(1) Awalnya Gini

3.8K 129 3
                                    

Setelah melewati pintu yang terbuka itu, Maya tahu betul kalau kehidupannya akan berubah 100%. Dan sadar betul perihal kepindahannya ke rumah ini tanpa mamanya adalah sebuah kesalahan fatal.

Namun, dengan langkah yang seperti sedang menyeret sekarung beras, Maya tiba juga diruang tamu yang untuk sesaat membuatnya tidak menyesal karena telah memutuskan untuk masuk.

Maya bersiul takjub. Begitu megah, bak istana. Ruangan yang sedang Maya diami ini sangat luas yang ia yakini adalah ruang utama, mungkin bisa menampung lebih dari 100 orang. Dinding dengan dominasi warna putih gading, lantai marmer putih mengkilap, di sudut ruangan banyak berjejer keramik dan barang lainnya yang terlihat mahal sebagai penghias, di sisi lain terdapat kursi tamu yang sekali lagi terlihat mewah

Tak sampai di situ, saat Maya mendongak, ia mendapati langit-langit rumah yang tinggi dengan warna putih gading dan lampu seperti kumpulan kristal yang bercahaya. Dalam hati Maya berusaha meyakini diri untuk percaya bahwa semua yang ia alami ini hanyalah mimpi, namun sebanyak apapun ia mencubit pipi, faktanya semuanya memang real.

Namun tetap saja Maya tidak menyangka akan tinggal di dalam rumah yang se-big dan se-amazing ini.

Dan ketika Maya melihat tangga berkelok yang seolah membisikkan kata: 'di atas masih lebih banyak kejutan, loh...' rasanya kaki Maya sudah gatal ingin menjelajah.

"Silahkan Neng, kalau emang Eneng Maya mau keliling dulu, kalau perlu Bibi yang temani"

Sedikit terperanjat, Maya segera berbalik badan. Mendapati seorang wanita empatpuluhan dan lima orang wanita muda yang seragaman pink berbaris di sampingnya. Lengkap dengan senyuman ramah.

"Hah! Neng...? Aku?" Setahu Maya, ia cukup rajin mengorek kuping, jadi tidak mungkin salah dengar.

"Ehm, siapa lagi atuh. Hehe... Bibi panggil saja Bi Yani. Yang di samping Bibi namanya Sari, yang ini Bunga, ini Mawar, Mayang, Indah. Bibi, Sari sama Bunga adalah juru masak di rumah ini. Sedangkan Mawar, Mayang dan Indah tugasnya bikin rumah ini jadi kinclong, hehe..." jelas bik Yani yang membuat pikiran Maya ber-loading untuk sesaat.

"Oh... oke, boleh aku panggil mereka 'mba' bik?"

"Oh, boleh. Biasanya juga dipanggil gitu" jelas Bi Yani.

"Mm, aku Maya, aku-"

"Bibi udah tahu, Tuan Ridwan sendiri yang menjelaskan. Sekarang sudah jam delapan malam, Neng Maya mau keliling rumah dulu atau langsung ke kamar?" Tanya Bi Yani,

"Mm, langsung ke kamar aja Bi, udah capek juga" Maya menguap lebar. Perjalanan dari ujung pulau jawa ke kota metropolitan/ Jakarta, ternyata cukup berhasil menguras tenaga. Mendengar kata 'kamar' Maya jadi tidak sabar ingin segera merebah, dan seperti ada rasa rindu yang tiba-tiba menyelinap. Ah, Maya rindu kasur empuk dan bantal guling dekil miliknya.

***

Kriringg....

"Aakhh... brisik" untuk masalah bangun pagi, Maya bisalah diacungi dengan dua jempol, anak remaja yang satu itu memang cukup terdidik, tapi masalahnya sekarang Maya merasa matanya lengket. Mungkin karena semalam Maya terlalu letih jadi butuh tidur lebih. Ah, Dia tidak pernah merasa tidur senyaman ini, sampai-sampai Maya tidak sadar kalau telah membuat jam weker mati mengenaskan di lantai.

Hirup.

Empuk.

Nyaman.

Ah, omong-omong, bantal dan selimut ini lembut dan harum sekali. Apakah Mamanya Maya membeli seprai baru? Atau seprainya baru dicuci, tapi Maya bahkan lupa kapan terakhir kali mencuci selimut.

Two Bad BrothersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang