Jealousy

2.2K 598 64
                                    

Aku baru saja melangkahkan kakiku keluar rumah saat Mark berteriak keras kearahku dari halaman rumahnya untuk mengajakku berangkat ke sekolah bersama dia seperti yang selalu kami lakukan dulu.

"Aku tidak bisa, Markie." Tolakku halus. Aku kemudian menjelaskan padanya kalau sejak beberapa bulan yang lalu aku selalu berangkat bersama Jaemin. Sehingga aku tidak bisa lagi berangkat bersama dia karena Jaemin akan datang dalam beberapa menit lagi.

Pada awalnya Mark berpikir bahwa aku sedang bercanda, tapi saat aku mengatakan kalau dia bisa memastikannya sendiri dengan cara bertanya pada Taeyong yang sudah lebih dulu melihat Jaemin menjemputku, Mark tahu kalau aku sedang serius.

Lelaki itu terdiam selama beberapa saat dan aku kembali memanggil namanya untuk membuat perhatiannya kembali tertuju padaku.

Lelaki itu menggelengkan kepalanya keras, seperti sedang berusaha untuk menghilangkan suatu pemikiran dari kepalanya sebelum kembali menoleh kearahku dengan senyuman yang ia paksakan muncul. "Bagaimana dengan sehabis sekolah? Kau akan pulang bersamaku, kan?"

".......Aku tidak bisa. Maafkan aku."

Senyuman di wajah Mark luntur saat itu juga. Pegangan pada selempang tas-nya ikut mengerat seiring kalimat yang keluar dari mulutnya. "Karena apa? Karena Jaemin juga?"

Aku mengangguk sebagai balasan. Walau bagaimanapun kami berdua adalah tetangga, jadi tidak ada gunanya menutupi hal-hal seperti ini. Lagipula sejak awal aku memang tidak punya niat sedikitpun untuk menutupi hubunganku dengan Jaemin.

"Jaemin lagi! Jaemin lagi! Kenapa kau selalu bersama laki-laki itu sekarang?! Kau melupakanku?!"

"Memangnya siapa yang melupakanmu?" Aku bertanya sambil menatap bingung kearahnya. Apa-apaan dengan ledakan emosinya saat ini? "Lagipula bukankah itu wajar? Akhir-akhir ini aku lebih sering menghabiskan waktuku dengannya, jadi secara natural aku akan lebih memilih dia daripada kau, kan?"

"Kau melupakan aku!" Mark tiba-tiba berteriak marah. "Memangnya apa hebatnya Jaemin? Kau selalu bersamaku sejak dulu! Kau tidak boleh meninggalkan aku!"

Aku menoleh kearah sekitarku, dan jika dilihat dari suasana yang tenang-tenang saja, sepertinya baik keluargaku maupun keluarga Mark tengah menyetel televisi dengan suara keras sehingga mereka tidak bisa mendengar teriakan marah tak beralasan Mark.

Aku mengusap wajahku kasar, lelah dengan tingkah kekanakan Mark. "Apa hebatnya Jaemin, kau tanya?" Aku berdecak kesal sebelum melanjutkan kalimatku. "Dia kekasihku, dan kau bukan."

Mata Mark membelalak lebar. "A-apa katamu?" Katanya terbata-bata.

"Kau tidak dengar? Kalau begitu akan aku katakan sekali lagi. Na Jaemin adalah kekasihku. Puas?"

"Bagaimana bisa? Kau kan selalu berada didekatku!"

"Tanyakan pada dirimu sendiri, Mark." Aku menatap datar kearahnya. "Kalau kau saja bisa mencintai orang lain disaat selalu ada di sampingmu, kenapa aku tidak bisa melakukan hal yang sama?"

Mark kehilangan suaranya dan aku menggunakan kesempatan itu untuk semakin menyudutkan dia.

"Berhenti menjadi seseorang yang egois, Mark Lee. Kau yang lebih dulu melepaskan genggaman tanganku demi menggenggam tangan perempuan lain yang bahkan tidak pernah sekalipun menoleh kearahmu."

"Apa kau tidak memikirkan perasaanku saat ini?" Tanya Mark.

Aku menatap kearah lelaki itu nanar.
Bagaimana bisa dia menanyakan hal itu padaku..

"Kalau aku kembalikan pertanyaan itu padamu, apa yang akan kau jawab, Markie?" Aku menggigit bibirku keras untuk mencegah tangisan yang sepertinya akan keluar kapan saja kalau aku lengah sedikit. "Apa kau tidak memikirkan bagaimana perasaanku saat melihat kau meninggalkan aku demi Mina yang bahkan tidak memandangmu sedikitpun?"

[ii] A Dandelion Wish ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang