MATA Elangnya menatap ke arah luar melalui kaca mobilnya, melihat suasana desanya yang masih sama seperti saat ia meninggalkan desa lima belas tahun yang lalu. Tangannya terulur untuk membuka kaca mobil dan seketika itu juga udara sejuk menyapanya.
"Udaranya semakin sejuk dari terakhir kali aku merasakannya ketika meninggalkan desa," kata Bima.
"Benar Juragan Bima, ini karena lahan kosong bekas penebangan liar di desa mulai ditanami bibit pohon," balas Jarwo, abdi dalem keluarganya.
"Lahan yang berada di depan balai desa?" tanya Bima. "Aku kira lahan itu sudah rusak akibat penebangan liar yang dilakukan," tambah Bima.
"Benar juragan. Alhamdulillah tanahnya masih subur, juragan. Jadi, masih bisa ditanami bibit pohon" jawab Jarwo.
"Syukurlah," kata Bima. "Berarti orang-orang kota yang melakukan penebangan liar itu sudah diurus oleh Romo?"
"Benar, juragan."
"Sejak dulu aku sudah menentang hal itu, karena orang-orang di desa tidak mendapatkan apa pun selain sampah-sampah yang ditinggalkan oleh orang-orang kota."
"Awalnya Juragan Hasan tidak terlalu mempedulikan hal tersebut, selama orang kota tidak mengganggu. Tapi karena Adiwidya, Juragan Hasan berubah pikiran dan langsung mengambil tindakan tegas."
Bima mengerutkan keningnya. "Adiwidya? Siapa dia? Istri Romo yang baru?"
Jarwo menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Bukan juragan. Adiwidya adalah penduduk pendatang baru di desa ini, dia langsung datang menghampiri Juragan Hasan dan mengeluarkan protesnya di hadapan beliau."
Bima terkekeh. "Dia gadis pemberani."
"Yang Anda katakan memang benar. Bukan hanya mengeluarkan protesnya saja, tapi Adiwidya juga berperan besar dalam kemajuan bisnis Juragan Hasan sejak hari itu," kata Jarwo. "Berkat Adiwidya, hampir semua warga desa bekerja di lahan Juragan Hasan, karena permintaan dari kota semakin bertambah dari hari ke hari," lanjutnya.
Bima semakin dibuat penasaran dengan sosok Adiwidya. "Aku ingin bertemu dengan Adiwidya, di mana aku bisa menemuinya?"
"Saat ini Adiwidya sedang berada di balai desa, juragan. Dia menjadi guru untuk anak-anak di desa ini dan juga anak-anak di desa lain," jawab Jarwo.
Bima mengerutkan keningnya. "Adiwidya gadis yang memiliki pendidikan?"
"Saya kurang tahu mengenai hal itu, juragan. Tapi mungkin Adiwidya orang yang memiliki pendidikan seperti Anda dan juragan muda lainnya."
"Baiklah. Tapi sebelum aku menemuinya, aku ingin ke lahan dulu untuk melihat-lihat," kata Bima.
"Baik, juragan," balas Jarwo.
"Kenapa tidak langsung pulang saja, Mas Bima? Aku sudah lelah dan ingin beristirahat," kata Bintang, adik ketiganya.
"Kalau kamu mau pulang lebih dulu, silahkan. Aku akan turun duluan dan Jarwo akan mengantarmu pulang ke rumah Romo," balas Bima.
"Bagaimana bisa kami pulang tanpa Mas Bima, Romo dan Biyung sudah menunggu kita semua di rumah," kata Bintang.
"Bisa. Kalian tinggal katakan kalau aku mampir di lahan untuk melihat-lihat, mudah kan?"
Bintang menghela napas panjang, kemudian menyenderkan punggungnya ke sandaran kursi mobil. "Memangnya apa bagusnya melihat lahan? Bahkan di desa ini. Tidak ada hal menarik sekali pun di sini."
"Kamu tidak akan tahu sebelum melihatnya," kata Fajar.
"Aku sudah melihatnya dan memang tidak ada apa-apa di sini," balas Bintang.
Fajar mengedikkan bahunya. "Kau akan segera menarik perkataanmu."
"Tidak akan," kata Bintang.
Cakra hanya bisa melihat dan mendengar ketiga saudaranya yang berbicara karena ia tidak tahu harus berkata apa.
Setelah itu tidak ada percakapan lagi di antara mereka hingga akhirnya mobil pun sampai di depan balai desa yang berseberangan dengan hutan.
"Biar saya yang membukakan pintunya juragan," kata Jarwo saat melihat Bima hendak membuka pintu mobil.
"Aku bisa sendiri," kata Bima tidak menghiraukan perkataan Jarwo dan langsung keluar dari dalam mobil, disusul oleh Cakra. "Kalian berdua tidak ikut?" tanya Bima kepada Fajar dan Bintang yang masih berada di dalam mobil.
"Kalian duluan saja, aku akan menyusul," kata Fajar.
Mendengar perkataan Fajar, Bintang dengan malas keluar dari dalam mobil.
"Itu pohon mangga, kan?" tanya Bima saat memasuki kawasan lahan.
"Benar, juragan. Bukan hanya pohon mangga, tapi pohon buah-buahan lainnya juga ditanam di hutan ini tapi lahannya berbeda-beda setiap pohon," jawab Jarwo sambil menjelaskan.
"Apa ini saran dari Adiwidya juga?" tanya Bima.
"Benar juragan, seperti yang saya katakan di mobil tadi," jawab Jarwo.
Keduanya pun larut dalam obrolan mengenai perkembangan desa, melupakan kedua adiknya yang sedang berjalan di belakangnya.
Bintang menyikut lengan Cakra. "Apa kamu tidak bosan?"
"Tidak, kenapa?"
"Karena aku bosan."
Cakra menggaruk tengkuknya. "Terus bagaimana?"
Bintang mendengus dan memutar bola matanya malas. "Apa kamu akan terus berjalan mengikuti langkah Mas Bima?"
"Iya, tentu saja. Mas Bima kan mengajak kita."
Bintang menghela napasnya dengan kasar. "Kalau begitu, kamu saja yang mengikutinya. Aku mau kembali ke mobil."
"Eh, kalau Mas Bima nanya Mas Bintang ke mana, aku harus jawab apa?" tanya Cakra saat melihat Bintang hendak berbalik.
"Bilang saja kalau aku kembali ke mobil."
Cakra menganggukkan kepalanya. "Baiklah, hati-hati."
Fajar keluar dari dalam mobil dan memperhatikan sekitarnya yang sepi, ia melirik jam tangan yang melingkar pada pergelangan tangannya. Masih jam setengah 12 siang, pantas saja sepi. Pasti semua warga desa sedang bekerja di ladang.
Ia pun hendak untuk berjalan menuju hutan yang tadi dimasuki oleh masnya dan juga adik-adiknya, tapi ia urungkan ketika mendengar celotehan anak-anak yang berasal dari balai desa.
Mungkin anak-anak di desa yang sedang belajar, seperti yang dikatakan oleh Jarwo tadi. Ia pun melangkahkan kakinya menuju balai desan dan melupakan tujuannya untuk menyusul Bima.
Sesampainya di depan tangga balai desa ia melihat seorang gadis sedang berdiri membelakanginya di sudut kanan balai desa. Saat ia mulai menaiki satu persatu undakan tangga, suara celotehan anak-anak semakin terdengar di telinganya.
"Apa gadis itu yang dimaksud oleh Jarwo?" tanya Fajar dalam hati. Tidak mau lama-lama untuk mendapatkan jawaban, ia pun melangkahkan kakinya ke arah gadis itu yang masih saja tidak menyadari keberadaannya.
"Per---." Ucapannya tertahan di ujung lidahnya saat melihat cairan bening meluncur dengan sempurna di wajah cantik gadis itu. Fajar menatap kedua mata gadis itu dari samping, ia bisa melihat ada kerinduan mendalam di mata gadis itu.
"Kenapa kamu menangis?" Fajar mengerutkan dahinya saat melihat tubuh gadis itu tersentak. "Apa dia kaget dengan pertanyaanku? Memangnya ada yang salah dari pertanyaanku," tanya Fajar dalam hati.
"Berhenti, biar aku yang melakukannya. Kamu bisa merusak wajah cantikmu," kata Fajar dan menahan kedua tangan gadis itu menggunakan satu tangan.
Fajar tertegun di tempatnya saat melihat kedua bola mata gadis itu menatapnya. Untuk pertama kalinya Fajar merasakan detakan jantungnya berdetak 2 kali lipat dari biasanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Adiwidya
Romance(SEBAGIAN CERITA DIPRIVAT, FOLLOW SEBELUM MEMBACA) 21+ ADIWIDYA Tidak pernah menyangka jika pertemuan pertamanya dengan keempat pemuda yang ternyata adalah anak-anak dari juragan yang tersohor di desanya akan membuat kehidupan tentramnya menjadi ter...