3

6.6K 1.3K 66
                                    

kalau ada yang menunjuknya sebagai sukarelawan untuk mendelesi hari senin di kalender tahunan, donghyuck bersedia. karena sumpah demi tuhan, hatinya hanya berisi gerutuan tak bertuan yang ia sumpah serapahi di tiap katanya.

donghyuck. benci. senin.

"terima kasih, dan jangan, aku kenyang. " donghyuck berkata, di saat hyunae menaruh sebungkus roti dengan keju di atas mejanya.

hyunae menelengkan kepala dengan polosnya, "kamu bahkan belum makan apa-apa—? "

"aku sudah makan di rumah. "

"bohong, dusta. mana pernah haechan sarapan. " dengus si gadis dengan remehnya.

donghyuck semakin membisu, walau hatinya ribut menggerutu. suara sumbang speaker sekolah yang mulai rusak membuat suasana menjadi menyebalkan. hyunae pun berlalu, pergi ke mejanya.

"hasil ulangan dibagikan! " ujar ketua kelas dengan lantang. donghyuck hanya membisu, hasilnya sudah tertebak, tidak ada yang menarik dari petak-petak yang ia isi hanya dengan gamblangnya. secara murni ia tumpahkan, walau yang ia tumpahkan, belum tentu putih seperti kertas.

bisik, gemerisik.

nyaring, bising.

mereka asyik membandingkan nilai satu sama lain, sementara donghyuck, membaur. hanya tertawa mengejek di saat yang lain lebih rendah darinya, dan misuh saat yang lain lebih tinggi darinya.

bukannya sederhana?

ah, andai saja begitu.

———

hari berakhir pada notasi jam 4 sore, ada donghyuck yang sedang melaksanakan piket— mebuang sampah ke taman belakang. tiap langkah yang ia ambil membunyikan pergesekan lamat-lamat, entah apa tujunya.

donghyuck terdiam, sebentaran. kedua manik obsidian menatap dalam secarik kertas dengan deret angka yang tidak ia hormati. hasil ulangan yang dibagi tidak bernilai apa-apa baginya,

hingga, tangannya spontan merobek kertas di tangannya. kertas dengan cantuman nama lee donghyuck dengan nilai yang lumayan itu ia robek dengan perasaan hampa.

donghyuck, tidak peduli.

dan tanpa disadari, aksinya ditonton oleh yang lain— bukan awan-awan abu kelabu, maupun dahan tua yang mulai rapuh. namun seorang gadis dengan tatapan teduhnya yang melangkahkan tungkai tanpa ragu.

"haechan, " lirih hyunae. nafasnya terhembus berat, pandangnya lamat.

sebelum ia berjongkok, mengambil serpihan-serpihan kertas tak berdosa itu di rerumputan. ia berujar, "kamu harus belajar menghargai, haechan. "

dan donghyuck hanya diam. sebelum kedua betis ia tundukkan, ikut berjongkok, dan memandang hyunae, dalam penuh seperti menelisik diam-diam.

"kenapa? " tanya haechan dengan halus, yang terdengar kalah melawan gemerisik dedaunan. "toh, kalau aku tidak ada, akan ada yang menggantikan. "

hyunae mengernyit, matanya memandang melankolis. "aku tidak suka pola pikirmu. "

donghyuck memandang lebih miris, "aku tidak menyukai apa-apa. "

———

paginya, donghyuck temukan secarik kertas yang disatukan menggunakan selotip.

juga suatu notes yang berbunyi, 'pola pikirmu itu, bodoh sekali. '

dan donghyuck hanya bisa menghela nafas, tersenyum kecil.

———

©bae 2018

woundsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang