Chapter 9

124 44 5
                                    

Secercah sinar matahari pagi yang menembus masuk melewati sela-sela gorden kamar Anna menghantam kedua matanya, menyilaukan. Anna mencari-cari selimut, merasa kamarnya agak lebih dingin dari biasanya, dan gagal menemukannya. Akhirnya, dengan amat berat dia membuka mata dan menemukan selimutnya sudah teronggok menyedihkan di lantai dekat kaki tempat tidur. Tetapi apa yang dilihatnya berada di ujung tempat tidur bukan hanya selimut.

Ada Toby di ujung tempat tidurnya.

"Astaga Tuhan!" Anna melompat terduduk demikian mendadak sampai-sampai ubun-ubunnya membentur kepala ranjang yang terbuat dari kayu. Dia mengumpat, kesakitan sekaligus jantungan melihat cowok itu tengah berdiri di sana, menontoninya menuturkan sederet kata makian.

"Demi Tuhan, apa yang kau lakukan di sini?!" Anna melotot dengan matanya yang berair, syok menatap Toby. Dia mengangkat bahu dan menyahut sederhana.

"Aku bisa masuk."

Anna melongo sejenak, berusaha membuat otaknya yang seolah berfungsi lambat setelah terantuk kepala ranjang kembali bekerja.

Di tengah-tengah emosinya akibat pertengkarannya dengan ibunya semalam, Anna ingat dirinya mengurung diri di dalam kamar, mencopot gantungan penangkal pemberian Bibi Heather dari pintu kamarnya dan mencampakkannya ke sudut ruangan dengan marah hingga lingkarannya patah, lalu menggabrukkan diri ke atas kasur dan menangis hingga kelelahan dan tertidur.

"Ada sesuatu yang harus kukatakan." Toby duduk di dekat kakinya, mendadak Anna mengerti kenapa suhu kamarnya pagi ini lebih dingin dari biasanya, bahkan dengan cahaya matahari terik yang menembus jendelanya.

Tanpa menjawab, Anna turun dari tempat tidur dan beranjak menuju kamar mandi. Dia membuka lemari obat di atas wastafel dan mengobrak-abrik isinya. Pastilah kegiatannya itu demikian berisiknya sampai-sampai Toby mengintip curiga.

"Apa yang kaulakukan?" tanyanya bingung.

"Quetiapine." Anna menutup lemari dengan keras dan menyandarkan kedua tangannya ke wastafel seraya menghembuskan napas kesal, "Habis."

Anna berlalu melewati Toby begitu saja dan kembali ke kamarnya, menyambar jaket terdekat yang bisa diraihnya dan ranselnya.

"Aku harus ke sekolah. Tinggalkan aku." ujarnya ketus. Toby tampak terperanjat.

"Anna—"

Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Anna keluar dari kamarnya dan menuruni tangga secepat yang kakinya sanggup lakukan, berlari kecil ke dapur dan menyambar setangkup roti yang sudah disediakan di atas meja. Carol yang berada di ruang televisi rupanya mendengarnya turun, namun ibunya hanya sempat memanggil, "Anna?" sebelum gadis itu membanting pintu rumah hingga menutup di belakangnya.

Trotoar basah bekas tersiram hujan. Udara bahkan masih sejuk dan beraroma rumput. Anna berjalan dengan langkah lebar-lebar dan mata yang perih. Dia belum mandi. Dia belum ganti baju. Dia belum mengeluarkan buku-buku pelajaran kemarin dari tasnya. Dia bahkan tidak sempat berkaca atau mengenakan arloji. Dia memaki dirinya sendiri atas kebodohannya, tetapi dia tidak mungkin kembali lagi.

Anna duduk menunggu bus di halte seperti orang tolol. Belum ada bus yang lewat sepagi ini—atau begitulah waktu yang diperkirakannya, dilihat dari warna langit yang masih pucat dan jalanan yang sepi. Tetapi setidaknya di sini tidak ada Toby. Dan dia tidak harus merasakan sarapan canggung dengan ibunya.

Anna menggigit rotinya, merasa bersyukur dia masih ingat untuk mengambil sarapannya sehingga tidak harus duduk dengan perut keroncongan. Ketika sudah lima belas menit lebih menunggu bus yang tak kunjung datang, Anna memutuskan untuk berjalan saja menuju sekolah. Jaraknya memang lumayan, namun masih mungkin ditempuh dengan berjalan kaki. Hitung-hitung membuang waktunya. Sekarang pastilah belum lebih dari jam tujuh.

Ketika kira-kira sudah sepuluh menit berjalan, Anna menghentikan langkahnya tiba-tiba karena melihat Toby sudah berdiri bersandar pada tembok rendah di ujung jalan di depannya. Dia menegakkan diri begitu melihat Anna, seolah sengaja menunggunya.

"Jangan ganggu aku." Anna berkata dingin ketika melewati Toby. Cowok itu menyusul, tampak tersinggung.

"Aku mengganggumu?"dia bertanya, menuntut penjelasan, "Kau mendadak begitu sulit ditemui. Jadi itu alasannya? Kau menganggapku pengganggu?

"Quetiapine. Kau tidak tahu betapa manjur khasiatnya." Anna menyahut sarkatis. Toby nampaknya tidak puas.

"Anna." Toby itu mendadak berdiri menghadang Anna. Dia menatap gadis itu tajam, "Ada apa?"

Entah karena pengaruh roti yang dimakannya tanpa susu dan jus, atau karena dia lupa membawa serta makalah kelas Sastra dan Puisi-nya, atau semata-mata pengaruh emosinya yang sedang tinggi, air mata serta-merta mengalir deras di pipi Anna mendengar pertanyaan itu.

"AKU MENUNGGUMU!"

Gadis itu tahu ini masih terlalu pagi untuk berteriak-teriak. Apalagi di trotoar depan rumah orang. Tetapi dia sudah tidak peduli. Satu hal yang dia tahu, dia muak kepada cowok di hadapannya, "Aku menunggumu, Toby Mozkovitz brengsek!"

Toby tidak menyahut. Dia berdiri mematung di sana.

"Aku ke Hill's Rock." Anna memulai lagi, kali ini lebih tenang, "Setiap malam. Dan setiap malam, kau selalu tidak ada. Dan kau mengatakan bahwa aku sulit ditemui?"

Ibunya benar. Carol benar. Dirinya memang betul-betul sudah kacau. Sulit mendeskripsikan perasaannya saat ini. Marah? Sedih? Kecewa? Campur baur? Bahkan Anna berusaha menghapus perasaan kacaunya dengan menenggak obat bibinya, setiap malam sepulangnya dari Hill's Rock. Semuanya hanya demi seorang cowok yang bahkan sudah tidak memiliki detak jantung.

"Aku menulisimu surat. Surat bodoh." kata Anna, menegakkan diri dan menghapus air matanya, lalu terkekeh datar, "Apa kau sempat membacanya? Apa kau menganggapnya senorak bayanganku? Mengapa kau tidak kunjung merespon? Apa aku membuat keputusan yang tepat? Pertanyaan-pertanyaan yang tidak pernah terjawab. Beberapa hari kemudian sepeda itu terjun dari tebing dan kau—"

Anna menggigit bibirnya hingga mulutnya terasa kebal. Tidak bisa. Dia tidak boleh mengatakannya. Dia tidak berhak mengatakannya. Tidak ada yang berhak.

Toby selalu membuatnya menunggu. Bahkan di hari itu sekalipun.

"Aku... apa?" Toby akhirnya membuka suara. Ekspresi bingungnya kini bercampur dengan raut waspada, "Anna. Aku... apa?"

"Kau harus mengingatnya sendiri." Anna membetulkan tali sampiran tasnya dan meneruskan berjalan.

"Anna..." Toby mengulurkan tangannya untuk mencegah gadis itu pergi, namun dengan ngeri Anna melompat menghindar. Dia menatap jemari tangan Toby ketakutan.

"Jangan sentuh aku." tukas Anna.

"Kenapa?" tanyanya.

Anna memalingkan wajahnya, "Sesuatu yang buruk... akan terjadi."

Toby menurunkan lengannya dan merapatkan rahangnya. Pandangannya berubah dingin.

"Maafkan aku. Aku tidak akan mengganggumu lagi."

Selama bebeberapa saat Anna berdiri di sana, mendadak merasa tak yakin bahwa apa yang barusan dikatakan atau dilakukannya sudah benar. Kemudian dia berbalik dan berjalan meninggalkan Toby. Dia sama sekali tidak mengharapkan semua ini. Seumur hidupnya, dia belum pernah bertengkar dengan cowok—kecuali jika perkelahiannya dengan teman cowok sekelasnya waktu SD untuk memperebutkan cokelat terakhir pemberian Miss Potts, wali kelas mereka, itu masuk hitungan—sehingga dia tidak tahu bagaimana harus bereaksi terhadap perkataan Toby yang mengejutkan.

Dia tidak akan menggangguku lagi, pikir Anna, terus mengulang-ulang kalimat itu di kepalanya dengan harapan akan menimbulkan perasaan lega menyenangkan. Nyatanya, apa yang terjadi malah sebaliknya. Dadanya terasa sesak, seolah-olah ada sebongkah batu yang disumpalkan ke dalamnya.

Dan Anna tahu seharusnya dia tetap berjalan tanpa memedulikan apapun lagi. Tetapi dia tak mampu mencegah dirinya berhenti dan menoleh ke belakang, untuk mendapati bahwa Toby Mozkovitz sudah menghilang dari tempatnya berdiri tadi.

---

Noo Toby :(

Dear TobyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang