Membohongi diri sendiri bukan perkara mudah. Itu sungguh menyesakkan dada.
Mia mendapat giliran pertama. Gadis itu menampilkan wajah imut yang berhias senyuman manja. Lipsticknya yang berwarna merah muda semakin membuat bibirnya yang tipis menjadi menggiurkan. Dia tanpa malu-malu membelai pemuda yang tidak sengaja berjalan di sampingnya. Membuat pemuda itu terlonjak kaget. Dikiranya kuntilanak yang lagi nyari teman untuk mengikik bersama.
“Hai, Ganteng. Kenalan dong,” ucap Mia manja-manja.
Pemuda itu secepat kilat menoleh. Kemudian mengamati penampilan Mia yang lebih tepat untuk masuk ke nightclub saja. Bukan plaza. Tapi baru beberapa detik, pemuda itu begidik ngeri lalu berjalan cepat meninggalkan Mia yang masih bersandar dengan sorot nakal.
Melihat pemuda yang lari seperti dikejar hantu, Monic sampai tertawa terpingkal-pingkal. Sementara Nona hanya diam membeku menyaksikan ulah Mia yang membuatnya ingin muntah. Bagaimana mungkin Mia bisa melakukannya?
Kekhawatiran Nona semakin menjadi ketika selama setengah jam, Mia berhasil menggaet seorang cowok bertindik lima di kedua telinganya. Mereka terlihat seperti berkenalan dan bertukar nomor handphone. Kemudian ketika akan berpisah, cowok baru itu sudah berani meremas pantat Mia dengan gemas. Bukannya marah, Mia justru ber aw aw membuat Nona melotot.
Selanjutnya giliran Monic. Keahlian Monic memang tidak bisa diragukan lagi. Tanpa merayu pun, semua mata pasti tertuju padanya. Apalagi dengan busana yang hampir mempertontonkan separuh tubuhnya yang aduhai. Sekali sapa saja, dia sudah bisa membuat dua pemuda menoleh padanya. Tidak perlu menyentuh lengan atau mengelus telapak tangan pemuda itu. Apalagi setelah setengah jam berlalu, Monic berhasil mengantongi lima nomor handphone.
Ketika gilirannya tiba, Nona begitu berdebar-debar. Dia ingin sekali kabur. Ingin melompat naik ke tempat tidur lalu menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. Argh, dia tidak suka permainan seperti ini. Bikin malu saja. Seperti tidak ada permainan yang lebih sopan.
Nona belum pernah merendahkan diri seperti ini. Apalagi di depan banyak orang. Saat dulu mendekati Marvin, dia tidak menggunakan cara murahan seperti ini. Dia menggunakan cara cerdas. Cara yang membuat cowok tergila-gila karena penasaran. Bukan karena ingin melihat apa yang ada di dalam bajunya.
Namun sekarang dia harus berani melakukannya. Dia tidak mau kalah dengan kedua temannya. Dia tidak mau menjadi pengecut. Semua ini akan dilakukannya demi Marvin. Demi pemuda yang disayanginya. Demi Billy pula. Cowok yang selalu hadir membayangi pelupuk matanya ketika akan terlelap setiap malam.
Lalu mulailah Nona melambaikan tangan kepada setiap pemuda yang lewat di depannya. Tapi karena wajah Nona yang terlihat ragu dan takut, pemuda-pemuda itu hanya balas tersenyum tanpa berniat untuk mendekatinya.
Nona menggunakan jurus lain. Kali ini dia bukan hanya melambaikan tangan tapi juga bersuara. “Halo, cowok. Boleh tukar nomor handphone nggak?” sekali lagi suara Nona tidak bisa meyakinkan pemuda yang berada di sampingnya. Suaranya patah-patah seperti aktor tidak hafal skenario. Apalagi ketika dari samping pemuda itu muncul seorang gadis dengan wajah garangnya.
“Mau apa lo? Mau ganggu cowok gue, ya? Dasar cewek murahan!”
Menciut nyali Nona mendengar hinaan gadis itu. Tiba-tiba dia merasa lemas. Kakinya gemetaran. Untung saja gadis itu segera menarik pemuda yang berada di sampingnya. Sehingga Nona bisa bernapas lega. Selama lima belas menit, Nona belum mengantongi satu nomor pun. Waktunya tinggal lima belas menit lagi. Dia harus dapat.
Nona memilih bersandar di dinding kaca di sebelah pintu masuk plaza itu. Kali ini dia akan memberanikan diri membelai lengan pemuda yang baru saja masuk. Cara ini pasti berhasil.
Nona mendengar gelak tawa sekumpulan pemuda yang akan masuk. Jantungnya berdebar tidak keruan. Kemudian ketika melihat tiga pemuda yang sedang berjalan sambil bercengkerama, Nona mulai membelai lengan pemuda yang paling dekat dengannya. Seketika pemuda itu menoleh.
Nona sudah menyiapkan senyum termanisnya. Senyum yang paling memikat. Hingga senyum itu memudar dan berganti dengan keterkejutan saat melihat siapa pemuda itu. Billy.
“Nona.” Billy membulatkan mata. Tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Nona berhias menor dengan pakaian terbuka. Nona terkejut membeku melihat kehadiran Billy. Lebih terkejut lagi ketika melihat Marvin dan David.
“Nona, kamu ngapain?” Marvin mengawasi penampilan Nona dari atas sampai ke bawah dengan mulut ternganga.
Tidaaak! Nona segera berlari menahan malu. Dia menghampiri Monic dan Mia. Kemudian mengambil tempat di belakang mereka seperti mencari tempat bersembunyi. Rasa malunya sudah sampai di ubun-ubun. Dia ingin menghilang. Ingin tenggelam saja.
Seperti masih penasaran dengan apa yang dilakukan Nona, ketiga pemuda itu juga mendatangi tempat ketiga gadis itu berdiri. Mulut Marvin yang masih menganga, semakin melebar ketika melihat betapa seksinya Monic hari ini. Fiuh! Mimpi apa dia semalam?
“Hei, kalian ini sedang apa?” David tidak bisa menahan penasarannya. Apalagi melihat Mia juga ada di antara mereka. Dengan pakaian tak kalah mininya. “Mau cari kerja sambilan jadi cewek bispak? Biar digrepe om-om?”
“Sembarangan.” balas Mia tersinggung.
“Terus kalian ngapain pakai baju anak-anak begini?” lanjut David bingung seperti cowok blo'on.
“Gerah tau.”
Marvin melipat tangannya di depan dada sambil menyunggingkan sebelah bibirnya. Dia menatap Monic tanpa ragu sedikit pun. Monic berbeda dengan Nona. Monic akan mengangkat dagunya untuk balas menatap ketika ditatap melecehkan seperti itu. Marvin suka sekali melihat gayanya.
Beda dengan Billy. Billy menatap penuh tanda tanya dan ada sedikit sorot kemarahan yang berkobar dalam matanya ketika melihat penampilan mereka bertiga. Terutama Nona. Pandangannya tak lepas-lepas dari wajah Nona yang lebih banyak menunduk.
Namun meskipun tidak berani mengangkat wajahnya, Nona tahu siapa yang sedang dilihat Marvin. Tentu saja Monic. Bukan dia. Gadis itu merasa sakit hati. Bukankah seharusnya Marvin mendekatinya? Mengajaknya pulang atau sekedar menyelubungkan jaket ke tubuh pacarnya? Tapi apa yang dilakukan cowok brengsek itu memang keterlaluan. Seolah-olah dia tidak ada artinya. Justru Billy-lah yang terlihat memerhatikannya.
Tak tahan lagi, Nona membuka cepat tasnya kemudian mengambil sweater tipis. Dia memakainya sambil berjalan setengah berlari meninggalkan teman-temannya. Dia malu. Malu sekali.
Billy mengejar Nona. Dia memanggil gadis itu. Namun seperti seekor kuda pacuan yang semakin kencang berlari ketika dilecut, Nona semakin kencang berlari ketika Billy memanggil namanya.
Untuk sementara waktu, Nona tidak ingin bertemu dengan siapa pun. Dia ingin segera pulang. Hanya itu yang diinginkannya. Tidak peduli Billy berusaha mengejar taksi yang dinaikinya. Dia tidak menoleh sedikit pun. Dia justru meminta supir untuk mengendarai lebih kencang.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Is You (Tamat)
Ficción GeneralGadis pertama berdiri tegang melihat gadis kedua terduduk lemah di atas kursi roda. Wajah gadis kedua pucat. Ada kesakitan yang merayap di wajah gadis itu. Namun dia berusaha menyembunyikannya dengan memalingkan wajah. Gadis pertama masih shock seja...