Vote 🌟 sebelum baca
.
.
.
.
.
Hari yang melelahkan untuk seorang gadis yang kini duduk termenung di depan kaca cafe. Matanya menatap keluar menembus kaca transparan yang tidak terlalu besar untuk ukuran cafe yang juga tidak bisa dibandingkan dengan cafe ditengah kota sana.Sunset pertama disini, pemandangan menakjubkan yang dapat dilihat dari sudut cafenya. Satu ke unggulan untuk bangunan sederhana ini
Rasa lelah ditanggung nya sendirian. Ini hari pertama baginya untuk duduk di cafe kecil miliknya. Ini hari pertama baginya untuk membersikan cafe kecil dipinggir jalan yang jauh dari hiruk pikuk kota.
Gadis itu tersenyum gentir, apa tempat yang sedari pagi tadi ia bersihkan ini akan bisa membawa pundi-pundi rupiah kedalam dompetnya yang sudah terlanjur kosong?
Tempat yang ia sebut sebagai cafe ini jauh dari kata mewah, beberapa hari yang lalu gadis itu membeli tempat ini dari pria paruh baya yang katanya akan pindah kerumah anaknya di luar kota. Dengan harga yang lumayan murah membuat Aleisya tertarik.
Aleisya bukan berasal dari keluarga yang berada, ia juga bukan gadis cantik jelita dengan kemampuan otak luar biasa. Ia hanya perempuan biasa.Wajahnya standar, ia juga tak ounya kemampuan yang bisa dibanggakan.
Ayah dan ibu nya sudah lama bercerai, mungkin itu dua puluh tahun yang lalu, entahlah, Aleisya tak ingat, yang jelas semenjak kepergian ayahnya, Aleisya dirawat oleh ibu dan satu saudara lelakinya.
Tapi takdir sekali lagi mempermainkan hidupnya, gadis itu kembali merasakan pahit nya hidup di usia remaja, satu-satunya keluarga yang ia punya juga meninggalkan nya. Ibu dan saudara laki-laki menghilang bagai ditelan bumi. Dan Aleisya hidup sebatang kara.
Kau harus siap membayangkan bagaimana gadis itu tumbuh seorang diri bertahan di dunia yang kejam ini.
Berbekalkan bantuan tetangga, gadis belia itu membantu menjualkan gorengan sambil terus melanjutkan sekolahnya sampai SMA. Dengan nilai yang pas-pasan tidak akan membuat Aleisya mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliahnya.
Dan dengan tau diri, gadis itu mengumpulkan uang dari kerja serabutan selama ini hingga sampai umurnya duapuluh tiga tahun. Di usia yang seharusnya bersenang-senang, Aleisya malah membanting tulang, otaknya terus berputar mencari cara agar esok lusa ia tak harus lagi bersusah payah.
Lamunannya buyar saat ketukan pintu begitu keras menusuk pendengarannya, dengan tergesa Aleisya membuka pintu kayu yang tadi siang baru saja dicat nya.Pria paruh baya yang tersenyum padanya membuat Aleisya mempersilahkan pria itu masuk ke cafe nya.
"Wah, sudah selesai beres-beres nya yaa nak Aleisya?" Pria paruh baya itu duduk di kursi tempat sebelumnya Aleisya duduk. Sedangkan gadis itu duduk disebelahnya.
"Iya,sudah mulai dibersihkan tadi pagi pak, bapak mau minum apa?" Aleisya hendak berdiri dari duduknya dan Herman menahan tangannya.
"Tak usah repot-repot nak, bapak cuma mau melihat sebentar"
Aleisya tersenyum dan kembali duduk.
"Rencananya nak Aleisya mau apakan tempat ini?" Herman sang pemilik lama bangunan ini bertanya antusias.
"Saya mau jadikan cafe pak, sekalian lantai atasnya saja jadikan tempat istirahat pribadi" Aleisya menjelaskan dengan enggan.
Jujur saja, gadis itu masih bingung dengan rencana nya, makanya ia sedikit enggan untuk menjelaskan.
Pak Herman tertawa kecil. "Memang tempatnya strategis untuk dijadikan cafe, dipinggir jalan juga kan nak"
Aleisya menganggukkan kepalanya setuju.
"Sebenarnya tujuan bapak datang kemari untuk berpamitan pada nak Aleisya, besok subuh-subuh sekali bapak sudah berangkat keluar kota dengan bus" Aleisya menangkap raut sedih diwajah pak Herman.
"Kalau tiba-tiba ada orang yang bertanya tentang bapak ke nak Aleisya, seorang pria dengan sorot mata tajam, katakan padanya kalau bapak sudah pergi jauh sekali ya nak"
Tertegun, Aleisya terdiam dikursi nya. Menatap nanar pada wajah sendu pak Herman, kerutan tampak jelas diwajah tuanya. Guratan lelah terpancar dari sorot matanya.
"Bapak baik-baik saja?" Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutnya.
Pak Herman tersenyum tipis dan mengangguk sekali. "Iya nak, bapak baik-baik saja Alhamdulillah"
"Bapak keluar kota mau apa?" Dengan sangat hati-hati Aleisya bertanya, ia sudah tak bisa membendung rasa penasaran nya lagi.
Dan sekali lagi, pak Herman hanya tersenyum. "Untuk menemui istriku" lalu pak Herman berdiri dari duduknya."sudah lama sekali tak bertemu, rindu pada masakannya" pak Herman tersenyum kecut.
"Sudah mau isya nak, bapak pergi dulu, ingat pesan bapak ya"
"Pak" Aleisya menatap Herman dengan senyum "hati-hati dijalan pak, sampaikan salam saya pada istri bapak"
Pak Herman tersenyum lebar. Raut bahagia nya tak bisa ia sembunyikan saat mendengar kata istri
"Tentu, terimakasih nak Aleisya" sebelum benar-benar keluar dari pintu pak Herman berbalik menatap Aleisya "jangan percaya pada siapapun, bahkan jika ia menjanjikan gula padamu" dan pak Herman pergi.Meninggalkan Aleisya yang menatap heran pada daun pintu yang sudah tertutup rapat. Apa maksudnya?
Aleisya melangkah ke dapur, menyusun semua belanjaan nya siang tadi kedalam kulkas berukuran sedang. Semua belanjaan itu akan ia pergunakan untuk cafe nya besok.
Mulai dari beberapa karung beras, sayur-sayuran beberapa telur ayam dan daging ayam segar, ah! Tentu saja coffe, teh dan beberapa keperluan lainnya.
Suara adzan membuat gadis itu segera mengunci pintu dan jendela lalu naik ke lantai dua. Bangunan sederhana itu terdiri dari dua lantai.
Pak Herman menjual bangunan itu dengan memberikan harga yang tidak terlalu mahal untuk nya. Syukurlah.Uang yang ia tabung bisa membeli sebuah bangunan ini membuat Aleisya mengucap syukur, ia masih bisa hidup sampai detik ini, walau badai juga pernah ia terjang.
Lantai atas ia jadikan sebagai rumah sekaligus tempatnya nanti akan memulai semua perjuangan yang masih akan sangat panjang.
Kisah hidupnya akan dimulai tepat saat Aleisya membuka mata esok harinya.
.
.
.
.Vote 🌟 dan comment
KAMU SEDANG MEMBACA
La La Land
Aktuelle Literatur-"Jika menggenggam tangan mu adalah sebuah kesalahan besar, maka biarkan aku terus berdosa" -"My heart is telling you how much that I need you" Hidup seorang diri dipinggir kota metropolitan bermodalkan sebuah cafe klasik yang jauh dari kata mewah m...