Empat

10.4K 138 7
                                    

KEEMPAT Bersaudara itu saat ini telah tiba di kediaman juragan Hasan. Di teras sudah berdiri Romo mereka beserta dengan ketiga istrinya, Biung dari keempat bersaudara itu.

Bima jalan duluan di depan ketiga saudaranya menghampiri romonya, lalu menyalami tangannya. Setelah itu ia beralih ke Biung kandung dan Biung sambungnya.

"Aku sangat rindu pada Biung." Bima memeluk erat tubuh Larasati yang dibalas tak kalah erat oleh wanita itu.

"Biung juga merindukan kamu, Nak." Larasati menitikkan air matanya sambil tersenyum.

Wajah Bintang tertekuk. "Hanya Mas Bima yang Ibu rindukan? Aku, tidak?"

"Itu tidak benar. Biung juga merindukan kamu dan kalian semua." Larasati melepas pelukannya pada tubuh Bima dan beralih memeluk tubuh Bintang.

"Jika Biung rindu dengan kami, seharusnya Biung tidak menangis." Fajar menghapus air mata Larasati dan memeluknya dari belakang.

Chakra yang tidak kebagian untuk memeluk Biung kandungnya hanya bisa tersenyum bahagia. Ia bahagia karena ketiga saudaranya sangat menyayangi ibunya.

"Hei, sudah cukup pelukannya," kata Fatma-Biyung Bima-tidak suka.

"Lihat, entah apa yang telah dilakukan Larasati pada anak-anak kita. Padahal kitalah Biung kandungnya, tapi mereka tidak menganggap kita sama sekali," timpal Tyas-Biyung Fajar dan Bintang.

Larasati melepas pelukan kepada dua anak sambungnya sambil menghapus air matanya. "Maaf, Mbak."

Chakra yang mendengarnya pun tidak bisa berbuat apa-apa, selain berjalan menghampiri biungnya dan merangkulnya.

"Biung ini dari dulu tidak berubah, selalu saja menyalahkan Ibu Larasati. Itulah kenapa aku tidak suka padamu," kata Fajar dengan nada tidak suka.

Tyas membulatkan kedua bola matanya. "Apa kamu bilang? Kamu tidak suka dengan biung?"

"Ini karena didikannya Larasati, makanya anak-anak jadi kurang ajar seperti ini," kata Fatma.

"Ibu, berhenti menyalahkan Biung Larasati. Di sini kalian berdualah yang tidak pernah mendidik kami, selain Biung Larasati. Bersyukurlah karena kami masih mau menghargai kalian," kata Bima santai.

Fatma hendak berjalan ke arah Bima untuk menampar wajah anak kandungnya itu, tapi perkataan Hasan-suaminya-menghentikannya.

"Apa kalian tidak malu berdebat di depan rumah seperti ini? Atau memang kalian ingin menjadi tontonan?" Hasan memandang anak-anaknya yang masih berdiri di sisi Larasati yang menunduk menatap lantai rumah. "Ayo masuk, kalian pasti sangat lelah dan lapar selama perjalanan ke sini. Biung kalian sudah memasakkan kalian makanan kesukaan kalian."

"Baik." Bima menyahut mewakili adik-adiknya. "Biung masuklah duluan." Bima mempersilahkan Larasati masuk ke dalam rumah, setelah Hasan meninggalkan teras.

"Meski mereka sekolah jauh, mereka masih saja tidak melupakan Larasati," kata Fatma setelah Bima dan adik-adiknya sudah masuk ke dalam rumah.

"Aku juga heran, Mbak. Apalagi anak-anak kita sangat menurut kepada Larasati. Apa jangan-jangan Larasati menggunakan ilmu hitam untuk memperdaya anak-anak kita?" balas Tyas.

"Aku akan meminta seseorang untuk memata-matai Larasati. Jika hal itu terbukti adanya, Mas Hasan akan menceraikan dia dan mengusirnya dari rumah ini."

Adiwidya baru saja pulang dari balai desa, dia duduk di bale-bale depan teras rumah untuk mendinginkan badannya yang terkena paparan sinar matahari siang.

"Kamu sudah pulang, Adiwidya?" Seseorang dari dalam rumah bertanya.

"Sudah Bu Lek, baru saja sampai," jawab Adiwidya.

"Bu Lek siapakan makanan dulu untuk kamu," kata Astuti.

"Tidak apa-apa, Bu Lek. Nanti biar Adiwidya yang ambil sendiri." Tapi tidak disahuti oleh Astuti.

Adiwidya menghela napas sambil tersenyum. Bu leknya memang sangat keras kepala.

"Ini makan dulu." Astuti muncul dengan membawa sebuah piring dengan segelas air minum.

"Terima kasih, Bu Lek."

"Sama-sama. Bagaimana hari ini? Lancar mengajarnya?"

"Alhamdulillah lancar, Bu Lek." Adiwidya menjawab sambil menyuapkan nasi ke dalam mulutnya.

"Syukurlah. Ya sudah, kamu makan yang banyak. Bu lek tinggal ke dalam dulu, mau istirahat." Astuti pun masuk ke dalam rumah.

Adiwidya pun memakan nasinya dengan lauk pauk seadanya, yaitu ikan kering dengan sayur ubi yang telah ditumbuk halus kemudian dimasak. Sederhana, tapi terasa enak dan tentunya membuat perut kenyang.

"Adiwidya!" Adiwidya mengangkat pandangannya dan menatap seorang wanita yang baru saja memanggil namanya.

"Kenapa, Mbak?" Wanita yang dipanggil Mbak itu pun mempercepat langkah kakinya menuju ke arah Adiwidya.

"Kamu sudah tahu belum kalau hari ini anak-anak Juragan Hasan aku pulang ke desa?" Nining berkata dengan sangat antusias.

"Sudah." Nining mengerutkan keningnya.

"Sudah? Kamu tahu tentang anak Juragan Hasan? Aku kan tidak pernah bicara tentang anak-anak Juragan Hasan sejak kamu ada di desa ini." Adiwidya tersenyum.

"Aku barusan sudah bertemu dengan mereka di balai desa tadi saat sedang mengajar anak-anak." Nining membulatkan kedua bola matanya.

"Keempatnya sekaligus? Bagaimana dengan wajah mereka? Mereka ganteng kan? Pasti mereka sudah menjadi pria-pria dewasa yang sangat matang dan menjadi incaran para gadis." Nining berkata dengan wajah yang berbinar membuat Adiwidya berdecak.

"Ingat, Mbak Nining sudah punya suami." Perkataan Adiwidya langsung membuat Nining tersadar dan memanyunkan bibirnya.

"Kamu ini gak bisa lihat aku senang sedikit. Padahal aku sedang lupa kalau sudah bersuami." Adiwidya terkekeh.

"Mbak sih, kalau bicara cowok ganteng aja berbinar-binar wajahnya, sampai lupa kalau sudah bersuami."

"Eh, tapi gimana sama mereka? Ganteng gak?" tanya Nining masih saja penasaran.

"Ganteng, bapaknya aja ganteng," jawab Adiwidya asal.

"Serius dong," kata Nining.

"Serius, Mbak. Juragan Hasan kan ganteng, masa iya anaknya gak," balas Adiwidya.

Nining mendengus kesal. "Tapi bibitnya lebih unggul daripada yang tanam."

Adiwidya terkekeh. "Apaan sih Mbak ini. Iya, mereka ganteng-ganteng. Mereka juga seorang lulusan sarjana. Udah ganteng, pinter lagi."

Nining mengangguk setuju. "Benar. Apalagi yang namanya Bima. Kamu sudah lihat kan aura pria itu, terlihat tegas dan berwibawa."

Wajah Adiwidya bersemu merah. Ia kembali mengingat pertemuan pertama mereka tadi pagi di tangga balai desa.

"Wajahmu kenapa? Kamu sakit?" tanya Nining heran.

"Gak apa-apa, Mbak."

"Ya sudah, aku pulang dulu. Lain kali kita sambung ceritanya, karena bentar lagi Mas Karyo dan anak-anak akan pulang."

Adiwidya mengangguk. "Iya, Mbak."

AdiwidyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang