Tak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa Monic akan menemui Nona. Sampai-sampai membuat Nona bertanya pada diri sendiri, mimpikah dia?
Beberapa minggu yang lalu dia sudah tidak mengira akan bertemu dengan Mia lagi. Namun pada saat itu dia sanggup berharap bahwa pertemuannya dengan Mia akan memperbaiki hubungan mereka yang sempat meredup. Tapi kali ini dia harus bertemu dengan Monic. Dan dia tidak yakin, apakah pertemuannya sekarang bisa memperbaiki persahabatannya lagi.
Monic benar-benar nyata berdiri di depannya. Entah apalagi yang akan disampaikan. Kecemburuannya. Sakit hatinya. Kisah kasihnya. Atau masa lalunya. Nona belum bisa menebaknya.
“Masuk, Nic.”
“Di sini saja, Non. Rasanya juga nggak akan lama.”
Tidak akan lama, baguslah. Nona juga tidak begitu tertarik membahas sesuatu yang penting ataupun tidak penting dengan Monic. Semakin cepat dia duduk semoga cepat pula Monic pergi. Sebelum melihat Monic, mata Nona tertuju pada sebuah mobil yang terparkir tidak terlalu jauh dari depan rumahnya. Itu pasti Marvin. Bahkan sekarangpun Marvin tidak ikut turun. Entah tidak mau atau memang dilarang oleh Monic. Nona sudah tidak peduli.
Lagi pula dia juga tidak mau sering bertemu Marvin. Karena setiap kali melihat Marvin, Nona bukan hanya ingat pengkhianatan lelaki itu, tapi juga teringat kenangan romantis yang pernah mereka kecap bersama. Jika mengingatnya membuat Nona merasa rendah dan sama sekali tidak berharga. Karena itu dia bersyukur Marvin lebih memilih diam saja di dalam mobil.
“Ada apa, Nic?” Nona membuka mulutnya. Tawar saja nadanya. Lebih terdengar seperti tidak berminat.
“Mas Febrian sudah mengakui perasaannya padamu kepadaku.”
Nona memejamkan mata sambil menghela nafas panjang. Jadi tentang Febrian? Kalau tidak beretika, rasanya ingin sekali Nona meninggalkan Monic saat itu juga. Masuk kamar dan tidak perlu mendengar apa-apa lagi.
“Aku tidak mengerti,” jawab Nona malas.
“Dia menyukaimu. Sedangkan kamu tahu dia masih beristri.”
“Itu urusannya. Bukan urusanku.”
“Non, jangan pura-pura tidak peduli! Kamu bekerja pada Mbak Laras. Dan jangan bilang kalau kamu akan membiarkan masalah ini berlarut-larut,” Monic berhenti sejenak. “Kupikir kamu pasti tidak sampai hati membiarkan Mbak Laras sakit hati.”
“Tentu saja. Aku tidak seperti kamu.”
Terlepas begitu saja kalimat itu dari bibir Nona. Sungguh dia tidak berniat untuk membuka luka lama. Tapi mendengar pernyataan Monic, spontan saja bibirnya bergerak mengikuti kata hatinya. Hingga membuatnya menyesal karena Monic seperti terkesiap.
“Kukira kamu bisa melupakan masa lalu kita,” gumam Monic dengan suara melemah.
“Hanya orang tidak waras yang bisa melupakan pengkhianatan yang dilakukan oleh sahabat dan kekasihnya sendiri.”
Monic memang tidak tahu bagaimana rasanya dikhianati. Seperti apa sakitnya. Tapi dia juga tidak rela kalau rumah tangga kakaknya pada akhirnya akan karam karena pengkhianatan pula. Dia tidak bisa membiarkan Nona pada akhirnya menjadi lebih dekat dengan Febrian. Meski sekarang Nona terlihat mengelak, tapi siapa yang tahu jika akhirnya Nona bisa luruh juga. Karena Monic tahu, semenarik apa Febrian itu.
“Aku harap kamu tidak mengaitkan masa lalu kita dengan Febrian.”
“Tidak ada hubungannya sama sekali. Apa maksdumu?”
“Kalau kamu masih membenciku, jangan kamu balaskan dendammu pada kakakku.”
“Dendam?” Nona berdesis tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Jadi Monic pikir, dia akan menerima perhatian Febrian sehingga membuat pernikahan Febrian hancur, untuk membalas dendam atas sakit hatinya kepada Monic? Ini benar-benar kecurigaan gila!
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Is You (Tamat)
Fiction généraleGadis pertama berdiri tegang melihat gadis kedua terduduk lemah di atas kursi roda. Wajah gadis kedua pucat. Ada kesakitan yang merayap di wajah gadis itu. Namun dia berusaha menyembunyikannya dengan memalingkan wajah. Gadis pertama masih shock seja...