NONA BERLIANA melirik jam tangannya untuk yang kedua kali. Dia gelisah bercampur kesal. Kalau tidak janji, dia tidak mau menunggu begini. Lebih baik pulang saja sendiri. Tapi kalau pulang sendiri, dia juga khawatir Marvin akan kelayapan kemana-mana. Maklum, punya pacar keren sekaligus playboy harus sedia setiap saat. Supaya tidak punya kesempatan untuk menggoda gadis lain dan tidak diambil orang.
Nona tahu risiko memiliki pacar sekaliber Marvin. Harus siap untuk sering-sering cemburu. Barangkali juga kesal dan marah. Tapi tentu saja, cemburu dan marahnya harus disimpan baik-baik di dalam hati. Karena pemuda macam Marvin tidak akan senang dicemburui. Pemuda seperti itu akan lari tunggang langgang jika terus dicemburui dan dicurigai. Karena itu Nona hanya bisa meluapkan marahnya dengan memukul-mukul bantalnya di rumah jika melihat Marvin terlalu dekat dengan teman-teman gadisnya yang lain.
Hari ini sepertinya Nona juga harus bersiap untuk marah lagi. Sudah kebiasaan Marvin, telat keluar dari ruangannya berarti masih asyik mengobrol dengan teman-temannya. Padahal Nona sudah menunggu selama satu jam. Tepat semenit kemudian, Nona melihat Marvin keluar dari ruangannya dengan beberapa temannya.
“Hei, nunggu lama ya?” tanya Marvin tanpa rasa bersalah. Dia selalu terlihat ceria. Senyum dan tawa tidak pernah hilang dari wajahnya. Padahal Nona sudah melihatnya dengan raut muka sinis.
“Seminggu!”
Bukannya minta maaf, Marvin malah tertawa lebar. Aneh, kan? Kalau untuk pemuda lain pasti sudah memohon-mohon supaya dimaafkan. Kalau Marvin, tunggu dulu! “Kamu nggak apa-apa kan kalau pulang sendiri?”
Belum surut kekesalan Nona, kini ibarat air laut yang sedang pasang di malam hari, kekesalan Nona sudah pada puncaknya. “Kamu mau mainin aku ya? Aku udah nunggu satu jam, terus sekarang kamu suruh pulang sendiri?” geram Nona sedikit keras.
“Yah, gimana, sori deh. Temen-temen ngajakinnya dadakan sih.” Marvin meletakkan kedua tangannya di pinggang. Sesekali mengusap rambutnya supaya tetap tertata rapi. Mukanya ditekuk seolah menyesal. Kemudian berubah lega ketika melihat Billy.
“Billy, gue nitip Nona dong.”
Nona semakin tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Marvin menitipkan pacarnya pada temannya? Benar-benar sinting! Dia kira Nona apa? Barang dagangan?
“Apa-apaan sih kamu? Kalau nggak bisa anter pulang, nggak usah pake nitipin segala. Aku bisa pulang sendiri!”
“Loh, ini udah sore. Entar kamu digondol orang.” Marvin masih berusaha membuat Nona mengikuti keinginannya. Lalu katanya pada Billy, “Bil, anter Nona pulang ya. Gue ada acara dadakan nih. Please.”
Billy mengerutkan keningnya tanda tidak suka. Enak aja. Emang aku apaan? Kurir? Kata Billy dalam hati. Dia paling ogah mengantar orang. Apalagi kalau disuruh begini. Dan lihat saja ceweknya. Kelihatan sekali kalau keberatan.
“Terserah,” jawab Billy akhirnya karena tidak enak juga kalau harus menolak orang yang sedang butuh bantuan. Nanti dikiranya dia tidak berbudi pekerti.
Mendengar jawaban Billy yang enggan dan malas, Nona semakin meyakinkan diri kalau dia bisa pulang sendiri. Memang dasar Marvin sialan!
“Aku bisa pulang sendiri,” ucap Nona ketus sambil berbalik lalu melangkah lebar-lebar keluar dari kampusnya.
Marvin melongo kebingungan. Aneh kan cewek kalau sudah marah? Diperhatikan malah marah. “Entar kejar dia ya, Bil. Gue udah telat nih,” kata Marvin berlari menjauh sambil menepuk bahu Billy.
Billy hanya mendengus kesal kemudian menuju ke tempat parkir mengambil motornya. Dengan cepat dia mengambil helm lalu melajukan matic-nya keluar dari kampus. Dia melihat Nona sedang berjalan sendiri sambil menunduk dengan bibir merengut. Tapi ah, peduli amat. Gadis itu sendiri kok yang tidak mau.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Is You (Tamat)
Ficción GeneralGadis pertama berdiri tegang melihat gadis kedua terduduk lemah di atas kursi roda. Wajah gadis kedua pucat. Ada kesakitan yang merayap di wajah gadis itu. Namun dia berusaha menyembunyikannya dengan memalingkan wajah. Gadis pertama masih shock seja...