Ada Rasa Antara Kita (2)

1.9K 140 4
                                    

Nona benar-benar tidak mengerti mengapa perasaannya campur aduk begini. Jelas-jelas dia tidak suka mendengar bahwa Mia sudah jadian dengan Billy. Apakah itu berarti dia menyukai Billy? Lalu bagaimana perasaannya pada Marvin? Tidak mungkin dia menyukai dua pria sekaligus. Atau betul apa yang dikatakan Billy, bahwa dia tidak betul-betul menyayangi Marvin? Kalau dia sayang pada Marvin seharusnya dia marah-marah pada Marvin saat memergoki mata Marvin mengagumi Monic beberapa bulan yang lalu. Tapi bukannya marah, dia malah minta putus. Saat Marvin meminta maaf darinya, dia juga langsung percaya pada janji-janji Marvin. Padahal Nona yakin sekali, entah karena apa, Marvin pasti masih iseng pada Monic.

Ini benar-benar dilema baginya. Tidak tahu kemana perasaannya akan berlabuh. Lagi pula kalau sekarang berniat mengubah haluannya, semua juga sudah terlambat. Billy sudah menjadi milik Mia. Pemuda itu pasti kecewa karena dia tidak menggubrisnya. Dan pelariannya kepada Mia.

Nona menghembuskan nafas lelah. Rasanya lebih baik dia memikirkan kuliahnya. Kurang satu semester lagi. Dia tidak mau mengulur waktu lagi. Dia ingin seperti Billy. Menyelesaikan kuliah baru memikirkan hatinya.

Sebenarnya seringkali Nona mengagumi Billy. Pemuda itu tidak banyak tingkah. Tapi sekali jatuh hati, menggodanyapun langsung membuat Nona terpesona. Sekarang bahkan sudah bekerja. Lain dengan David. Dengan Marvin. Meski mereka masuk kuliah bersama tapi tidak keluar sama-sama. Kalau Nona menanyakannya, Marvin pintar saja menjawab.

“Jadwal nge-bandku padat, Sayang. Jadi nggak apa deh kuliahnya diulur dulu. Lagian aku kan dapat duit juga.”

Nona pasti selalu memahami saat mendengar alasan Marvin yang menunda skripsinya. Padahal membuat skripsi itu butuh kerajinan dan kedisiplinan. Tidak asal jadi kemudian lulus. Banyak perjuangan yang harus dilewati. Banyak biaya juga yang harus dikeluarkan. Tapi Nona tidak berani memaksa. Apapun yang disukai Marvin dia akan mengiyakan saja. Intinya dia masih mengharapkan Marvin ada di sisinya.

***

Semakin hari Marvin semakin jarang saja menemui Nona. Hanya sekali saja dalam seminggu. Harinya tidak tentu pula. Pacarnya itu hanya menelepon dan mengirim pesan saja. Tapi setiap kali diajak jalan, Marvin selalu mengelak. Seringkali Nona penasaran, ke mana saja Marvin pergi. Tapi dia malas sekali jika harus menguntit orang. Apalagi kalau yang dibayangkannya itu betul-betul kenyataan. Bisa-bisa dia stress karena tidak sanggup menghadapinya.

Sekarang pun dia juga sudah jarang ke kampus. Tinggal menunggu waktu saja untuk ujian dan wisuda. Kemudian dia akan bebas. Dia akan mulai mencari kerja. Bertemu dengan orang-orang baru. Dengan kenalan baru. Barangkali kalau hari itu datang, dia bisa tahu kemana arah tujuan hidupnya. Dan dengan siapa akan dihabiskan masa hidupnya.

Nona terbangun dari tidurnya. Sebangun dari tidur tadi dia tidak langsung bangkit, masih mengkhayal dulu. Kemudian dikagetkan oleh suara ketukan pintu rumahnya. Dan sekarang sudah terdengar suara ibunya dengan seseorang yang sepertinya sangat akrab.

Nona merapikan diri sebentar lalu keluar kamar. Dia melongokkan kepalanya dari atas ke lantai bawah. Dan melihat Tante Susi dengan Billy.

Astaga, mau apa Billy kemari? Jangan-jangan mau melamarnya. Hah, konyol! Mana mungkin itu terjadi. Ini pasti kebanyakan mengkhayal.

Nona memutuskan untuk tidak mau menemui mereka. Dia lebih memilih duduk di taman belakang memberi makan ikan-ikannya di kolam mininya yang dikelilingi bunga-bunga hias. Tapi sialnya Billy seperti sengaja mencarinya dan menemukannya juga.

“Hai, Non.”

Nona berbalik dengan cepat. Dia memang kaget. Sekaligus senang karena Billy mencarinya. Tapi tentu saja senangnya hanya dalam hati, disembunyikannya rapat-rapat.

“Hai, Bil.” Nona berusaha tersenyum samar-samar. Dia berjalan ke kursi panjang dan mengajak Billy duduk dengan isyarat tangannya.

“Di rumah aja nih?”

“Iya.”

Masih begitu saja awalnya. Kemudian diam. Seperti sama-sama berpikir mau bicara apa. Akhirnya Nonalah yang membuka obrolan dulu. Disulut rasa penasarannya juga. Dia ingin tahu dari Billy langsung.

“Mia bilang kalian udah jadian?” Nona menanyakannya tanpa menoleh. Tatapannya tetap mengarah pada kolam ikannya. Justru Billylah yang kemudian menatapnya.

“Hanya sekedar penebusan rasa bersalah.”

Nona mengerutkan dahi, lalu menoleh dengan heran. Ingin penjelasan yang lebih lengkap.

“Kamu nggak betul-betul sayang sama Mia?”

“Kamu kan tahu siapa yang kusayang,” saat mengucapkannya, Billy sedikit mendekatkan wajah, membuat Nona berpaling.

“Aku jadi kasihan sama Mia. Dia pasti sakit hati kalau tahu kamu cuma mau main-main dengannya.”

“Aku juga kasihan denganmu. Kamu pasti sakit hati kalau tahu Marvin masih mempermainkanmu sampai sekarang.”

“Billy!”

“Apa, Sayang?” jawab Billy santai. Dia tersenyum menggoda sambil menatap lekat-lekat mata Nona.

Nona menampilkan wajah kesal. Sekesal-kesalnya. Bisa-bisanya Billy bilang bahwa Marvin masih mempermainkannya. Mana buktinya? Lama-lama dia benci juga pada sikap Billy yang terus menerus mempengaruhinya supaya memutuskan hubungannya dengan Marvin. Bukankah itu adalah sikap yang salah?!

“Aku nggak suka kamu terusan menjelekkan Marvin di hadapanku!” Nona menarik nafas sebentar. “Dan juga, aku baru tahu ternyata kamu ngeselin juga ya.”

“Loh, kenyataan kok. Mau bukti? Aku bisa antar kamu melihat...”

Billy menghentikan perkataannya karena ibu Nona muncul di belakangnya.

“Non, cobain deh ini kalung mutiaranya. Bagus banget, kan? Nih!” Mama Arni memberikan kalung itu kepada putrinya. Sebelum pergi dia tersenyum pada Billy.

Nona mengamati kalung itu. Kemudian tersenyum tipis. Memang indah. Putih berkilau. Dia jadi tidak sabar ingin mencobanya. Tidak sadar juga kalau Billy mengikutinya.

Nona berdiri di depan cermin besar yang ada di ruang tengah rumahnya. Dengan sekali pakai, dia langsung jatuh cinta pada kalung ini. Menawan dan mempesona. Nona seperti takjub melihat pantulan dirinya sendiri. Dia baru merasa malu saat Billy muncul di belakangnya mengawasinya dari pantulan cermin.

“Cantik. Cantik sekali,” Billy berucap lalu mendekat. Saat itu Nona sedang memilin kalung yang masih bertengger di lehernya. Kemudian tanpa diduganya, Billy mendaratkan ciuman mesra di pundaknya yang terbuka.

Nona terkejut bukan main dengan tubuh membeku dan mata terbeliak tidak percaya. Ciuman kecil itu seperti aliran listrik yang kemudian menyebar ke seluruh saraf tubuhnya. Mendadak tubuhnya menghangat. Begitu pula wajahnya.

Nona sudah siap mengelak ketika Billy mendekatkan diri ke telinganya. Tapi Billy tidak berusaha melakukannya lagi. Billy justru membisikkan sesuatu.

“There's love between us. Not friendship.”

Kemudian pemuda itu melenggang pergi dengan santainya. Meninggalkan Nona yang masih diam terpaku menahan nafas.

***

Wiiih Billy...

Love Is You (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang