Kehidupan itu aneh.
Bayangkan sekotak cokelat favoritmu yang kau dapat dari seorang teman yang tinggal di luar negeri. Atau sepotong lasagna ekstra keju luar biasa enak buatan bibimu yang amat jarang kautemui. Kau begitu menikmatinya hingga tak rela harus kehabisan. Tapi kau tak bisa menghindar. Selambat apapun kau mengemut cokelat itu, atau sekecil apapun kau mencongkel ujung potongan lasagna itu, kau akan menghadapi saat di mana kotak dan piring itu kosong.
Kehidupan agak mirip seperti itu, paling tidak bagi Anna. Pada akhirnya, setiap kehidupan akan menghadapi rivalnya. Saat 'kosong' itu. Sebuah ujung yang selama ini disebut-sebut kematian.
Waktu Anna masih kecil, ibunya sering memberitahunya bahwa ayahnya sudah 'pergi' ke suatu tempat yang lebih baik dan mengawasi mereka. Ibunya tampaknya begitu yakin dengan hal itu, namun Anna masih menyangsikan istilah itu. Ayahnya tidak pernah benar-benar 'pergi'. Bagaimana mungkin mempercayai ibunya bila setiap malam dia melihat pria itu? Di ruang makan? Di garasi? Di tengah perjalanannya menuju sekolah? Anna bahkan nyaris frustasi berusaha meyakinkan ibunya bahwa ayahnya masih di sana. Pada akhirnya, Anna menyadari bahwa usahanya akan sia-sia saja. Ibunya tidak bisa melihat ayahnya. Hanya Anna yang bisa melihatnya. Dan itulah pertama kalinya dia menyadari dirinya memiliki kelebihan yang tak banyak dimiliki orang lain.
Sudah empat bulan berlalu sejak insiden Colton dan Amber di pemakaman, dan Anna tidak pernah lagi melihat Toby. Ke manakah dirinya pergi? Apakah seperti yang dikatakan ibunya, 'ke tempat yang lebih baik'? Apakah Toby masih bisa mengawasi mereka semua dari sana, seperti seorang penjaga museum yang memantau kamera pengawas di ruangannya?
Dan apakah saat ini Toby melihatnya, berlutut di depan nisannya, membawa seikat bunga?
Sudah memasuki musim dingin di Hendersonville. Kevin ikut berlutut di sebelah Anna, menyapukan tangannya di atas nisan untuk menyingkirkan salju yang menutupi ukiran nama sahabatnya. Cowok itu baru saja menerima surat resmi penerimaannya dari universitas terkemuka di luar kota. Dia akan menjadi mahasiswa baru musim semi mendatang dan nyaris memakan waktu tiga jam perjalanan untuk menuju ke sana, karena itu mereka hanya bisa bertemu di akhir pekan.
Amber Mills diputuskan harus menjalani terapinya selama satu tahun di rehabilitasi tak jauh dari Hendersonville. Orangtuanya bersikeras untuk tidak membawanya terlalu jauh dari kota itu, untuk menjaga agar Amber tidak 'melupakan' kesalahannya, untuk membuatnya tetap ingat tujuan awalnya melakukan terapi itu. Ketika Anna untuk pertama kalinya mengunjunginya, gadis itu tak sanggup menghentikan tangisnya. Anna bahkan belum sempat mengucapkan apapun selain 'hai', dan Amber tidak berkata apa-apa. Mereka berdua hanya duduk di sana, berhadap-hadapan, sementara Amber menumpahkan segalon air mata. Dia terlihat lebih kurus dari yang terakhir diingat Anna. Walaupun begitu, masih patut disyukuri teman-teman cheerleader-nya masih melakukan kunjungan rutin dua kali seminggu, membawakannya majalah, cemilan, atau gosip terbaru.
Colton Parker dijatuhi hukuman lima tahun penjara pada pengadilan terakhirnya yang juga dihadiri Kevin. Anna di sana, melihat Kevin bersaksi di hadapan hakim dan semua orang. Dia tidak memaksa orang-orang untuk memihaknya. Tetapi dia juga tidak memihak siapapun. Apa yang dikatakannya murni yang diketahuinya dan yang dipercayainya. Tak sedetikpun Kevin tampak ragu-ragu saat itu, sulit dipercaya, mengingat Anna amat jarang melihat cowok itu berbicara di hadapan publik. Tidak selain dari balik mikrofon ruang siarannya. Pada dasarnya, dia hanya menceritakan bagaimana dirinya, Colton, dan Toby berteman. Dan menyerahkan keputusan sepenuhnya di tangan hakim.
Sejujurnya, Anna tidak bisa merasa lebih bangga lagi terhadap cowok yang saat ini berada di sebelahnya, menggenggam satu tangannya seraya mereka bersama-sama termenung di hadapan nisan Toby.
Matahari sudah semakin tenggelam di garis horizon, namun masih menyisakan cukup cahaya ketika Anna dan Kevin kembali ke jalan setapak pemakaman. Langkah Anna melambat saat angin perlahan berhembus di sekitarnya, menimbulkan bunyi gemerisik pepohonan dan membuat butiran salju tertiup dari dahan-dahan. Kevin sudah berjalan terlebih dulu menuju Ford Caprisnya yang terparkir tak jauh, namun Anna terhenti. Itu bukan sembarang angin.
"Aku tahu kau di sana." Anna berbalik dan melihat sesosok yang sudah tak asing lagi berdiri di dekat sebatang pohon beberapa meter di hadapannya. Polo shirt dan celana khaki. Pria itu tersenyum.
"Kau kelihatan berbeda." kata Robert Willow. Anna mengernyit.
"Berbeda?"
"Ya, kau lebih cantik."
Sesungguhnya, komentar itu tidak hanya didengarnya dari ayahnya. Bibi Heather juga mengatakan hal yang sama belum lama ini. Tetapi Anna bersumpah dia bahkan tidak mengeluarkan satu dolar ekstra untuk membeli peralatan make up. Dan dia juga tidak memakai baju baru. Dia hanya sedikit lebih memperhatikan dirinya. Dan di samping itu, mungkin didukung satu faktor lain.
"Banyak yang bilang gadis yang sedang jatuh cinta terlihat lebih cantik." kata Anna.
Robert tersenyum. Senyuman khas yang hanya dimiliki satu orang di dunia ini. Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Anna menyadari dirinya merindukan senyuman itu.
"Jadi kau sedang jatuh cinta?" Robert memandang ke satu titik jauh di belakang Anna, "Padanya?"
Anna mengikuti arah pandang ayahnya, "Kevin Spencer. Anak deputi polisi Hendersonville. Kau kenal Fred kan?"
"Ah." Robert bersedekap, "Dia lumayan... tinggi."
Anna terkekeh menanggapi komentar ayahnya, "Dad, please."
Robert tersenyum, "Kau tampak yakin."
Anna memperhatikan punggung Kevin di kejauhan, "Mrs. Mozkovitz belum lama ini menemuiku. Dia memberikanku suratnya, Dad. Yang ditulis Toby untukku. Mrs. Mozkovitz baru menyerahkannya karena tak sanggup memasuki kamar anak laki-lakinya sejak kecelakaan itu. Sejak pengadilan Colton kembali digelar, dia seperti menemukan kekuatannya kembali. Dan dia menyampaikannya padaku."
"Apa isinya?"tanya Robert ingin tahu.
"Penolakan." Anna tersenyum sederhana, "Sejujurnya, itu... melegakan."
Kevin tampaknya baru menyadari bahwa Anna sedari tadi tidak berjalan di belakangnya. Cowok itu berbalik, sedikit bingung ketika mendapati Anna masih berada jauh di belakangnya.
"Anna?" Kevin berseru memanggil dari kejauhan. Anna mengangguk kecil padanya.
"Kurasa kau benar, Dad. Aku memang yakin soal dia."
"Ini bukan demi Toby?"tanya Robert. Anna tersenyum dan menggeleng.
"Toby hanya membantuku. Dia membawaku padanya."
Robert tersenyum pada anak perempuannya dengan bangga. Lagi-lagi senyuman khasnya. Dan Anna terpukau memandanginya.
"Kurasa setelah ini aku hanya perlu memastikan apakah dia tipe yang bisa kupercayakan soal dirimu."
"Jangan khawatir. Aku bisa mengurus diriku. Ngomong-ngomong, Mom titip salam. Dia minta maaf karena tidak bisa mencarikan lavender kesukaanmu sebagai hiasan. Dia berjanji bakal membawakannya di kunjungan berikutnya."
Robert menatap ke arah kanannya, ke sebuah nisan di antara yang lainnya. Satu yang cukup mencolok karena dihiasi bunga tulip yang masih segar.
"Aku senang itu bukan yang pertama dan terakhir." gumamnya dengan sorot sayang. Dan rindu.
Anna ikut menatap tulip itu, mendadak dadanya dipenuhi buncahan keharuan yang begitu kuat, hingga kedua matanya terasa panas, "Tidak, Dad. Itu bukan yang pertama dan terakhir."
Ya, Anna tahu itu benar. Bahwa Carol sudah membaik. Mulai sekarang, keadaannya akan membaik. Dan segalanya akan baik-baik saja.
Tidak selamanya, kehidupan tidak bisa menjaminnya. Karena kehidupan-seperti anggapannya tadi-memang sangatlah aneh.
THE END
this story is dedicated to
Mira A. P. (1992-2015)
The girl with the brightest smile I've ever known.
Terima kasih banyak sudah membaca cerita ini. Ada sedikit bonus content di chapter berikutnya :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Toby
Teen FictionSuatu pagi, seorang cowok berdiri di depan rumah Anna Willow. Kebetulan pula, cowok itu pernah Anna kirimi surat cinta. Tobias Mozkovitz atau Toby--si bintang sekolah yang disenangi semua orang dan setahun di atas Anna--tiba-tiba muncul di hadapan...