa!" Reina tertawa puas.

"Kenapa kau pulang larut terus?" tanya ibu Hira. "Tidak apa-apa, hanya berkumpul dengan teman." jawab Hira. "Oh, oke. Jaga kesehatanmu ya, ingatlah bahwa kau baru saja sembuh." ucap ibunya. Mereka semua berkumpul di meja makan. Ayah dan adiknya seperti biasa hening dalam menikmati hidangan.

Hira menjatuhkan dirinya ke atas kasur.
Sora.. Orang itu dari kelas 10-4 juga kan..
Dengan kematiannya, sudah ada 3 orang yang meninggal dari kelas 10-4.
Para orang tua pasti tidak akan tinggal diam dan mulai menuduh hal-hal mistis hanya karena sebuah angka.

Seperti yang kita ketahui, angka 4 disinyalir sebagai angka yang membawa kesialan.

Lalu apa yang akan kepala sekolah lakukan?

....
Hira terbangun dari tidurnya, ia menyadari sesuatu.

Aku belum tahu penyebab kematian Miyuki.

SeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang