“Miyeon-ah, bagaimana penampilanku? Apakah aku sudah tampak cantik?”
Jennie mematut dirinya di depan cermin dengan raut wajahnya yang ketara sekali menunjukkan rasa gelisah. Berbeda dengan Jennie, Miyeon justru terlihat santai. Bahkan, sedari tadi ia asik mengunyah permen karet sembari bersedekap.
“Jennie, ada bubuk merica di gigimu,” sahut Miyeon asal.
Kedua mata kucing Jennie membelalak. “Dimana?!” Ia berseru secara histeris.
“Bohong kok,” Miyeon kembali menyahut dengan tampangnya yang kelewat kalem.
Jennie mendengus, menatap murka pada sang sahabat. “Cho Miyeon! Kamu tahu tidak sih betapa paniknya diriku? Ini merupakan pengalaman sekali seumur hidupku! Dan kamu malah mengerjaiku!” omelnya pada sang sahabat.
Miyeon mengedikkan bahunya. “Tahu kok. Tapi, aku tidak mengerti kenapa kamu harus panik seperti ini. Kamu sudah mengenal kakakku sejak lama. Kalian bahkan terlalu sering bertemu karena kita bertetangga. Jadi, kenapa harus gugup ketika kamu akan tinggal satu atap dengan kakakku? Kan rasanya tetap saja sama.”
Jennie memutar bola matanya. “Cho Miyeon, ini berbeda. Kalau dulu, statusku hanya lah sebagai sahabat dari adiknya Taeyong. Kemudian, naik satu tingkat menjadi kekasih Taeyong. Tapi sekarang? Sekarang aku akan menjadi istri sah dari Taeyong! Aku akan menjadi Nyonya Lee! Tidakkah kamu melihat perbedaannya?”
Jennie mengguncang-guncang kedua bahu Miyeon dengan histeris.
“Calon kakak iparku norak sekali sih,” gerutu Miyeon.
“Memangnya kamu sudah siap untuk menjadi istri dari kakakku?” tanya Miyeon pada Jennie.
“Siapa sih yang tidak siap menjadi istri sah dari pemuda setampan Lee Taeyong? Aku siap memperbaiki keturunanku,” ucap Jennie sekenanya.
“Heh! Aku serius tahu!” Miyeon mengulurkan tangannya dan mencubit pipi Jennie dengan gemas.
“Hmm…” Jennie berpikir sejenak sebelum kemudian menanggapi perkataan Miyeon.
“Siap tidak siap, aku harus tetap siap. Awalnya, aku memang merasa bahwa pernikahanku dengan Taeyong terlalu cepat untuk diselenggarakan. Tapi, melihat ketulusan dan kesungguhan Taeyong membuat diriku luluh. Lagipula, orangtua kita sangat merestui hubungan ini. Padahal, kamu tahu sendiri kan bagaimana dulu ibuku selalu saja bersikap garang kepada mantan-mantan kekasihku. Hanya Taeyong saja yang mampu mengambil hati ibuku.”
“Bagaimana kakakmu yang sudah menyimpan rasa padaku sejak dulu. Bagaimana kakakmu yang benar-benar menerima diriku apa adanya meski tahu kenakalanku sebelum aku dekat dengannya. Bagaimana kakakmu yang mengesampingkan sisi buruk diriku demi melihat hal baik pada diriku.”
“Kau tahu? Kakakmu selalu memperlakukan diriku dengan manis. Ia selalu penuh kejutan. Benar-benar tipikal pemuda di drama yang biasanya dianggap tidak nyata oleh banyak orang. Kakakmu menyuguhkan masa depan yang cerah kepada diriku. Ia tidak menjanjikan bahagia, melainkan mengusahakannya. Karena itu lah, perlahan rasa ragu itu terkikis begitu saja dari relung hatiku.”
“Lagipula, besok kamu dan Sehyoon Oppa juga akan menikah. Sehyoon Oppa kini semakin giat bertanya kepadaku kapan aku akan segera minggat dari rumahnya. Melihat kakakku yang begitu bernafsu untuk mengusir diriku demi dirimu membuatku tidak punya pilihan lain selain tinggal dengan Taeyong.”
Jennie mengerucutkan bibirnya. Ia sebal setiap kali mengingat Sehyoon yang tiba-tiba saja menaburi garam di depan kamarnya agar Jennie tidak lagi menginjakkan kakinya ke dalam kamar pemuda itu. Kata Sehyoon, kamar itu akan ia tempati bersama Miyeon ketika mereka sudah menikah nanti dan Sehyoon tidak mau jika Jennie mengintip mereka berdua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kissing Booth (Jenyong)
NouvellesRule Number 9: never date your bestfriend's sibling.