Semanis apa pun cintamu, tapi jika tak berbalas, maka manis itu pun akan menjadi pahit
Mia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan yang masih terbuka lebar untuknya. Marvin sudah kembali pada Nona. Billy pasti patah hati. Mia tidak ingin diam seperti dulu. Menunggu dan menunggu saja. Kalau dia hanya diam, siapa yang akan memulai? Sedangkan Billy tidak pernah menyinggungnya sedikitpun. Mia tidak percaya bahwa seorang pemuda yang disayang dan diperhatikan terus menerus, tidak akan pernah bisa melunak. Mia yakin, Billy bisa menyadari perhatiannya, bisa menerima cintanya. Mungkin memang tidak cukup waktu sebentar, tapi bukan berarti harus menyerah begitu saja.
Seperti hari ini. Mia sudah melihat bagaimana kusutnya wajah Billy saat melihat adegan mesra Marvin dan Nona. Jadi kesempatannya hari ini menghibur Billy.
“Billy, mau pulang kan? Aku ikut, ya?”
Semenjak sakit hati karena Nona mau saja jalan dengan Billy meski sudah punya Marvin, Mia menjadi nekad. Dia mengubah sikapnya yang dulunya malu-malu menjadi agresif. Biar orang mau berkata apa. Sekarang bukan zamannya lagi seorang gadis menunggu. Seorang gadis harus bergerak cepat sebelum pemuda pujaannya disambar orang. Apalagi kalau saingannya semenarik Nona. Mia harus mengambil langkah seribu.
Sejenak Billy terdiam. Antara kaget dan bingung. Padahal dia ingin segera pulang. Makan, mandi, lalu tidur sambil bermain ponsel. Tapi mengapa Mia malah mendekatinya? Membawa helm pula. Pasti ada maunya. Billy sudah paham sekali.
“Sori, Mia.”
“Ayolah, Bil. Sebentar aja. Please.” Mia menangkupkan kedua tangannya di depan bibirnya. Seperti hamba sahaya yang sedang memohon maaf majikannya. Wajah mungilnya dikerutkan sedemikian rupa sampai Billy tidak sanggup menolak.
“Oke, deh.”
Mia tersenyum puas mendengarnya. Tanpa pikir panjang lagi, dia segera melompat naik ke belakang tubuh Billy. Kedua lengannya dilingkarkan ke pinggang Billy dengan santainya. Membuat Billy sekejap terpaku.
“Tarik, dah!” pinta Mia setelah dia siap di boncengan Billy.
Billy menghembuskan nafas lelah. Dengan berat hati dia melajukan motornya ke rumah kost Mia. Memang tidak seberapa jauh dari kampus mereka. Tapi kalau berat hati, jarak dekatpun terasa jauh. Beda bila berdua dengan Nona. Jarak jauhpun terasa begitu dekat.
Hingga mereka telah sampai di depan rumah kost Mia, sebenarnya Billy ingin buru-buru pergi. Dia tidak mau lagi mengobrol apapun. Yang ada dalam otaknya hanya menghindar, menghindar, dan menghindar.
Namun rupanya upaya Mia tidak sampai disitu saja. Dia berulah lagi. Tangannya menarik lengan Billy supaya turun dari motor.
“Aku harus pulang, Mia.” Billy masih bertengger di atas motornya dengan raut muka menahan lelah.
“Sebentar aja, Billy. Aku udah bikin kue khusus buat kamu. Masa kamu nggak mau nyobain? Aku bisa kecewa nih.” Mia merengek lagi. Rasanya tidak bisa lagi ditolak.
Sekali lagi Billy menarik nafas lelah. Dia semakin yakin bahwa Mia menaruh hati padanya seperti yang sudah diduganya sejak lama. Sekarang gadis itu sedang melancarkan aksinya. Memperjuangkan cintanya. Tak urung Billy menjadi sedih. Dia jadi ingat kepada dirinya sendiri saat mengejar Nona. Ketika Nona lebih berpaling pada Marvin, dia merasa sakit hati. Jadi kalau sekarang dia menolak kebaikan Mia, tegakah dia membiarkan Mia sakit hati pula?
Seperti termakan oleh rayuan maut, Billy perlahan turun dari motornya. Membuat senyum Mia melebar bahagia.
Tanpa melepaskan tangan Billy, Mia menarik Billy untuk duduk di bangku panjang yang berada di teras. “Tunggu sebentar di sini ya,” Mia memasuki rumah itu sambil setengah berlari. Takut Billy keburu hilang kalau terlalu lamban. Kemudian dia mengambil senampan kue donat yang terbuat dari adonan dark chocolate dan cocoa powder.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Is You (Tamat)
Ficción GeneralGadis pertama berdiri tegang melihat gadis kedua terduduk lemah di atas kursi roda. Wajah gadis kedua pucat. Ada kesakitan yang merayap di wajah gadis itu. Namun dia berusaha menyembunyikannya dengan memalingkan wajah. Gadis pertama masih shock seja...