Sejak pertama duduk di restoran ini, Nona sudah merasa tidak tenang. Beberapa kali dia melihat pengunjung langganannya di tempat yang sama. Sedangkan setahu Nona, pelanggan setia Alamanda sebagian besar adalah teman-teman Laras. Jadi kalau sampai mereka tahu dan menceritakan apa yang mereka lihat malam ini, itu bukanlah sebuah berita kecil.
“Bisakah kita segera pulang, Pak? Saya lelah sekali.”
Bukannya segera mengikuti keinginan Nona, Febrian justru menyandarkan punggungnya dengan tenang kemudian mengusap dagunya yang kasar oleh cambang yang baru saja tumbuh.
“Kenapa kamu selalu berusaha menghindari saya?” tanya Febrian tanpa memedulikan keinginan Nona. “Kamu terlihat sangat menjaga jarak dengan saya.”
Astaga, mengapa masih mempertanyakan itu? Bukankah tanpa bertanyapun seharusnya Febrian paham mengapa Nona selalu menghindarinya? Atau Febrian hanya ingin mengujinya saja?
“Bukankah memang begitu seharusnya hubungan antara atasan dan bawahan?” Nona merasa tertantang untuk menjawabnya. “Ada batas-batas tertentu yang tidak boleh saya langkahi.”
“Saya akan bilang,” Febrian menelan ludah. “Pemikiranmu terhadap saya tidaklah salah.”
Nona seakan menahan nafas saat mendengarnya. Jadi benar? Lelaki ini tertarik padanya? “Karena itu saya tidak ingin ada perubahan apapun.”
Febrian mengawasinya cukup lama. Dia menilai dengan pasti wanita seperti apa yang begitu menggugah minatnya selama hampir lima bulan ini. Dia tidak ingat pasti apa yang membuatnya tertarik pada Nona. Dia hanya ingat dengan senyum tulus dan lembut yang dilayangkan gadis itu saat pertama mengenalkan diri.
“Kamu tahu rumah tangga saya sedang bermasalah?”
“Maaf, Pak. Saya tidak ingin mencampuri masalah rumah tangga Bu Laras. Lagi pula saya juga tidak ingin tahu.”
“Tapi saya ingin kamu tahu.”
“Untuk apa saya harus tahu? Permasalahan rumah tangga Bapak tidak ada sangkut pautnya dengan saya.”
“Sekarang menyangkut kamu pula.”
Nona melebarkan mulutnya karena tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Ada sangkut pautnya dengan dirinya? “Mengapa ada sangkut pautnya dengan saya?”
“Karena saya tertarik padamu.”
Belum habis kekagetan Nona dengan pernyataan jujur Febrian, Nona menjadi panik bukan main ketika dia mendengar suara yang tidak asing lagi menggema di telinganya.
“Mas Febri.”
Itu suara Laras. Nona yakin sekali. Dia tidak akan salah didengar. Nona segera menoleh ke belakang dan melihat seraut wajah cantik sedang tersenyum manis kepadanya.
“Bu Laras.” Nona segera bangkit dengan gugup ketika merasa kepergok berdua dengan suami atasannya. “Saya dan Pak Febri hanya sedang membahas...”
“Tidak apa-apa. Lanjutkan saja,” ucap Laras santai tanpa kehilangan senyumnya. “Saya hanya kelihatan kalian jadi saya hampiri.”
“Kita makan bareng, Ras?” Febrian membuka mulutnya.
“Saya sudah selesai, Mas. Maaf, ya, saya duluan. Teman-teman sudah menunggu.”
Tanpa kecupan, tanpa belaian, Laras pergi meninggalkan mereka berdua seolah-olah hanya melihat seorang teman lama yang sedang makan malam, bukan suaminya sendiri. Dari sini Nona sudah merasa sangat bingung. Apa yang sebenarnya terjadi pada mereka?
***
Nona menyiapkan bekal makan siang sebelum berangkat kerja. Dia memasak telur dadar dan daging goreng. Serta saus tomat kemasan kecil. Lalu memasukkannya ke dalam tas kerjanya. Mama Arni yang melihatnya menjadi heran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Is You (Tamat)
General FictionGadis pertama berdiri tegang melihat gadis kedua terduduk lemah di atas kursi roda. Wajah gadis kedua pucat. Ada kesakitan yang merayap di wajah gadis itu. Namun dia berusaha menyembunyikannya dengan memalingkan wajah. Gadis pertama masih shock seja...