Scene 1

160 7 3
                                    

Setahun sudah semenjak kejadian hancurnya Yokohama, runtuhnya lima gedung tertinggi Yokohama yang merupakan pusat perusahaan Mori Corps dan Port Mafia.

Butuh lebih dari setahun sebenarnya untuk memulihkan keadaan berantakan kota pelabuhan ini. Tapi berkat ADA dan Port Mafia yang sempat berkerja sama, membuat perkerjaan menjadi lebih ringan.

Tapi setelah kejadian penginvasian yang dilakukan Guild bukan berarti Yokohama bebas dari pengaruh luar. Untuk itu Yokohama sangat memerlukan sumber daya manusia yang berpikiran di luar nalar dan di atas langit.

Untung saja Yokohama kelebihan orang seperti itu. Hanya saja jalan yang mereka ambil berbeda beda.

Di tepian kota tercinta ini, terbumikan puluhan makam di pinggir sungai yang menjadi muara ke laut lepas.

Suasana kala itu tenang dan damai. Angin sepoi sepoi datang dengan lembut dan burung berkicauan. Kadang suasana ini di manfaatkan para penduduk untuk berjalan jalan, menikmati kota indah ini. Tapi berbeda dengan dua pasangan-suami istri-yang baru saja melangsungkan pernikahan beberapa minggu lalu.

Mereka memutuskan untuk datang ke pemakaman umum daripada jalan jalan mengaggumi angin dingin yang mulai menusuk tubuh.

Sang pria berjongkok di depan batu nisan yang berdiri tegap di bawah teduhan pohon yang rindang, menelungkupkan kedua tangannya dan menutup matanya, berdoa dalam diam. Cukup lama hingga ia berhenti dan memutuskan untuk duduk di belakang batu itu, bersandar.

Ia hampir tertidur saat suara langkah kaki mendekat, dan merasakan orang itu berjongkok, berdoa seperti yang ia lakukan.

“Dazai Himawari ... aku suka nama itu.” Ucap Dazai ringan. Tersenyum sambil memandang dedaunan di atasnya.

Dazai Himawari, adik perempuan dari Edogawa Ranpo yang masih berpenampilan biasa menegakkan kepalanya, membuat surai runcing-pendek miliknya tertiup angin. “Itu mengganggumu?” ia bertanya, selesai berdoa.

Dazai hening sejenak, melirik dari balik bahunya tanpa menggerakkan lehernya. Lalu tersenyum lagi. “Tidak. Saya hanya senang.”

Memutuskan untuk satu arah dengan pasangan hidupnya yang baru, Himawari ikutan senyum sambil tetap memandang batu nisan ini.

Tertulis S. Oda di depannya.

“Kau tau, aku juga merindukannya Ocha. Dia seperti ... figur ayah bagiku sebelum aku mengenal dekat Sachou.” Hima curhat sedikit, kedua matanya sayu saat lintasan memori berlalu lalang di benaknya.

Dazai kembali diam lagi. Sungguh ia tak mau membicarakan tentang sahabat yang sudah mengubah hidupnya tersebut. Biarlah ia berlalu dan tenang di alam sana. Tenang saja, ia dan Hima akan segera menyusul.

“Oya Hima chan. Mengapa kita tidak melakukan bunuh diri ganda di hari yang cerah ini?” ia tersenyum lagi, kali ini semakin lebar.

Himawari menatap surai kopi suaminya dengan malas, “kau tau ini bukan saatnya kita mati. Yoko chan masih membutuhkan kita, kau ingat?”

“Ya,” ia kembali melembut. Tampak sekali jutaan rahasia yang di pendam Dazai transparan di kedua netra chestnutnya, “dengan segala cara.”

Merasakan hawa yang mulai dingin, Himawari berjalan di sisi suaminya dan duduk di sampingnya. Dazai tak bergeming saat Hima mulai menggerakkan tangannya untuk menggenggam satu satunya tangan suaminya yang terbalut perban.

Sedih kembali menggerogotinya mengingat Ocha harus kehilangan bagian tubuhnya malam itu.

“Aku tak ingin kau mati, Ocha.” Ia memandang Dazai, meremas sedikit kuat genggaman tangannya, “Aku tau apa yang kau pikirkan. Apa yang hendak kau lakukan. Segala rencanamu. Semua ini terlalu beresiko.” Ia mengakhiri isi hatinya dengan menunduk kebawah, dan mengeluarkan nafas panjangnya, lelah.

Reason Living : Dead AppleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang