Happy Ramadan for everyone 💫💫Vote
You tell me that you need me, than you go and cut me down
You tell me that you're sorry, didn't think I'd turn around
Aleisya menarik nafas dalam, matanya menatap pria yang sudah sangat ia kenal. Pria bernama Peter yang berhasil memporak porandakan hatinya. Pagi ini Peter datang ke cafe dengan wajah sendunya. Baru kemarin Ale melihat wajah Peter yang merona bahagia, tapi entah Ale harus bahagia atau malah ikut sedih karenanya.
Memang benar Peter berhasil mencuri hatinya, tapi sebagian dari logikanya menolak untuk terluka lagi. Ia takut bahwa kenyataannya Peter terlalu jauh untuk dapat ia genggam.
Sekali lagi, Peter meneguk coffe pahitnya. Meresapi setiap tegukan yang ia ciptakan. Matanya kosong dan terlihat pucat. Dengan bimbang Aleisya menyentuh pundak Peter, membuat pria itu kembali sadar, menatap Ale sebelum kembali meneguk coffenya.
"Aku tahu ini akan terdengar sangat memalukan, tapi Ale hanya kau yang dapat ku percayai"lalu menarik nafas kasar.
"Kau masih ingat wajahnya? dia sangat cantik bukan?" Peter menoleh menatap wajah Aleisya yang menurutnya juga cantik.
"maksudku Stefanie"jelasnya.
Aleisya menangguk pelan, ia mengalihkan pandangannya menatap jalan raya. Mendengar nama itu dengan berat hati.
"Aku mencintainya, mungkin sudah sangat mencintainya"Peter kembali meneguk sisa coffenya "dia gadis yang sempurna menurutku, sangat sempurna bahkan terasa tak pantas jika disandingkan dengan ku"
Sialan! Ale membatin dalam hati. Kenapa Peter harus menceritakan tentang perempuan lain padanya? Seolah pria itu sudah menolaknya secara tidak langsung, menyedihkan sekali cerita cinta ini.
"Lusa Stefanie akan kembali kenegaranya" Nada suara Peter terdengar suram "aku tak ingin membiarkan itu terjadi" Peter memainkan gelas coffe kosongnya dimeja. Ikut menatap langit yang masih berkabut pagi.
"Tapi hal yang lebih sulit dari yang pernah ku bayangkan adalah meninggalkan negara ini, aku tak sanggup untuk ikut dengan kekasih hatiku"
Sakit, Ale menekan dadanya yang terasa ngilu. Kenapa ia terdengar seperti meminta setitik harapan semu pada Peter yang tak rela meninggalkan negara ini.
"Aku kan segera menikahi Stefanie"
Deg!
Secepat kilat Aleisya mengalihkan matanya menatap Peter. Demi Tuhan pagi harinya sudah sangat sempurna dihancurkan oleh seorang Peter dengan satu kalimat. Ale ingin menangis jika saja Peter tidak menatapnya dengan sorot mata sendu.
"tapi aku ragu, akankah nanti Stefanie akan bahagia dengan pria seperti ku?"
Ale menundukkan kepalanya, menatap sendal hitam yang melekat dikakinya.
"Kau pria yang hebat, pria baik dengan segala kelebihan yang menjadi ciri khas mu." Ale memberikan senyum yang sebisa mungkin ia tunjukkan. "Kenapa harus ragu jika kau mencintainya,kau pasti bisa membahagiakannya"
"kalian pasangan yang serasi" lanjutnya.Pedih, Ale menahan diri untuk tidak meraung saat ini.
"benarkah? Kau juga memikirkan hal itu Ale? Kekasihku juga mengatakan hal yang sama" Ale terseyum hambar, kata kekasih yang digunakan Peter seolah menamparnya keras.
"Peter, tidakkah kau berpikir bahwa aku tidak baik untuk mu?" Ale meremas telapak tangannya sendiri, ia terbawa suasana hingga mengatakan hal yang ia rasakan
"apa?" Peter menatap Ale bingung.
"tidak, maksudku, kau bahkan terlalu sempurna untuk menjadi temanku" lalu tertawa hambar.
"apa yang kau katakan Ale, kau teman yang baik, teman terbaik bagiku" Ucap Peter dengan senyum hangat nya.
"ya, kita adalah teman" gumam Ale.
Beginilah Peter, setelah raut sedih nya, pria itu mulai tersenyum kembali seolah tidak terjadi apapun, tapi taukah dia, bahwa kesedihanya kini berpindah pada gadis kecil disampingnya.
Yang sedari tadi menahan sesak dihulu hatinya, yang menahan tangisannya.
Ale menatap jam tangannya, sedikit mendesah pasrah pada keadaan yang dari awal memang tak pernah berpihak padanya.
"baiklah, aku harus segera berkemas, akan ku isi kembali coffe mu Peter" ucapnya sambil berdiri dari kursi.
Peter menahan tangan Ale yang akan mengambil gelas kosongnya. Untuk persekian detik wajah Ale merona, ya hanya karena sentuhan ringan Peter.
"tidak usah Ale, aku akan segera menemui Stefanie" ucapnya lalu tersenyum.
Ale terdiam.
"akan segera ku kirimkan undangan pernikahan kami"
Hancur.
Ale menatap pintu yang sudah kembali tertutup. Meninggalkannya seorang diri.
Gadis kecil itu berjongkok menyembunyikan wajahnya, melepaskan tangis yang sedari ditahan, meraung melepaskan sesak didadanya. Semenyedihkan ini, dan Tuhan tega melakukannya pada kehidupannya.
Tidakkah ia berhak sedikit merasakan bahagia didunia ini? Kenapa keadilan tak pernah ada dalam hidupnya.
Bahkan Tuhan tak akan pernah menyatukan diriku dengan pria yang ku suka, karena aku memang tak pantas untuk itu, hidupku penuh dengan kesialan yang malang, merenggut semua harapanku.
-Even though I know you're looking for someone else, I dont think that I can let you go-
Gracias
DONT FORGET TO VOTE, COMMENTS, and SHARE^^
KAMU SEDANG MEMBACA
La La Land
General Fiction-"Jika menggenggam tangan mu adalah sebuah kesalahan besar, maka biarkan aku terus berdosa" -"My heart is telling you how much that I need you" Hidup seorang diri dipinggir kota metropolitan bermodalkan sebuah cafe klasik yang jauh dari kata mewah m...