Dua

13.6K 195 12
                                    

SETELAH sampai di samping mobil, Bintang membungkukkan tubuhnya sedikit untuk mengintip ke dalam mobil dari luar kaca jendela, ia mengerutkan keningnya karena tidak mendapati masnya Fajar di dalam sana.

Ia pun menegakkan kembali tubuhnya dan melihat ke arah hutan. Ia sangat yakin kalau tadi saat ia berjalan menuju mobilnya ia tidak bertemu dengan Fajar sama sekali. "Apa dia melalui jalan lain?"

Tapi sepengatahuannya tidak ada jalan lain selain jalan di depannya ini untuk masuk ke dalam hutan. Decakan kesal pun terdengar keluar dari mulutnya. Bintang menggerutu sambil menengok ke arah kanan dan kiri, mencari keberadaan Fajar.

Matanya menatap balai desa yang Jarwo dan Bima bicarakan tadi di dalam mobil. "Ah, mungkin Mas Fajar ada di sana."

Bintang pun melangkahkan kakinya menuju ke arah balai desa dan menaiki satu persatu undakan tangga untuk sampai di atas sana. Sesampainya di atas sana, ia disuguhkan pemandangan anak-anak yang berceloteh riang sambil menggambar.

Matanya menelusuri setiap sudut balai desa dan terhenti pada satu objek yang menampakkan masnya Fajar sedang berbincang dengan seorang gadis yang berdiri membelakanginya. Ia mengerutkan keningnya. "Apakah gadis itu yang di maksud oleh Jarwo? Siapa namanya? Adiwidya?"

"Mas Fajar," panggil Bintang sambil berjalan menghampiri keduanya.

Fajar yang merasa namanya di panggil pun menoleh dan mendapati Bintang yang berjalan ke arahnya. Sedang Adiwidya, ia juga ikut menoleh untuk melihat siapa orang itu.

"Aku menarik kata-kataku tadi, Mas," kata Bintang setelah berdiri di hadapan keduanya dan menatap wajah Adiwidya tanpa berkedip sekali pun.

"Mana Mas Bima dan Chakra?" tanya Fajar.

"Mereka masih di hutan, ditemani oleh Jarwo," jawab Bintang. "Namamu pasti Adiwidya, kan? Perkenalkan, namaku Bintang." Bintang mengulurkan tangannya ke hadapan Adiwidya.

Adiwidya membalas jabatan tangan Bintang sambil tersenyum manis. "Salam kenal Mas Bintang."

"Tahu nama saya dari mana? Saya tidak pernah bertemu dengan Mas Bintang atau pun Mas Fajar di mana pun, baru hari ini saya bertemu dengan kalian berdua," tanya Adiwidya setelah melepas jabatan tangannya.

"Kami mengetahuinya dari Jarwo, kamu kenal?" jawab Fajar dan kembali bertanya.

"Pak Lek Jarwo, abdi dalem Juragan Hasan?" tanya Adiwidya memastikan.

"Iya, dia," jawab Fajar.

Adiwidya mengangguk paham, lalu bertanya, "Kalian dari kota datang ke sini untuk membeli buah-buahan dan sayur-sayuran? Atau kalian datang ke sini untuk tugas kuliah? Seperti observasi, mungkin?"

"Tidak. Kami ke sini karena kami ingin pulang, kami berasal dari desa ini," jawab Fajar.

"Dari desa ini?" tanya Adiwidya. "Tapi aku tidak pernah melihat kalian sebelumnya ada di desa ini," kata Adiwidya.

"Itu hal yang wajar. Kamu penduduk pendatang baru kan di desa ini? Kalau tidak salah, Jarwo tadi mengatakan setelah satu tahu kepergian kami ke kota, kamu datang ke desa ini. Itu berarti sekitar 4 tahun yang lalu. Makanya kamu tidak pernah melihat kami sebelumnya," kata Fajar.

"Ah, maafkan saya. Saya baru tahu. Senang sekali berkenalan dengan kalian dari kota. Apakah kalian lulusan sarjana?" tanya Adiwidya.

"Iya, kami berdua sudah lulus sarjana semua, makanya kami kembali ke desa untuk membantu Romo kami mengelola bisnisnya," jawab Fajar.

"Kalian anaknya Juragan Hasan?" tanya Adiwidya dengan kedua bola matanya yang membulat sempurna.

"Iya, kami anak mereka," jawab Bintang yang sejak tadi diam. Ia sibuk memperhatikan wajah cantik Adiwidya yang terlihat lebih alami, dibandingkan gadis-gadis kota yang terlihat seperti racikan.

Adiwidya menundukkan kepalanya. "Aduh, saya minta maaf karena tidak sopan kepada juragan muda. Saya baru tahu kalau juragan muda anaknya Juragan Hasan."

Fajar tersenyum. "Tidak apa-apa, Adiwidya. Anggap kami sebagai temanmu, bukan anak dari Romo."

"Derajat saya dengan derajat juragan muda sangat berbeda jauh, tidak sepantasnya saya menganggap juragan muda ini sebagai teman saya," kata Adiwidya.

Fajar menaikkan dagu Adiwidya menggunakan telunjuknya. "Aku yang memintanya, Adiwidya. Jadi jangan merasa sungkan kepadaku, mengingat kata Jarwo kau pernah protes kepada Romo."

Adiwidya meringis kalau mengingat kejadian itu, apalagi diketahui oleh anak-anak dari Juragan Hasan. Sungguh, waktu itu ia tidak berniat kurang ajar sekali pun. Ia hanya ingin Juragan Hasan untuk mengusir para orang-orang kota yang telah menyusahkan penduduk desa, mungkin cara berbicaranya yang salah waktu itu.

"Maaf juragan muda," kata Adiwidya.

"Panggil namaku, Adiwidya. Fajar, itu namaku. Bukan juragan muda," kata Fajar.

Bintang menarik jari tangan Fajar dari dagu Adiwidya, lalu berkata, "Jangan menyentuhnya lama-lama."

Fajar mendengus kesal. "Kenapa? Adiwidya tidak keberatan sama sekali."

Bintang memutar bola matanya. "Aku yang keberatan."

"Ibu guru, lihat gambaranku," kata seorang gadis kecil yang entah sejak kapan berdiri di sebelah Adiwidya dengan tangan yang menarik-narik kain yang digunakan oleh Adiwidya.

"Mana, coba sini Ibu lihat," kata Adiwidya sambil membungkukkan tubuhnya agar sejajar dengan tinggi anak kecil itu. "Wah, gambarannya sangat bagus," kata Adiwidya memuji gambaran anak kecil itu.

Fajar menahan napasnya ketika tidak sengaja melihat belahan dada Adiwidya yang terlihat menggiurkan di matanya. Ia mengalihkan pandangannya dari sana dan berusaha untuk tidak melihatnya.

"Mas, payudara Adiwidya besar. Aku jadi ingin menyentuhnya," bisik Bintang membuat Fajar melotot dan segera menarik kepala adiknya itu.

"Jaga pandanganmu dan bicaramu, Bintang. Ini di desa, bukan di kota. Kau tidak bisa seenaknya saja berbicara vulgar seperti itu," kata Fajar.

"Aduh, maaf Mas. Aku tidak sengaja. Salahkan mataku yang bergerak dengan sendirinya," balas Bintang.

"Kau ini alasan saja. Lebih baik kita kembali ke mobil, sebelum mulut dan matamu itu kembali berbicara dan melihat yang tidak-tidak."

"Mas Fajar kalau mau balik ke mobil, balik aja. Aku masih mau di sini bersama dengan Adiwidya."

"Adiwidya, kami pamit dulu. Takutnya nanti Mas Bima dan adikku Chakra mencari kami berdua," kata Fajar kepada Adiwidya.

"Kamu lanjut menggambar dulu ya di sana, Ibu Guru ada tamu," kata Adiwidya meminta anak kecil itu untuk kembali ke tempatnya. "Mari juragan saya antar sampai di depan."

"Cukup namaku saja, Adiwidya," kata Fajar mengingatkan.

"Tapi---."

"Aku yang memintanya, ingat?"

Adiwidya pun mengangguk. "Baik Mas Fajar."

"Kamu juga cukup memanggil namaku Adiwidya," sahut Bintang.

"Iya, Mas Bintang."

Mereka pun berjalan menuju tangga balai desa, namun sebelum mereka sampai di sana. Terlihat Jarwo, Bima dan Chakra menaiki tangga.

Tatapan Bima dan Adiwidya saling bertabrakan. Mengirimkan gelenyar aneh bagi keduanya, yang tentu saja hanya bisa diartikan oleh keduanya saja.

AdiwidyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang