Menggapai Cinta Masa Lalu

3.2K 147 3
                                    

Febrian berjalan tertunduk lesu memasuki rumahnya. Sepi. Tak ada orang sama sekali. Memang seperti ini setiap harinya. Tidak ada siapapun di rumah ini. Pembantunya hanya datang waktu pagi untuk bersih-bersih rumah dan mengurus pakaiannya. Sedangkan soal makan dia biasa makan di luar.

Laras memang masih menjadi istrinya. Tapi Laras sudah sangat jarang di rumah. Seminggu hanya sekali saja mereka bertemu. Dan tidak melakukan apa-apa. Hubungan mereka seperti bukan suami istri.

Febrian menyalakan lampu kamarnya. Kemudian duduk di tepi ranjang. Dingin. Tak ada kehangatan sama sekali. Sudah lama mereka tidak berhubungan. Sekitar setengah tahun. Lalu entah dorongan dari mana datangnya, mungkin dari perkataan Nona, Febrian merindukan Laras. Seketika dia mengangkat ponselnya.

“Kamu di mana?”

Terdengar jelas suara Laras. Tidak bising sama sekali. Itu artinya Laras sedang sendiri. Tapi banyak sekali jawabannya dan entah apa lagi yang dijelaskannya.

“Aku minta kamu pulang sekarang,” suara Febrian memang tidak bengis. Hanya suara lelaki yang sedang lelah. Namun di telinga Laras itu sangat mengherankan. Tak bisa dibantah. Meskipun dia dalam kekalutan, dia tidak bisa mengabaikan begitu saja perintah Febrian. Dia hanya takut terjadi sesuatu pada suaminya. Entah sakit atau masalah lain.

Dan dia bersyukur ketika sampai rumah, Febrian dalam kondisi baik-baik saja. Justru pandangan Febrian yang sangat aneh menurutnya. Tidak seperti biasanya. Membuat Laras berdebar dan memalingkan wajahnya.

Selama ini dia seringkali menghindari tatap muka dengan Febrian. Dia hanya sedang ingin menyembunyikan matanya. Tidak ingin Febrian membaca perasaannya dari kilatan matanya. Karena mata memang tidak pandai berdusta.

“Aku kira kamu sakit,” kata Laras sambil meletakkan tas dan beberapa barangnya. Dia hendak membuka bajunya ketika kemudian dia ingat bahwa Febrian masih mengawasinya. Akhirnya dia memutuskan membuka baju di dalam kamar mandi sekaligus mandi. Karena sore tadi dia tidak sempat mandi. Rasanya tidak enak juga kalau harus tidur dalam keadaan lengket karena keringat.

Setelah itu dia keluar mengenakan kimono mandi yang menutup rapat tubuhnya. Dia semakin keheranan ketika melihat Febrian masih duduk seperti semula dengan pandangan mata tak lepas menatap dirinya. Laras tidak akan pernah lupa, apa arti sorot mata itu.

Seketika tubuhnya menggigil sedikit dengan aliran darah yang terasa berdesir. Dia berusaha tidak mengerti lalu memalingkan wajahnya. Sudah lama dia tidak melihat Febrian seperti itu. Biasanya mereka sama-sama cuek.

“Kamu butuh sesuatu, Mas?”

Febrian tidak menjawab. Dia justru berdiri mendekat. Membuat Laras mundur dengan tatapan mata yang menggelepar gelisah. Melihat mata yang berkeliaran itu, Febrian kini yakin sepenuhnya bahwa apa yang dikatakan Nona semua adalah benar. Laras masih mencintainya.

Febrian merasa iba sekaligus merasa bersalah melihat kenyataan ini. Ada tekad yang kemudian muncul, dia tidak bisa meninggalkan Laras. Karena masih ada cinta untuk istrinya ini. Penyesalan kini timbul karena hampir terlambat menyadari semuanya.

“Kamu lelah?”

“Tidak,” jawab Laras cepat. Kedua tangannya memegang ujung meja rias. Dia tidak mengerti maksud pertanyaan Febrian. Yang dia tangkap adalah dia tidak ingin dikasihani. Tidak ingin terlihat kecapaian. Dia ingin selalu terlihat bugar dan kuat. Untuk menutupi kelemahannya. Sakit hatinya.

Namun ternyata jawabannya adalah jawaban salah. Terbukti kini Febrian lebih mendekatinya. Mengulurkan tangan ke pinggangnya dan memegangnya erat.

“Mas, kamu mau apa?” tanya Laras tersendat merasakan tubuhnya yang mulai meremang.

Febrian mendekatkan bibirnya ke telinga Laras. Kemudian membisikkan sesuatu yang membuat Laras hampir saja terkulai lemas. “Aku mau kamu. Karena aku mencintaimu.”

Dan malam itu Laras tidak dapat berkutik. Dia seperti kembali pada malam pengantinnya lima tahun yang lalu. Saat kemesraan masih membuai dirinya dalam gelora cinta yang menghanguskan tubuh. Hingga ketika Febrian menyudahinya lalu menarik diri dalam kepuasan, dua butir air mata diam-diam membasahi pipi Laras. Ini masih terlalu membingungkan baginya. Febrian tak menjelaskan apapun!

***

Untuk kedua kalinya Monic hadir kembali di depan rumah Nona. Dan untuk kedua kali pula Nona merasa begitu malas melayaninya. Mungkin benar, dalam hati Nona yang terdalam, dia membenci Monic. Meski dia sudah berusaha untuk memaafkan dan melupakan, tapi mengapa setiap melihat wajah Monic, dia menjadi jengah?!

Nona tidak habis pikir, bagaimana mungkin Monic pernah berpikir bahwa dia akan merusak rumah tangga Febrian dengan tujuan untuk membalas dendam karena pengkhianatan Monic dulu. Bukankah itu juga berarti bahwa Nona ingin memiliki ipar Monic dan Marvin. Padahal sudah jelas bahwa dia tidak ingin melihat sosok Monic dan Marvin muncul dalam kehidupannya. Seperti sekarang ini, Nona betul-betul lelah.

“Ada apa lagi, Nic?” tanya Nona datar kemudian melihat perut Monic yang sudah rata. Itu artinya Monic sudah melahirkan. Nona tetap berdiri sambil bersandar di dinding teras. Mengamati Monic yang berdiri di depannya. Wajahnya sendu.

“Non, aku kemari mau bilang terima kasih.”

“Untuk?”

“Untuk kebesaran hatimu membiarkan Mas Febrian kembali pada Mbak Laras.”

“Aku memang tidak pernah menghiraukan perhatiannya.”

“Iya aku tahu. Mas Febrianlah yang mengejarmu. Dan semua itu juga atas izin Mbak Laras.”

Semalam Febrian baru saja mengajak Monic berbicara dari hati ke hati. Febrian menceritakan secara detail permasalahannya dengan Laras dan hubungannya dengan Nona. Kemudian juga menceritakan hubungan Nona dan Billy yang lebih dekat. Hingga pada akhirnya Nona mendatanginya lalu sedikit demi sedikit seperti membuka mata hati Febrian untuk melihat segalanya lebih jelas.

Keputusan akhirnya adalah Febrian ingin mempertahankan rumah tangganya karena merasa masih sangat mencintai Laras. Mendengar itu Monic begitu lega dan bahagia. Sampai tidak tahan rasanya untuk menunggu hari ini untuk mengucap terima kasih pada Nona.

“Mereka sudah baikan,” kata Monic tanpa ditanya. Membuat Nona juga mendesah lega. Akhirnya Febrian mau juga meresapi masalah demi masalah yang menghampirinya. Dan bisa mengurai benang kusut rumah tangganya menjadi lurus kembali.

“Aku turut senang mendengarnya.”

“Sekali lagi aku ucapkan terima kasih, Non. Dan aku, aku juga ingin minta maaf untuk kesalahanku dulu padamu.”

Jika sedari tadi Nona tidak mau memandang Monic, kali ini Nona menoleh. Melihat seraut wajah tulus yang benar-benar mengharap maaf darinya. Setelah beberapa tahun berlalu, baru kali inilah Monic meminta maafnya.

Nona menarik nafas panjang, antara kesal dan terharu, bergabung menjadi satu. Tidak tega rasanya melihatnya. Meski sebenarnya pada akhirnya dia bersyukur atas peristiwa itu, karena sudah menyadarkannya bahwa Marvin bukanlah lelaki yang pantas diidamkannya.

“Aku memang tidak bisa melupakannya. Tapi aku sudah memaafkanmu, Monic.”

***

Hampir end ya

Love Is You (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang