01

4.7K 579 157
                                    

8 years later..

Seoul, 2019

"Ayah!"

"Aku mengerti, tapi tidak ada jalan lain."

"Ayah, berikan teleponnya padaku!"

"Ya, tapi kau tahu sendiri itu tidak berhasil."

"Aku juga ingin bicara, ayah!"

"Baiklah, kuharap suatu hari kau bisa berubah pikiran."

"Ayah!!"

"Tidak, Jimin baik-baik saja. Nanti aku hubungi lagi, hyung."

Pip..

Sambungan telepon itu berakhir begitu saja. Seojoon lantas melirik putranya yang kini sudah bermuka masam, dengan posisi melipat kedua lengan di depan dada.

"Apa?" tanyanya berpura-pura tidak menyadari situasi.

"Aku ingin berbicara dengan Taehyung!"

"Tadi ayah berbicara dengan ayahnya, bukan dengan Taehyung."

Anak itu memberengut, jawaban ayahnya sungguh menyebalkan.

"Ayah kan bisa meminta paman Joongki untuk memberikan teleponnya pada Taehyung!"

"Taehyung sudah tidur, Jim. Kau pikir di Amerika jam berapa sekarang?"

Jimin semakin memberengutkan wajahnya. Baginya itu bukanlah sebuah alasan. Karena ia sudah lebih dari hafal, jam berapa saja jadwal tidur sahabatnya itu.

"Ayah tidak seharusnya melakukan ini padaku!!"

Brakk!

Pintu kayu bercat coklat itu dibanting dengan cukup keras, membuat Seojoon sontak berjengit. Namun pria itu hanya bisa bersabar, karena seperti itulah Jimin ketika ia tengah marah besar.

Ah, sudah terlalu biasa.

Usia Jimin memang 16 tahun, tapi watak dan perilakunya masih saja seperti balita usia 5. Hingga Seojoon kadang bingung sendiri, apa yang salah dengan cara mendidiknya, sampai putranya itu tumbuh dengan begitu kekanakan.

Sesaat setelahnya, Seojoon mengurut keningnya pelan. Mengingat kembali pembicaraannya tadi dengan Song Joongki ditelepon, membuat kepalanya mendadak pening.

Entah cara apalagi yang harus ia lakukan untuk meyakinkan Joongki agar segera membawa Taehyung kembali ke Korea.

Anak itu butuh ibunya.

Sangat.

Tapi sekeras apapun ia memaksa, Joongki benar-benar tetap bersikukuh pada egonya sendiri. Membuatnya tak habis pikir dengan jalan pikiran sahabat lamanya itu.

Seojoon menghela nafas. Tidak ada yang dapat ia lakukan saat ini, selain terus bedoa agar semuanya tetap baik-baik saja. Walau nyatanya, kata 'baik-baik saja' tidaklah sesuai dengan kondisi yang sebenarnya tengah terjadi.

"Lindungi anak itu, Tuhan." gumamnya pelan.

Pandangannya ia lemparkan jauh ke luar jendela apartment miliknya yang berada di lantai 57.

Pemandangan indah kota Seoul dari atas sana, tidak lantas membuat pria berusia 40-an itu merasa terhibur. Sesuatu yang terus bergelayut di dalam pikirannya, nyatanya tak mendukungnya untuk merasa demikian.

_____________________

Sementara itu di dalam kamarnya, Jimin terlihat tengah menggulung tubuhnya sendiri menggunakan sebuah bed cover. Tubuhnya yang kecil tampak tenggelam dimakan kain tebal berwarna maroon tersebut. Padahal jelas kini bukanlah musim dingin.

A Father's LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang