SoJ : 7

44 6 0
                                    

Hari semakin sore. Sekarang ini Zalen dan Freya sedang duduk di halaman belakang rumah Zalen. Beberapa detik mereka lalui, Freya mengatakan hal yang membuat Zalen takut. Ya takut kehilangan tentunya.

"Lo gak capek pacaran sama gue?" Tanya Freya.

"Aku gak pernah capek. Aku selalu bersyukur karena punya pacar yang jutek, mahal senyum dan beda dari cewek lain. Semua itu ada keuntungannya sendiri, cowok lain pasti cuma tahu Freya itu jutek, mahal senyum. Cowok lain gak lirikin kamu karena kamu gak pernah nunjukin senyum kamu yang manis banget, bikin hati meleleh kaya lilin."

Freya terkekeh kecil.

"Dulu gue pernah senyum ke lo?"

"Pernah satu kali. Waktu itu kamu ngalahin aku. Dan saat itu juga aku sadar, aku tertarik sama senyum kamu. Kita berteman cukup lama dan akhirnya jadian."

Freya mencermati kalimat Zalen baik baik. Ada sesuatu yang mengganjal, tetapi Freya bukanlah orang yang pandai untuk mengungkapkan.

"Ohh." Jawabnya singkat.

"Kamu jangan pernah bosan pacaran sama aku. Meskipun kamu ninggalin aku, tapi kayaknya aku bakal terus berharap kamu bakal balik ke aku."

Zalen menggenggam jari jemari Freya.

"Ayo aku antar pulang."

Hujan di bulan desember mengguyur Jakarta sore ini. Baju yang Freya pakai pun basah, setelah sampai di rumahnya Freya langsung berganti baju.

Freya menghadap ke cermin, melihat bayangan dirinya yang sedang mengeringkan rambut lalu menyisirnya. Ia turun ke dapur untuk mempersiapkan makan malam bersama ibunya.

"Ibu tahu kenapa nilai kamu turun. Pasti karena si Zalen itu kan? Pacar kamu!" Ucap Lisa.

"Bu, ini bukan salah Zalen. Memang Freya yang kurang belajar."

"Kurang belajar gara gara main terus kan sama dia?! Jawab!"

"Kamu benar benar mengecewakan ibu. Ibu pikir kamu mandiri, bisa sekolah,  mengurus rumah dan mengurus diri sendiri dengan baik. Nyatanya yang kamu lakuin cuma main, kamu gak serius sekolah. Padahal di London, ibu bekerja keras supaya kamu bisa sekolah dan hidup layak seperti teman teman kamu!"

Freya hanya bisa diam, mendengarkan semua kekesalan ibunya. Ia merasa menjadi anak yang sangat tidak berguna. Freya dipaksa menjadi dewasa antara sikap, aktifitas, dan cara berpikirnya. Ia ingin mengungkapkan kalau dirinya tidak sanggup tetapi, ia takut ibunya terluka.

"Ibu hanya ingin kamu pintar seperti dulu, bisa buat ibu bahagia! Tapi kamu hanya bisa membuat ibu sengsara dan menambah beban pikiran ibu! Apa kamu punya hati Freya?"

"Lihat tetangga sebelah, dia orang kaya dan anaknya juga berprestasi. Anaknya bisa bertanggung jawab! Coba kamu lihat diri kamu di kaca! Beda banget kamu sama dia."

Jujur, Freya sudah merasa lelah. Lelah di banding bandingkan, dan di cap tidak bisa mengurus diri sendiri. Beberapa menit kemudian Lisa meninggalkan dapur, Freya lari menuju kamarnya. Meluapkan emosinya disana.

"Kenapa kepergian ayah bikin aku jadi kayak gini. Ayah dimana? Dimana? Freya capek! Freya tersiksa kaya gini terus. Kenapa semua yang Freya lakuin gak pernah dianggap ibu!" Batin Freya, dirinya hanya bisa meluapkan semua emosinya dan membuang melalui air mata. Ia tak akan bisa bercerita kepada siapapun, karena ia tidak ingin terlihat lemah. Ia harus selalu terlihat cuek terhadap orang lain dan tersenyum jika bersama Zalen juga sahabatnya.

Niat Freya yang menyiapkan makan malam tidak terjadi karena setelah menangis tadi malam, ia tertidur. Pagi ini Freya bangun dan menyiapkan sarapan untuk ibunya juga. Dentingan sendok, tiba tiba terhenti saat Lisa mengatakan sesuatu.

"Ibu ingin kamu putus dari Zalen."

"Jangan ngelawan, atau ibu pindahin kamu ke London."

Ucapan Lisa membuat Freya tak lagi mood untuk makan. Freya kembali ke kamarnya,  ia tak ingin lagi menangis, Freya hanya menghibur dirinya dengan membaca sebuah Novel.

Freya melihat kalender, kapan ia akan masuk ke sekolah, ternyata satu minggu lagi. Freya membuka ponsel, ada puluhan panggilan dan pesan dari Zalen, Tamara,  Dila, juga Lira. Namun semua pesan tak ingin Freya balas.

Freya mencoba tidak berhubungan dengan Zalen. Ia membiarkan hubungannya menggantung seperti ini saja. Freya sedang berusaha untuk menjauhkan dirinya dari Zalen, membiasakan diri tanpa kehadiran masing masing dalam hidup mereka.

***

"Bang Zalll" teriak Chika.

"Kenapa abang diam, ngambek sama Chika ya? Tapi kan Chika gak ngapa ngapain." Ucap Chika dengan raut wajah sedih, Zalen menggendong Chika agar duduk di kasurnya.

"Chika bisa bantuin abang?" Anak kecil itu tersenyum dan mengangguk.

Tak lama kemudian Chika membawa ponsel milik Rita, Ibu mereka.

"Sekarang abang mau telepon kak Fey pakai nomornya mama, tapi jangan bilang siapa siapa oke." Mereka ber-tos ria.

Beberapa kali panggilan ditolak oleh Freya, Zalen mencoba sekali lagi dan kali ini berhasil.

"Siapa?! Jangan ganggu gue, sibuk!"

Sepertinya Freya memang tak bisa diganggu, Zalen tersenyum pahit. Biarlah mereka bertemu nanti saat masuk sekolah lagi.

"Kenapa abang cemberut?"

"Pengin di peluk Chika, tapi Chika kayaknya sibuk banget main barbie " Zalen merentangkan kedua tangannya, menyambut Chika yang menghambur ke pelukannya.

"Sekarang Chika udah peluk, Chika sayang abang."

"Abang sayangnya ke kak Freya loh bukan Chika." Ledek Zalen.

"MAMA! BANG ZAL NAKAL!" Teriak Chika.



***

Aku pun ingin di peluk abang Zal😯

Bantu Vote & comment ya buat yang baca
Semoga semakin banyak yang suka hehe
Makasiih

-81218-

Senior or JuniorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang