(15) Bumi Yang Ingin Mencium Langit

814 79 18
                                    


Tersisalah dua insan manusia yang terjebak di satu ruang dan satu waktu yang sama sementara dalam raganya masing-masing bersarang aura berlawanan dan rumit.

Keheningan mencekik hingga makian sadis berhasil tertahan di kerongongan Saka. Bara Saka masih menyala sebab belum memberi perhitungan pada gadis tengil di depannya.

Sementara Maya, berdiri kaku dengan tundukan kepalanya. Mati-matian menahan air mata supaya tidak dianggap lemah.

"Lo ... adik tiri yang ... engga tahu diri," Saka mendengus sinis, kalimatnya berhasil membuat Maya mendongak menyertai raut yang meminta pertanggung jawaban atas kalimat Saka. Pandangan mereka beradu.

"Maksud lo apaan huh? ngenalin diri ke temen gue, mau dapet pengakuan. Cuih ... bullshit" cemooh Saka, rautnya menandakan kalau api yang tengah menyala di dadanya tidak akan lekas padam.

Maya meremas pakaiannya, sakit sekali mendengar kata-kata itu dari Saka. Maya ingin membantah, tapi ucapan Saka tidak sepenuhnya salah, dia memang ingin mendapat pengakuan dari Saka dan dunianya. Namun Maya sama sekali tidak mengharapkan reaksi seperti ini dari Saka.

Astaga, Maya bahkan tidak sanggup menyelam di mata Saka, begitu tajam dan panas, seolah mampu melumpuhkan persendian Maya.

"Gue kira lo selugu dan sepolos penampilan lo, tapi ternyata ... di dalamnya engga ada bedanya dari rubah licik dan sekarang udah berani nunjukin taring"

Satu tambahan goresan lagi di dada Maya yang masih terdapat luka yang belum sembuh akibat kata-kata Aska beberapa waktu lalu.

"Saka, gue engga-"

"Sekalian aja pansos di sekolah, pake toa. Bilang ke semua orang kalau lu udah berhasil jadi anak Pak Ridwan; salah satu investor di yayasan. Adik tiri ketua Osis sama si ketua tim di sekolah. Dan setelah itu, gue yang bakal jamin hidup lu bakal sengsara."

Oke, mungkin ucapan Saka sudah agak keterlaluan. Seakan lidahnya begitu tajam teransah. Ia bahkan tidak membiarkan Maya memberi penjelasan.

Saka hanya menuruti egonya yang menggelap, kendati demikian di detik berikutnya jadi sadar akan semua perkataannya ketika Maya terisak dan menyembunyikan wajahnya.

Saka tertegun. Ia pernah emosi pada seseorang lebih parah dari apa yang ia lakukan sekarang, tapi ya ... bukan berhadapan sama perempuan sih. Ah sial.

Maya semakin terisak, hingga suaranya menggema di ruangan itu. Pendiriannya runtuh sebab tak tahan akan semua tekanan ini lebih lama lagi.

Deg ...

Saka mengerjap beberapa kali ketika Maya mengangkat wajah yang telah berderai air mata, seperti tidak bisa habis walau sudah di sapu dengan punggung tangannya.

"Pliss ... dengerin dulu Saka," ujar Maya, tak lupa isakan tangis di sela-sela kalimatnya.

Saka memiringkan kepala selagi bersedekap, dia menunggu kalimat Maya. Tapi tetap saja, hatinya masih batu. Tidak goyah sedikitpun melihat wajah sendu Maya yang bersimbah air mata.

"Gue ... ga seperti yang lo bilang," suara itu terdengar bergetar dan memilukan karena isakan, "sedikitpun engga ada niat buat pansos. Gue cuma mau lebih kenal sama keluarga baru gue. Bukan gila pengakuan dari semua orang. Gue pengen lebih deket sama Lo dan Aska. Gue pengen nyiptain keluarga baru yang harmonis buat Mama. Apa itu salah?"

Ingatkan Maya untuk bernapas karena sekarang dadanya terasa sempit dan sesak.

"Cuma itu Ka, gue engga ngerti kenapa lo bisa semarah ini hanya karena temen-temen lo tau kalau gue adik tiri lo. Gue pikir hal ini gak perlu ditutupin. Gue beneran engga ngerti hiks ... engga ngerti kenapa kalian sebenci itu sama gue." Tutur Maya panjang lebar. Ia mengelap air matanya dengan lengan baju. Tidak perduli Saka akan menganggapnya cengeng karena menangis seperti itu.

Two Bad BrothersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang