Prolog

39.5K 1K 63
                                    

SENYUMAN Tak hentinya tersungging ketika melihat anak-anak didiknya yang sangat antusias mewarnai gambaran mereka dengan menggunakan kapur bewarna yang telah ia buat ulang dengan menggunakan pewarna makanan.

Tatapannya beralih menatap balai desa yang ia gunakan sebagai lokasi belajar mengajarnya. Awalnya balai desa ini hanya diisi beberapa anak yang berasal dari desanya, tapi semakin lama banyak orangtua yang mengantar anaknya ke balai desa untuk belajar, bukan hanya dari desanya, tapi juga dari desa lain.

Ia kembali tersenyum dengan memamerkan deretan giginya yang rapih, merasa senang karena sekarang orangtua di desanya dan juga di desa lain tidak lagi menganggap pendidikan itu adalah hal yang tidak berguna dan ia bersyukur karena orangtua murid-muridnya mempercayainya untuk mengajari anak-anaknya.

Dirinya sendiri pun tidak pernah menyangka jika ia bisa mengajari puluhan anak sendirian. Bahkan dulu saat ia masih kecil, ia hanya diajari membaca abjad oleh Pak Lek dan Bu leknya. Selebihnya ia belajar sendiri menggunakan buku yang Pak Lek dan Bu leknya katakan adalah peninggalan dari Romo dan biyungnya yang juga seorang guru.

Sejak ia kecil, ia belum pernah bertemu dengan orangtuanya. Bahkan ia baru tahu kalau orangtuanya telah meninggal, tepat saat ia menginjak usia 18 tahun, tahun lalu. Tanpa sadar air mata membasahi pipinya saat mengingat kalau orangtuanya meninggal disebabkan kecelakaan lalu lintas dan hanya dirinyalah yang selamat dari kejadian itu karena ibunya melindungi dirinya.

"Kenapa kamu menangis?" Sebuah suara mengejutkannya dan dengan gerakan cepat ia menghapus air matanya.

"Berhenti, biar aku saja yang melakukannya. Kamu bisa merusak wajah cantikmu." Suara itu kembali terdengar membuat Adiwidya menatap pemuda itu, ia tertegun ketika tatapannya tidak sengaja bertabrakan dengan tatapan pemuda itu.

AdiwidyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang